Topswara.com -- Problematika terkait model pembangunan yang diprogramkan pemerintah menuai kontroversi. Pasalnya, pembangunan kapitalistik hanya berkutat seputar pertumbuhan ekonomi dan kemajuan industri saja. Hal ini berdampak pada terabaikannya dua unsur penting yang mestinya terintegrasi dalam bangunan kenegaraan, yakni manusia dan lingkungan. Dalam Islam, manusia menjadi poros pembangunan, dan bukan materi belaka.
Pembangunan kapitalistik identik dengan upaya signifikansi pertumbuhan ekonomi dan kemajuan industri. Negara dianggap sukses jika berhasil meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan memajukan industri. Kebijakan-kebijakan negara akhirnya dibuat untuk mendongkrak ekonomi dan industri.
Disisi lain, negara harus membayar mahal dengan tergadainya potensi rakyatnya serta rusaknya lingkungan. Pembangunan manusia diwujudkan dalam rangka mendongkrak perekonomian tanpa mempertimbangkan aspek kemanusiaannya.
Rakyat terpengaruh dan berubah orientasi hidupnya, bukan lagi untuk meraih martabat yang tinggi, moralitas, atau bentuk ketinggian peradaban lainnya, namun justru untuk memenuhi kebutuhan industri atau materi.
Rakyat dianggap sebagai bagian dari proses produksi yang diharuskan memenuhi standar kelayakan pekerja industri. Berbagai upaya pun dilakukan agar tercapai hasil maksimal, diantara yang sangat kentara adalah kebijakan liberalisasi pendidikan melalui program Kampus Merdeka. Kebijakan yang sangat berpihak pada kepentingan korporat, seolah kampus hanya dijadikan 'pabrik' untuk mencetak tenaga kerja.
Tidak cukup sampai sini saja, prinsip materialisme yang dianut oligarki (sekelompok orang yang menguasai/mengatur negara) beserta para kapitalis bekerjasama membuka jalan hingga terciptanya UU Ciptaker yang menghapuskan berbagai hak yang sebelumnya didapatkan pekerja, seperti hak cuti melahirkan, pesangon, uang pensiunan. Disisi lain, kebijakan ini juga menekan pekerja dengan waktu kerja yang eksploitatif, kontrak kerja yang terbatas waktu, dan lainnya.
Iklim persaingan begitu terasa dalam pembangunan ala kapitalisme ini. Akibatnya muncul kelompok-kelompok yang tidak mampu bersaing, mereka kemudian terpinggirkan, dan hal ini meningkatkan terjadinya kriminalitas di tengah-tengah masyarakat karena ketidakmampuan mereka dalam bersaing.
Bangunan masyarakat pun semakin tidak stabil, ketimpangan terjadi dimana-mana. Rilis data Credit Suisse (perusahaan bank investasi dan keuangan Swiss) menunjukkan 1 persen orang terkaya di Indonesia menguasai 46,6 persen kekayaan penduduk dewasa dan 10 persen orang terkaya menguasai 75,3 persen kekayaan penduduk dewasa di Indonesia dan ini adalah bukti ketimpangan yang nyata.
Dampak kerusakan lingkungan pun tidak kalah mengerikan. Penguasaan sumberdaya alam berupa barang tambang semisal batubara, nikel, emas, perak, dan lainnya menjadikan hutan dan wilayah sekitarnya rusak dan tercemar.
Imbas berikutnya, masyarakat sekitar lah yang kemudian menanggung dampak eksploitasi itu, dari tercemarnya perairan akibat proses penambangan, jalanan rusak akibat transportasi alat berat, serta berbagai bencana alam yang intensitasnya semakin sering dan mengancam seperti tanah longsor, banjir, kebakaran, dan sebagainya.
Hal ini tidak hanya terjadi di wilayah pertambangan saja, namun juga terjadi di wilayah perkotaan bahkan pedesaan. Pembangunan kapitalistik yang mengabaikan keamanan masyarakatnya dan berpihak pada kepentingan korporat. Pencemaran udara, kemacetan, banjir, dan permasalahan khas perkotaan lainnya menjadi permasalahan yang tidak kunjung usai.
Pembangunan Masyarakat Islam
Berbeda 180° dengan pembangunan kapitalistik, pembangunan masyarakat islami berporos pada manusia yang menjunjung tinggi nilai-nilai keislaman. Islam memiliki paradigma pembangunan masyarakat yang terwujud di dalamnya maqasidusy syari'ah (tujuan penerapan syari'at).
Diantaranya adalah Hifdzud Diin (menjaga agama), Hifdzun Nafs (Menjaga Jiwa), Hifdzul Maal (menjaga harta), Hifdzul 'Aql (menjaga akal), dan Hifdzun Nasb (menjaga keturunan). Islam dengan penerapan syari'atnya akan mengintegrasikan pembangunan peradaban yang terdiri atas unsur manusia, lingkungan, dan pembangunan fisik.
Syari'at Islam akan memastikan setiap warga negaranya baik dia muslim atau kafir terjaga dari hal-hal yang merusak. Inilah yang senantiasa dilakukan oleh peradaban Islam dengan penjagaannya yang sempurna.
Misalnya pengaturan terkait dengan harta, Islam mengharuskan harta harus senantiasa tersebar dan mengalir di masyarakat dengan jual beli, shadaqah (pemberian), syirkah (kerjasama), dan yang lainnya.
Senantiasa mendorong mereka untuk memiliki dan mengembangkan harta dengan cara yang halal, melarang mereka menimbun harta, maupun barang-barang berharga yang menimbulkan kemudharatan bagi masyarakat luas.
Selain itu, syari'at Islam mengatur kepemilikan umum seperti tambang, perairan, listrik, bahan bakar, dan lainnya tidak boleh dimiliki oleh individu atau kelompok sehingga berpotensi menimbulkan kerusakan lingkungan. Hal ini demi menjaga keberlangsungan kehidupan masyarakat senantiasa berada dalam koridor ketaatan.
Islam sebagai agama yang sempurna dan paripurna telah mengatur dan memberikan petunjuk bagi manusia untuk mencapai derajat tertinggi, maka sudah seharusnya kita berjuang untuk kemuliaan Islam.
Wallahu a'lam.
Oleh: Ghea R. Dyanda
Aktivis Dakwah
0 Komentar