Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Ngonten, Cara Emak Dasteran Berburu Cuan

Topswara.com -- Sebuah lighting menyorot ke arah wajan yang setengahnya berisi minyak panas. Di sisi lain, handphone yang ditopang sebuah penyangga tripod, mengarah ke area yang sama. Siap merekam aktivitas masak memasak yang sebentar lagi dimulai. 

Seorang perempuan berdaster mulai berceloteh, menceritakan apa yang sedang dikerjakannya. Menyapa dengan ringan, “Pagi gaes, hari ini kita akan menggoreng pisang ya. Dijamin maknyus, cocok buat sarapan nih.” 

Tangannya cekatan memasukkan adonan pisang ke wajan, satu demi satu. Bunyi gemericik minyak goreng, bersahutan dengan suara sang ibu yang menjelaskan tutorial menggoreng.

Ya, begitulah. Kegiatan sehari-hari ibu rumah tangga di ranah domestik, kini bisa disaksikan di layar smartphone. Terutama di tayangan Reels di Facebook (FB). Walaupun di platform lain seperti YouTube sudah ada sejak lama, tetapi lebih boooming lagi setelah FB menerapkan konsep monetisasi. Maklum, jamaah emak-emak kebanyakan kumpulnya di FB. 

Konten kreator yang memenuhi syarat tertentu, akan mendapatkan bayaran berupa dolar. Syarat itu antara lain: sudah memiliki 5.000 pengikut, kontennya original, dan jam tayang mencapai 60.000 menit dalam 60 hari terakhir. Inilah yang mendorong emak-emak rame-rame ngonten.

Konten keseharian emak-emak berdaster itu tak jauh dari kegiatan masak-memasak atau beres-beres rumah. Yang konsisten membuat konten masakan, setingnya seputar dapur dan meja makan. Tetapi yang kontennya daily life, setingnya berpindah-pindah. Mulai halaman rumah, teras sampai kamar pribadi.

Alhasil, para perempuan itu hanya diam di rumah, tetapi eksistensinya diketahui seluruh jagat maya. Orang yang kenal di dunia nyata maupun tidak, bisa “bertamu” melongok teras, ruang tamu, ruang keluarga, ruang makan, kamar tidur, dapur hingga kamar mandinya. Ironis memang.

Seluruh ruangan rumah bisa menjadi seting kegiatan syuting. Inilah yang menjadi keresahan bersama, mengingat rumah yang tadinya begitu privacy, kini menjadi konsumsi publik. 

Tetapi, bukankah para influencer terkenal juga banyak yang melakukan hal yang sama? Mereka menjadikan kegiatan hariannya sebagai konten. Mulai bangun tidur sampai pillow talk di atas kasur alias menjelang tidur. Semua diunggah. Kenapa giliran emak-emak dipersoalkan? Bagaimana memotret realitas ini?

Demi Cuan

Facebook adalah platform media sosial yang sangat digemari emak-emak. Kebanyakan mereka adalah Generasi X yang lahir tahun 70-an dan Generasi Milenial yang lahir tahun 80 dan 90-an.  

Banjirnya konten emak-emak, diduga kuat karena berburu cuan. Mungkin tidak semua begitu. Tetapi, jujur saja, jika dapat uang kenapa tidak?

Ini terjadi setelah FB menerapkan kebijakan memonetisasi, di mana konten yang memenuhi syarat akan mendapat bayaran, seperti halnya para kreator di YouTube.

Emak-emak yang sudah lama main FB berpikir, daripada punya akun hanya untuk scroling tidak jelas, kenapa tidak dimanfaatkan sekalian untuk mendapatkan uang. Satu dua teman berhasil, akhirnya merangsang yang lain untuk bergabung menjadi kreator konten. 

Nah, membuat konten yang serius dan terkonsep, tentu sangatlah berat untuk emak-emak yang punya banyak kesibukan domestik. Apalagi ia mengerjakannya sendiri tanpa tim. Alhasil, konten keseharianlah yang paling mudah untuk dibuat. 

Lagipula alatnya juga tidak terlalu canggih. Handphone yang dimiliki, tidak begitu bagus kameranya dan memorinya pun terbatas. Jadi, yang penting bisa merekam video saja dulu. Perkara sudut pandang pengambilan gambar dan edit video pun minim kemampuan. 

Itulah sebabnya, video yang banyak beredar mayoritas daily life. Para netizen perempuan sebenarnya juga melakukan hal yang sama setiap hari di rumahnya masing-masing. Hanya saja tidak direkam dan diunggah sebagai konten.

Hal ini kemudian menimbulkan kesan, seolah-olah kemampuan emak-emak hanya sebatas itu. Para kreator konten pun dibully dan dijulidin. Termasuk oleh para perempuan yang belum tentu bisa membuat konten sejenis.

Ya, memang, kalau cuma menggoreng pisang atau mengepel dan mengosek WC, buat apa dikontenin. Seharusnya bisa membuat konten yang lebih bermutu, yaitu yang mengandung ilmu. Ilmu rumah tangga, misalnya. 

Jangan anggap remeh urusan domestik. Jangan anggap sepela konten masak-memasak dan kerumah-tanggaan. Ada banyak skill yang dibutuhkan untuk sukses menjalankan amanah domestik. Seperti skill memasak, skill belanja, skill berbenah, mengorganisasi dan memperindah rumah, manajemen waktu, mengatur uang dan sebagainya. Tidak semua emak-emak punya skill itu. 

Kita hargai dan apresiasi jika hal-hal seperti itu yang dijadikan konten. Namun, tetap dengan memperhatikan rambu-rambu, bagaimana aktivitas wanita sesuai syariat Islam. Seperti, menutup aurat dengan sempurna, tidak menunjukkan wilayah hayatul khas (kehidupan khusus) atau ruang pribadi. Juga, niatkan untuk dakwah. Berbagi pengetahuan. 

Syukur-syukur bisa membuat konten yang lebih berbobot. Sesuai bidang keilmuan yang dimiliki atau tsaqafah yang dipahami. Konten islami, konten dakwah, konten edukatif, tips kesehatan, dan sebagainya. 

Masih banyak kemampuan yang bisa dieksplore emak-emak. Sebab, meskipun mereka emak-emak berdaster, tak sedikit ibu rumah tangga ini yang punya gelar sarjana dan lebih dari itu. Jangan pandang sebelah mata. 

Kegagalan Sistem

Berbondong-bondongnya ibu rumah tangga mencari cuan, sebenarnya sangat memprihatinkan. Memang, Islam tidak melarang perempuan mencari uang. Baik dilakukan di ruang publik, maupun dari ranah domestik. Tetapi, sebenarnya hal itu menunjukkan kegagalan sistem hidup saat ini dalam menjamin kesejahteraan para perempuan. 

Sebab, dalam Islam, selamanya perempuan itu dijamin hidupnya oleh sistem. Jika ia gadis, dijamin ayah atau walinya. Jika ia menikah, dijamin suaminya. Jika ia janda, dijamin walinya. Jika ia yatim tanpa wali, maka dijamin negara.

Maka, seharusnya tidak ada motif cuan. Seharusnya mereka menjalankan tugas domestik dengan tenang. Kini, harus dibarengi dengan kegiatan syuting yang menyita waktu, menguras tenaga dan pikiran. Apakah hati nuraninya senang? Belum tentu.

Jika ada banyak ibu rumah tangga berhasil meraih dolar, itu sukses individu. Tetapi bagi para suami, kaum laki-laki secara umum dan bagi penguasa, ini tamparan keras. Karena, hal itu justru menunjukkan kegagalan kalian dalam menjamin hidup perempuan milik kalian.

Pertama, gagalnya negara dalam menjamin kebutuhan pokok rakyatnya. Andai negara sukses membuat setiap rumah tangga terpenuhi kebutuhan pokoknya, niscaya ibu rumah tangga tidak akan tersibukkan untuk ikut mencari cuan. Sedangkan mengurus rumah dan anak-anak saja sudah sangat sibuk. Sangat melelahkan.

Kedua, gagalnya kepemimpinan suami dalam mencari nafkah dan menyejahterakan istri dan anak-anaknya. Tidak dipungkiri, memang tak sedikit laki-laki yang kurang bertanggung jawab dalam hal nafkah. Ada yang malas bekerja. Ada yang gengsi dan pilih-pilih pekerjaan. 

Bahkan ada yang bergantung pada penghasilan istrinya. Para emak berdaster tak rela jika anak-anak menderita, meski berusaha tetap sabar menghadapi suami seperti itu. Biarlah ia sendiri yang berkorban demi keluarganya. 

Ketiga, gagalnya sistem kapitalis sekuler dalam menciptakan sistem yang mampu mewujudkan pemerataan kekayaan. Tidak dipungkiri, ada suami-suami yang ditakdirkan miskin. Sudah rajin bekerja mati-matian, tapi hasilnya segitu-gitu juga. Ada pula istri yang ditakdirkan miskin. Sudah punya suami, ternyata suaminya miskin juga. Yang seperti ini menjadi tanggungan negara. 

Karena itu, dalam sistem Islam, warga negara yang miskin akan disantuni negara. Termasuk para ibu rumah tangga. Sehingga, tidak perlu mereka bertanggung jawab atas diri mereka sendiri. Mencari cuan sendiri. “Menafkahi” diri sendiri. Menyejahterakan diri sendiri. Hingga terpaksa mengkapitalisasi urusan domestik.

Tetapi, begitulah realitas hidup saat ini. Para istri, para ibu rumah tangga, banyak yang berjuang menjadi penopang ekonomi rumah tangga. Memeras tenaga dan air mata.

Ketika ruang domestik menciptakan pundi-pundi uang, apalagi dolar, terpaksa rasa malu disingkirkan. Ya, kita tidak pernah tahu, bagaimana penderitaan batin mereka yang sesungguhnya.

Dicabutnya Fitrah Domestik

Miris memang, nasib perempuan dalam sistem kapitalis sekuler. Sebagian besar mereka telah dicabut dari rumah-rumahnya, keluar ke ruang publik, demi menggerakkan roda-roda perekonomian para kapitalis. 

Ada yang bekerja di pabrik dengan jam kerja panjang dan risiko ikhtilat dengan laki-laki. Ada yang menjadi penjaga konter-konter dengan jam kerja berdiri sepanjang waktu dan risiko dipandangi laki-laki. Ada yang menjadi pelayan dengan aktivitas mondar-mandir dan risiko dilecehkan laki-laki. 

Lalu kini, sebagian besar mereka yang telah anteng di rumahnya, tiba-tiba dicabut fitrahnya untuk berburu cuan. Menanggalkan rasa malu, mengabaikan kelelahan fisik dan mentalnya. Demi berburu dolar. Sampai kapan ini akan dibiarkan? 

Tentu saja, selama sistem hidup sekuler kapitalistik masih dipertahankan, selamanya para ibu rumah tangga akan bernasib nelangsa. Tidak memperoleh haknya secara ideal. Karena itu, sistem ini sudah saatnya ditinggalkan. Sistem ini sudah usang dan terbukti tidak menyejahterakan perempuan. Saatnya tegakkan sistem Islam.


Oleh: Kholda Najiyah
Founder Salehah Institute
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar