Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Serangan Fajar Menjadi Bumbu Jelang Pemilu?

Topswara.com -- Pemilu sudah di depan mata. Euforianya kian terasa. Kampanye, promosi, obral janji sana-sini hingga fenomena "serangan fajar" pun sudah menjadi keniscayaan di negeri tercinta ini. Praktik politik uang, hingga tudingan politisasi bansos menjadi bumbu jelang pemilu.

Dikutip dari Pos Jateng (7/2), Pemerintah akan menggelontorkan bantuan pangan serta bantuan langsung tunai (BLT) dari Januari hingga Maret 2024 kepada puluhan juta Keluarga Penerima Manfaat (KPM). Bantuan yang menghabiskan anggaran hingga Rp11,2 triliun itu rencananya bakal dirapel pada Februari 2024, jelang pencoblosan pemilu.

Beragam tanggapan bermunculan. Apalagi bansos tersebut diklaim atas nama pribadi. Publik pun menaruh curiga skema bansos itu didesain untuk mengerek elektabilitas pasangan capres-cawapres yang langsung di-endorse oleh presiden. Gak bahaya, ta?

Ironi. Para calon yang katanya siap memimpin bangsa, para calon yang katanya siap menjadi wakil rakyat, malah melakukan tindak suap-menyuap untuk mendapatkan simpatik rakyat. Praktik kotor semacam ini menjadi lumrah karena sudah membudaya dan pada akhirnya menjadi sebab politik berbiaya tinggi yang ujung-ujungnya terjerumus pada tindak korupsi.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sudah jauh-jauh hari menggaungkan "Hajar Serangan Fajar!" yang merupakan gerakan anti politik uang kepada masyarakat. Apakah works? Tentu, tidak. Karena kesadaran politik masyarakat kita yang minim, tingkat pendidikan yang masih rendah dan kemiskinan yang makin menjerat menjadikan masyarakat berpikir pragmatis sehingga suaranya mudah dibeli oleh mereka yang katanya siap memimpin negeri.

Carut Marut Politik Demokrasi

Wajah perpolitikan bangsa ini sepertinya menuju masa kritis. Tidak heran, segala tindak kecurangan menjamur di sistem ini karena memang demokrasi meniscayakan kebebasan berperilaku. Akibatnya, rakyat tidak lagi menjadi suara Tuhan melainkan bak sapi perah yang diperjualbelikan. Sebagai komoditas, terserah mau dijual kemana tergantung siapa pemiliknya. Iya, ta?

Adakah yang benar-benar ingin menyelamatkan negeri ini? Bisakah mereka memimpin dalam sistem yang sudah jelas-jelas menafikan aturan Allah dalam kehidupan? Lalu, mengapa mereka dengan begitu percaya diri mengklaim bahwa "saya bisa, saya mampu"? 

Padahal, sekaliber Umar bin Khattab ketika dibaiat menjadi Khalifah, kata yang pertama kali terucap adalah "innalillahi wa inna ilaihi rajiun". Karena baginya, di pundaknya otomatis memikul beban tanggung jawab atas umatnya.

Politik dalam Islam

Politik dan Islam dua hal yang tak terpisahkan dan seharusnya memang tidak dipisahkan. Politik dalam Islam adalah riayatul suunil ummah yang artinya mengurusi urusan umat. Pemerintah merupakan lembaga yang mengatur urusan rakyat secara praktis. 

Lalu umat tugasnya mengontrol sekaligus mengoreksi pemerintah dalam melaksanakan tugasnya. Bukan seperti politik saat ini, kekuasaan dan jabatan menjadi tujuan yang akan diperjuangkan dengan cara bathil sekalipun.

Penguasa di era Islam bukan tanpa cela. Namun, umat mudah menyampaikan koreksi tanpa terjadi silang sengketa. Penguasa pun lapang dada menerima koreksi. Area muhasabah selalu difokuskan pada kebijakan, bukan menyerang pribadi penguasa. Ini adalah bentuk kasih sayang pada sesama muslim. Karenanya kritik harus dilandasi lillah, untuk mengingatkan penguasa agar kembali pada Allah SWT.

Islam adalah nasihat. Maka, koreksi pada penguasa adalah sebuah keniscayaan demi tegaknya Islam. Berbeda dalam kerangka demokrasi, kritik justru bertujuan buruk sebab ingin mempermalukan bahkan menjatuhkan lawan politik. Karenanya tidak akan menjadi sebuah kebaikan dari aktivitas yang demikian. Akibatnya rakyat akan terpecah belah dan pada akhirnya sulit untuk mencapai visi membangun negeri.

Dalam Islam, suasana keimanan selalu ditumbuhsuburkan. Seorang pemimpin harus senantiasa takut kepada Allah SWT dan menjadikan Rasulullah sebagai suri tauladan. Agar jabatan yang disandang dipergunakan hanya untuk menunaikan kewajiban yakni mengurusi umat. Bukan malah sibuk dengan kepentingan-kepentingan pribadi dan oligarki.

Wallahu'alam bishawab.


Irna Purnamasari
Aktivis Muslimah
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar