Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Narasi-Narasi dalam Pemilu yang Terus Berulang

Topswara.com -- Pemilu 2024 baru saja selesai dilaksanakan, tinggal menunggu hasil resmi siapa yang menjadi pemenang diantara para kandidat yang berkompetisi di dalamnya. Sementara itu para pendukung masing-masing paslon dan partai yang ada mulai sibuk menyimpulkan siapa yang akan menjadi juara dari hasil quick count atau hasil hitung cepat sementara.

Seperti halnya pemilu-pemilu sebelumnya, kita masih melihat bagaimana euforia dan antusiasme masyarakat yang menaruh harapan besar akan hadirnya perubahan melalui pemilu yang dijalankan. Meskipun kalau kita mau jujur, perubahan yang diharapkan tidak pernah benar-benar terwujud kecuali hanya sekedar perubahan-perubahan yang sifatnya parsial.

Ada wacana yang menarik untuk kita cermati dari pemilu tahun ini dan juga pada pemilu 2019, yaitu terkait adanya wacana larangan pemilih golput dan isu Khilafah yang dituduh menjadi biang keladi dari munculnya para pemilih golput, wacana ini terus dikembangkan baik melaui dialog, seminar, ceramah (lisan), tulisan ataupun media literasi lainnya. 

Golput adalah istilah yang ditunjukan untuk pemilih yang memilih untuk tidak menggunakan hak pilih mereka saat pemilihan, baik pemilu, pilkada ataupun yang lainnya. Istilah Golput sendiri mulai dikenal masyarakat menjelang pelaksanaan pemilu tahun 1971, saat itu diinisiasi sekelompok mahasiswa dan pemuda diproklamirkanlah satu gerakan sosial yang mereka sebut dengan gerakan Golongan Putih. 

Gerakan tersebut mencuat karena mereka merasa wadah politik yang ada saat itu tidak bisa mewakili aspirasi rakyat. Dan hal itu terus berlanjut dari pemilu yang satu ke pemilu berikutnya, sampai hari ini.

Banyak alasan mengapa kemudian banyak pemilih yang memilih untuk golput, diantaranya bisa karena faktor hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap pelaksanaan pemilu yang dianggap terlalu disetir oleh pihak-pihak tertentu (baca : oligarki), ataupun bisa jadi karena mulai terbangunnya daya kritis masyarakat terhadap pelaksanaan sistem demokrasi yang dianggap sudah tidak sesuai dengan harapan dan malah memperluas kesenjangan baik dalam hal ekonomi ataupun sosial. Lalu mengapa gerakan khilafah yang kemudian dituduh menjadi alasan?

Khilafah dianggap sebagai satu hal yang mengancam kedaulatan dan marwah demokrasi. Karenanya, berbagai upaya untuk menghadang semakin meluasnya wacana khilafah terus dilakukan oleh pihak-pihak yang tidak menghendaki khilafah sebagai alternatif pengganti sistem demokrasi. 

Bahkan jauh sebelum pemilu dilaksanakan wacana kontra narasi Khilafah sudah digulirkan sebagai antisipasi bertambahnya angka pemilih golput pada pemilu 2024. 

Tapi benarkah wacana khilafah menjadi sebab dari banyaknya pemilih yang memilih untuk golput hari ini? padahal wacana khilafah sebagai “rivalitas” pemilu baru muncul dan mulai mencuat pada dua kali masa pemilu (sepengetahuan penulis) yakni pada pemilu 2019 dan pemilu 2024, sementara kemuculan gerakan golput itu sendiri sudah muncul jauh puluhan tahun sebelumnya.

Berkembangnya wacana khilafah yang dikhawatirkan akan mempengaruhi meningkatkan angka golput pada pemilu 2024 sebenarnya sangatlah wajar apabila dilihat dari kritik keduanya (golput dan khilafah) terhadap penerapan sistem demokrasi sekuler yang hari ini diterapkan.

Demokrasi yang pada pelaksanaannya telah menghilangkan peran agama (Islam) dalam mekanisme pengaturannya jelas telah melahirkan kesenjangan yang begitu besar di segala bidang. 

Pendidikan sekuleristik yang diterapkannya banyak melahirkan generasi-generasi minim akhlak dan etika. Kurikulumnya yang tidak berasas pada akidah Islam telah menjadikan pendidikan layaknya “lahan basah” bagi para pemilik modal untuk mencari peluang meraup laba. Dalam bidang sosial, pergaulan bebas dan perzinaan kian hari semakin merajalela. 

Belum lagi sistem ekonomi kapitalisme yang membersamai tumbuh kembang demokrasi sekuler sampai hari ini telah menjadi pintu masuk bagi para pemilik modal (asing) untuk menjarah Sumber Daya Alam (SDA) kita, mereka mengeruk dan menjarahnya dengan serakah untuk kepentingan mereka, sehingga wajar apabila yang kaya semakin kaya dan yang miskin makin sengsara. 

Sementara itu konsepsi khilafah yang merupakan ajaran Islam dibangun di atas landasan Akidah Islam yang mewajibkan pelaksanaan perintah dan larangan Allah secara total dalam seluruh aspek kehidupan. 

Halal-haram dijadikan standar pengambilan hukum, bukan lantas disandarkan pada asas rugi dan untung. 
Islam memandang bahwa penguasa yang ditunjuk oleh rakyat (baca : umat) haruslah menjalankan kekuasaannya berdasarkan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah SAW. 

Mereka wajib menerapkan hukum syarak dalam kekuasaanya, baik dalam urusan perundang-undangan, sosial, ekonomi, pendidikan dan urusan-urusan lainnya. Dan kesemuanya itu mustahil bisa terlaksana tanpa keberadaan seorang khalifah dan khilafah sebagai institusi pelaksananya.

Dalam hal ini Allah SWT berfirman didalam Al-Qur'an surat An-Nisaa ayat 65 yang membahas terkait syarat kesempurnaan iman seorang muslim melalui penerimaan dan ketundukan total terhadap apa yang dibawa dan dicontohkan oleh Rasulullah saw. Allah SWT mewajibkan setiap Muslim untuk tunduk dan ridha terhadap segala ketentuan-Nya yang dirangkum dalam berbagai hukum syarak. 

Tanpa penerapan syariat Islam, kita bisa melihat bagaimana kerusakan demi kerusakan terus terjadi dan menimpa negeri ini. Bukankah hal ini sudah cukup untuk menjadi alasan kuat bagi kita untuk mulai mencari alternatif sistem pengganti yang bisa melepaskan kita dari cengkraman demokrasi yang merusak? Dan penggantinya itu tidak lain adalah khilafah a’ala minhajin nubuwwah, sistem politik terbaik yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW dan para penerus (khalifah) sepeninggalnya.

Jadi, tidak ada alasan bagi kita kita untuk terus mempertahankan keberlangsungan sistem demokrasi sekuler yang sudah jelas cacat berdasarkan hukum syara. Keberadaannya tidak layak dan haram diadopsi oleh kaum muslimin seluruhnya. Mempertentangkannya dengan Khilafah yang telah ditetapkan kewajibannya secara syar’i merupakan bentuk kebodohan dan pembangkangan terhadap Allah SWT.

Wallahu a’lam bishshawab.


Oleh: Rahmat S. At-taluniy 
Aktivis Dakwah
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar