Topswara.com -- Korupsi masih menjadi salah satu permasalahan yang belum dapat diselesaikan secara tepat dan tuntas oleh negara. Seperti benang merah yang tidak akan putusnya, di tengah ekonomi masyarakat yang kian surut, namun para pemangku kekuasaan masih terus menggerogoti hak rakyat.
Dilansir dari LABURA, METRODAILY (24/01/2024)– Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali menetapkan dua tersangka kasus dugaan suap pengadaan barang dan jasa di lingkup Pemkab Labuhanbatu. Keduanya adalah Wakil Ketua DPRD Kabupaten Labuhanbatu Utara (Labura) Yusrial Suprianto Pasaribu dan pihak swasta bernama Wahyu Ramdhani Siregar, keduanya adalah kontraktor yang disiapkan untuk menang, Penangkapan ini adalah lanjutan dari kasus yang menjerat bupati Labuhanbatu yaitu Erik Atrada Ritonga.
Menurut laporan Transparency International, Indonesia memiliki skor indeks persepsi korupsi (IPK) 34 dari skala 0-100 pada 2022. Skor ini menjadikan Indonesia sebagai negara terkorup ke-5 di Asia Tenggara. Maka Kasus korupsi dikalangan elit politilk, bukanlah sebuah hal yang baru, baik itu dalam tingkat elit politik sekala DPR maupun DPRD.
Apalagi di daerah Labuhan Batu Utara, hal ini bukanlah menjadi suatu hal yang awam untuk diketahui oleh masyarakat.
Korupsi merupakan tindak kejahatan yang menjadi wabah di negara ini. Kejahatan yang dilakukan oleh korupsi bukan hanya dalam tatanan elit politik saja namun juga sudah menjamur di tengah–tengah tatanan masyarakat baik itu dari segi agama, sosial budaya, ekonomi dan moralitas generasi bangsa, jelas negara harus menanggung kerugian yang sangat besar akibat dari kejahatan ini.
Hal tersebut terjadi karena sistem pemerintahan hari ini, menjadikan kapitalisme sebagai tolak ukur pemikiran dan perbuatan. Kapitalisme membuat korupsi menjadi hal yang lumrah dalam sistem kehidupan.
Sebab dengan korupsi mereka akan mendapatkan keuntungan yang besar agar dapat menutupi modal ketika mencalonkan diri untuk menjadi calon legislatif. Ditambah lagi politik yang kotor dalam sistem kapitalisme hari ini menciptakan karakter manusia individualis, sehingga terwujudnya individu manusia yang hanya memikirikan kepentingan peribadi dan kelompok, serta menghalalkan segala cara untuk dapat menjaga eksistensi diri dan kelompoknya.
Selain itu faktanya kebijakan yang dikeluarkan oleh negara ternyata tidak mampu membendung serangan para koruptor yang bersarang dalam berbagai bidang. Baik itu lini pemerintahan, contoh didirikannya lembaga KPK dan juga undang-undang yang mengatur penahanan dan penangkapan para koruptor, namun nyata masih tidak mampu menyelesaikan permasalahan ini.
Korupsi bukanlah permasalahan sepele, hal ini sangat berdampak kepada masyarakat. Karena korupsi termasuk tindakan kejahatan. Maka sudah selayaknya korupsi harus dihapuskan dan juga pelaku korupsi harus dihukum seberat-beratnya. Lantas, bagaimana caranya?
Dalam Islam istilah korupsi terbagi menjadi beberapa macam, yaitu al–gasysy atau penipuan, saraqah atau pencurian, risywah atau suap, dan juga khianat atau pengkhianatan. Korupsi dalam makna suap atau risywah di dalam pandangan hukum Islam adalah perbuatan yang tercela dan juga menjadi dosa besar karena perusakan massal. Allah pun melaknat pelakunya.
Allah berfirman dalam Al-Qur’an.
“Hai orang-orang yang beriman, Jangan kamu memakan harta-harta saudaramu dengan cara yang batil, kecuali harta itu diperoleh dengan jalan dagang yang ada saling kerelaan dari antara kamu. Dan jangan kamu membunuh diri-diri kamu, karena sesungguhnya Allah Maha Pengasih kepadamu.” [QS An-Nisa’: 29].
Dalam kaidah usul fiqih, mengenai kasus korupsi dikategorikan sebagai kejahatan ifsad fi al-ardl, maka korupsi dapat diqiyaskan dengan qathi’ at-thariq yaitu pembegal/rampok. Hal ini dikarenakan diantara keduanya ada kesamaan. Kesamaanya adalah, korupsi dan qathi’ at-thariq adalah perbuatan mengambil harta orang lain dengan menggunakan kekuasaannya.
Dengan kekuasaan (al-mana’ah) itu, qathi’ at-thariq dengan mudah dapat mengambil harta milik orang lain, juga dapat membunuh pemiliknya, sebagaimana dengan kekuasaannya, koruptor dapat mengambil harta milik negara, yang akhirnya dapat mengakibatkan kerugian negara.
Koruptor telah berhasil ‘memotong jalan’ harta negara yang digunakan untuk kemaslahatan rakyat. Jika mengikuti alur ini, maka kasus kejahatan korupsi termasuk kejahatan yang ada nash hukumannya berupa had.
Namun, jika korupsi tidak digolongkan dalam kategori kejahatan yang tidak ada nash hukumannya (had), maka hukumannya melalui pintu ta’zir. Dalam Islam, apabila sebuah kasus kejahatan tidak ada nash hukumnya dalam syariat, maka pelaku kasus kriminal tersebut, bisa mendapatkan hukuman yang berasal dari ta’zir. Ta’zir adalah hukuman yang diharapkan untuk mendidik (ta’dib) atas suatu perbuatan maksiat yang tidak disyariatkan hukuman had kepadanya.
Untuk sanksi berbentuk ta’zir ini, ketentuannya diserahkan sepenuhnya kepada pemerintahan sesuai dengan dampak kejahatan yang dilakukan.
Maka yang dapat mengeluarkan hukuman melalui ta’zir adalah pemerintah yang menerapkan syariah dan khilafah.
Untuk itu kita harus menegakkan kembali sistem pemerintahan islam (khilafah), yang nantinya khilafah bukan hanya akan mengeluarkan kebijakan seusuai dengan kejahatannya dan juga sesuai hukum syarak.
Namun khilafah akan menjadikan manusia memiliki ketakwaan individu yang baik sehingga takut akan melakukan tindak kezaliman dan kemaksiatan, dan khilafah nantinya akan membentuk masyarakat, yang memiliki kontrol sosial yang tinggi, karena dalam Islam siapapun memiliki kewajiban melakukan amar makruf nahi mungkar dalam rangka memerangi korupsi dan kemaksiatan yang lainnya.
Oleh: Zayyin Afifah, A.Md., S.Ak.
Pengajar dan Aktivis Dakwah
0 Komentar