Topswara.com -- Sebagian orang berpendapat bahwa kunci majunya dalam sebuah negara dilihat dari insfratruktur nya, banyaknya bangunan megah, sarana transportasi yang memudahkan publik dan lain sebagainya. Namun apa jadinya, sarana publik menjadi ajang komersial, dan inilah yang terjadi dalam kehidupan yang tolok ukurnya serba manfaat.
Rakyat sudah terlalu banyak memikul beban hidup yang sulit, mulai dari kenaikan harga BBM, bahan pokok, kenaikan pajak,di tambah lagi adanya PHK massal, lengkap sudah penderitaan rakyat. Dan di tambah lagi rencana kenaikan tarif tol dikuartal 1 2024, Kepala BPJT, Miftachul Munir menyebutkan ke-13 ruas tol yang akan megaplume dan akan di lakukan setelah Standar Pelayanan Minimal (SPM) jalan tol terpenuhi. (Kompas 15/1/2024).
Selain itu, penyesuaian tarif tol sesuai dengan UU jalan No.2 tahun 2022 tentang perubahan kedua atas UU No.38 Tahun 2004 tentang jalan menjadi dasar hukum penyesuaian tarif tol dan disesuaikan setiap dua tahun sekali, bergantung pada inflasi dan evaluasi pemenuhan SPM jalan tol.
Meski telah dijamin Undang-undang, kenaikan tarif tol adalah sebuah kebijakan yang zalim, terlebih kenaikan tarif tol dilakukan sebagai wujud kepastian membangun iklim investasi sesuai business plan.
Karena sejatinya pengadaan jalan tol adalah bentuk kerjasama pemerintah dengan badan usaha, sehingga sarat dengan kepentingan bisnis pengusaha jalan tol tanpa peduli kesulitan yang dihadapi masyarakat.
Terlebih selama ini pengusaha jalan tol tidak sepenuhnya memenuhi standar pelayanan minimum yang ditetapkan pemerintah sebagai syarat naiknya tarif tol, yaitu berupa pelayanan yang diberikan dinilai masih jauh dibawah SPM, diantaranya masih sering dijumpai lubang sana sini, minimnya penerangan jalan, atau genangan air apabila musim penghujan tiba yang membahayakan keselamatan jiwa. Belum lagi masalah antrean yang panjang di pintu tol.
Kebijakan ini tentu sangat kapitalistik, yaitu menjadikan Public Private Partnership. Sementara peran pemerintah tidak lebih sebagai regulator. Realitas ini adalah suatu keniscayaan dalam sistem politik demokrasi kapitalistik, negara tidak ubahnya seperti korporasi besar dimana peran negara sebagai sales person untuk para investor.
Sementara rakyat hanya menjadi korban kerakusan kapitalis, jadi jelas maraknya pembangunan jalan tol bukanlah untuk kepentingan rakyat banyak, namun untuk kepentingan pemilik modal. Justru dengan banyaknya pembangunan jalan tol, negara telah merampas hak yang paling dasar dari rakyat berupa jalan umum sebagai kebutuhan asasi.
Kalaupun terjadi percepatan ekonomi, manfaatnya hanya dirasakan oleh para kapitalis. Sementara rakyat hanya menjadi sapi perahan atas tarif jalan, barang, dan jasa yang mahal.
Sungguh nyata, peran pemerintah hanya sebagai pengabdi pada kepentingan pemilik modal yang berbisnis hajat publik, sementara disaat yang sama melepaskan tanggung jawabnya dalam menyediakan jalan umum sesuai dengan kebutuhan dengan cara gratis.
Semua itu akibat sistem demokrasi kapitalis yang membuat pemerintah berlepas tangan tentang tanggung jawab karena pemerintah telah diamputasi oleh keinginan dan keuntungan bisnis para korporasi.
Berbanding terbalik dengan sistem Islam yang mengharamkan mengambil pungutan dari insfratruktur jalan, karena jalan merupakan hajat publik, sehingga negara wajib memastikan sarana jalan umum yang tersedia sesuai kebutuhan seluruh rakyat dari pelosok negeri secara terintegerasi dengan kualitas terbaik.
Pembangunan jalan tanpa utang dan riba, sehingga tidak ketergantungan pada investor. Dan biayanya dari pemasukan yang berasal dari harta negara berupa milik umum yang dikelola sesuai tata kelola sistem ekonomi Islam.
Konsep pengelolaan jalan umum seperti ini akan membuat mobilisasi seluruh rakyat berjalan sangat dinamis yang akan mempercepat gerak ekonomi yang berujung pada kesejahteraan seluruh rakyat.
Wallahu a'lam bisshawwab.
Wakini
Aktivis Muslimah
0 Komentar