Topswara.com -- Hampir luput dari pengamatan kita bahwa di penghujung Januari 2024 Kementerian Keuangan selanjutnya disebut Kemenkeu yang mewakili Pemerintah Pusat melakukan program penyerapan dana masyarakat melalui penerbitan dan penawaran Surat Berharga Negara selanjutnya disebut SBN yang bernilai Rp. 666,4 triliun dengan masa penawaran dimulai 29 Januari sampai dengan 22 Februari 2024.
Sementara SBN yang diluncurkan di tahun 2023 sebesar 298,6 triliun, mengalami peningkatan signifikan lebih dari 100 persen. Bagi pemerintah ini adalah rencana tambahan utang untuk menutup defisit Anggaran Pendapatan Belanja Negara 2024 selanjutnya disebut APBN yang diperkirakan meningkat menjadi 2,29 persen (maksimal 3 persen sesuai UU Keuangan Negara) dari nilai Produk Domestik Bruto dengan nilai defisit Rp. 598,2 triliun sementara untuk tahun 2023 defisit sebesar 2,27 persen dengan nilai Rp. 522 triliun.
Defisit APBN ini juga di dalamnya adalah juga untuk kebutuhan pembayaran utang yang sudah jatuh tempo baik pokok dan bunga, dimana angka utang negara per bulan November 2023 sudah mencapai Rp. 8.041 triliun dengan komposisi Rp. 7.125 triliun adalah utang dalam negeri berupa SBN dan sisanya Rp. 886,07 triliun atau 11 persen berupa utang luar negeri.
Sejak diluncurkan tahun 2006 utang dalam negeri berupa SBN terus meningkat dan puncaknya tahun 2025 nanti pemerintahan yang baru akan membayar SBN yang jatuh tempo sebesar 704 triliun.
Jika mengacu Undang-undang Keuangan Negara batas maksimal rasio utang terhadap PDB adalah 60 persen sementara Indonesia rasio utangnya berkisar 38 persen, 90 persen utang negara adalah utang jangka panjang, hal ini yang sempat dinyatakan oleh salah satu capres dalam debat capres bahwa itu masih aman dan terkendali.
Menurut Kemenkeu peluncuran SBN ini dalam beberapa produk surat utang seperti : Surat Utang Negara (SUN) yang berupa Obligasi Ritel Indonesia (ORI), Obligasi Fixed Rate dan tak ketinggalan surat berharga syariah negara selanjutnya disebut SBSN dengan produk turunannya seperti sukuk negara ritel (SUKRI), sukuk tabungan (ST) dan sash waqf linked sukuk. Selain SBN Berbasis Rupiah juga sebagai pelengkap SBN valuta asing. (sumber Liputan 6.com).
Dilansir dari portal resmi Kemenkeu dan Otoritas Jasa Keuangan selanjutnya disebut OJK dijelaskan pengertian dan jenis SBN, dimana SBN yang diterbitkan pemerintah pusat terdiri dari SUN (konvensional) dan SBSN (syariah) yang diatur dalam Undang-undang no. 24 tahun 2002.
SUN merupakan surat pengakuan utang yang dijamin pembayaran bunga dan pokoknya oleh negara RI sesuai masa berlakunya. SUN digunakan oleh pemerintah untuk membiayai kebutuhan anggaran pemerintah seperti untuk menutup defisit anggaran pendapatan belanja negara selanjutnya disebut APBN.
SUN dari jenisnya ada dua yaitu surat perbendaharaan negara (SPN) yang mempunyai jangka waktu maksimal 12 bulan dengan pembayaran bunga secara diskonto. Dan jenis satu lagi adalah obligasi negara yang berjangka waktu lebih dari 12 bulan dengan kupon atau pembayaran bunga secara diskonto.
Sedangkan SUN yang dijual secara retail disebut obligasi retail Indonesia selanjutnya disebut ORI. Sementara SBN jenis lainnya adalah SBN versi syariah yaitu SBSN yang mempunyai turunan seperti SBSN ijarah sampai Istishna.
Bagi masyarakat yang mempunyai kelebihan dana SBN ini adalah instrumen investasi/piutang yang aman dan pasive income yang menjanjikan karena dijamin oleh pemerintah dengan kupon (bunga) yang cukup tinggi dibanding deposito bank selain juga bisa dijual ketika jatuh temponya belum berlaku berarti cukup liquid.
Keuntungannya ada capital gain atau keuntungan atas penjualannya jika ada potensi kenaikan harga. Minim resiko karena pembayaran bunga/kupon dan pokoknya dijamin UU SBN. SUN seperti obligasi negara juga dapat dijadikan sebagai agunan dan dapat dijual setiap saat apabila pemilik membutuhkan dana.
Harusnya isu utang dalam negeri ini adalah isu seksi sama seperti Bansos dan pinjol yang memang benar benar terasa kehadirannya di tengah masyarakat yang didukung maraknya berita tentang hal tersebut.
Tidak seperti isu utang dalam negeri hanya terkait dengan golongan mayarakat tertentu saja, yaitu masyarakat golongan menengah ke atas, yang mempunyai kekayaan untuk membeli SBN, dan negara sebagai penjual SBN (pengutang).
Jika dalam sosialisasi pemerintah menyatakan bahwa partisipasi masyarakat untuk membeli SBN adalah sebagai Investasi, padahal jelas jelas produk keuangan ini dalam akad atau transaksinya adalah pinjam meminjam uang seperti definisi dan fakta di atas.
Dalam sistem ekonomi kapitalisme ribawi yang diterapkan Indonesia tentunya penawaran dan penerbitan SBN ini adalah hal yang wajar saja dalam membuat kebijakan fiskal yang dilegalkan dalam perundang-undangan.
Kedudukannya penting sebagai sumber pendapatan selain pendapatan utama dari pajak. Padahal syariat Islam melarang praktek ribawi baik yang dilakukan oleh individu maupun oleh negara, dalam surat Al Baqarah ayat 275 Allah melarang keras praktek riba seperti firmanNya yang artinya "Orang orang yang memakan riba tidak dapat berdiri kecuali seperti orang yang berdiri sempoyongan karena kesurupan setan dilanjutakan"
Juga Rasulullah SAW mengancam keras pelaku riba sebagaimana bunyi hadisnya : Allah melaknat pemakan riba (kreditur), orang meminjam (debitur), penulisnya dan orang orang yang menyaksikannya.
Dalam hal transaksi utang dalam negeri SBN ini maka kreditor yaitu anggota masyarakat yang membeli SBN dan Pemerintah pusat sebagai debitor yang meminjam dengan menerbitkan SBN ini masuk dalam kategori empat pihak yang diancam Rasul tersebut.
Lantas bagaimana syariat Islam dalam hal ini sistem ekonomi Islam yang dijalankan oleh khalifah sebagai kepala negara khilafah mendapatkan sumber pendapatan untuk pembiayaan APBN yang menghindari utang apalagi yang mengandung riba?
Seperti yang dicantumkan Kitab Sistem Keuangan Negara Khilafah karangan Syeikh Abdul Qadim Zallum dalam sistem keuangan daulah khilafah ada beberapa sumber pendapatan APBN seperti sumber daya alam yang melimpah dan strategis yang merupakan milik umat, yang tidak boleh diserahkan kepada pihak swasta (individu) apalagi asing seperti sekarang atau kepada negara, negara hanya sebagai pengelola untuk dikembalikan kepada umat.
Khusus Indonesia harusnya kandungan sumber daya alam yang dimiliki lebih dari cukup untuk membiayai kebutuhan rakyatnya. Selain itu ada juga pendapatan berupa ghonimah, fai, khumus, kharaj, jizyah, dan dharibah, yang dikelola dan dialokasikan untuk kemaslahatan umat.
Tentunya kita sebagai muslim menginginkan Islam terwujud secara kaffah termasuk dalam sistem ekonomi Islam yang menggantikan sistem ekonomi kapitalistik ribawi yang telah terbukti membebani APBN dan Allah SWT murka terhadap praktek ribawi. Dengan Sistem ekonomi Islam insya Allah akan terwujud keberkahan dan kesejahteraan bagi rakyat.
Wallahu ‘alam Bisshawab.
Oleh: Zulpadli, S.E. Ak., CA.
Pemerhati Ekonomi
0 Komentar