Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Menyoal Relativisme Etika dalam Sistem Demokrasi

Topswara.com -- Ethical relativism is the view that there is no one universal standard of right and wrong, but that what is considered right or wrong varies from culture to culture and individual to individual. This means that there are no absolute moral truths, and that what is considered right in one culture may be considered wrong in another. 

Demokrasi, sebuah ideologi buruk yang kini tengah diterapkan oleh hampir negara di dunia. Keburukan demokrasi itu terletak pada tidak menjadikan Tuhan sebagai sumber hukum dan perundang-undangan, sehingga yang terjadi adalah perebutan kekuasaan manusia pemuja nafsu duniawi. Jika nafsu telah menjadi standarnya maka hukum agama akan diabaikan. 

Bahkan etika dan moralitas akan otomatis menjadi sangat relatif, baik oleh tiap individu, kelompok, bangsa maupun negara. Relativitas etika yang yang diproduk oleh demokrasi ini akan sangat berbahaya bagi keberlangsungan hidup manusia. Jika secara subyektif, tiap orang bisa memberikan justifikasi atas perilakunya, maka hancurlah kehidupan manusia. 

Relativisme etis yang berpendapat bahwa penilaian baik-buruk dan benar-salah tergantung pada masing-masing orang disebut relativisme etis subjektif atau analitis. Adapun relativisme etis yang berpendapat bahwa penilaian etis tidak sama, karena tidak ada kesamaan masyarakat dan budaya disebut relativisme etis kultural. 

Relativisme etika adalah pandangan bahwa nilai-nilai moral bergantung pada konteks budaya, sejarah, atau individu, dan tidak ada standar moral yang universal atau objektif. Dalam pandangan ini, tidak ada nilai moral yang benar atau salah secara mutlak, tetapi nilai-nilai moral ditentukan oleh faktor-faktor seperti kepercayaan budaya, tradisi, atau pandangan subjektif. 

Itulah mengapa dalam setiap budaya dan kebudayaan sejak zaman dahulu hingga sekarang memiliki paradigm sendiri dalam memandang moral dan etika. Bahkan di negeri ini karena perbedaan suku, maka berbeda juga adat dan budayanya yang pada akhirnya melahirkan etika dan moralitas yang berbeda juga. 

Setidaknya ada tiga pandangan terkait relativitas etika ini. Pertama, relativisme budaya. Pandangan ini menyatakan bahwa nilai-nilai moral berbeda antar budaya. Hal yang dianggap benar atau salah dapat bervariasi tergantung pada norma dan kebiasaan budaya masing-masing. 

Kedua, relativisme subjektif. Menurut pandangan ini, nilai-nilai moral berasal dari pandangan atau keyakinan individu. Artinya, apa yang dianggap benar atau salah oleh seseorang adalah subjektif dan berbeda-beda antar individu. 

Ketiga, relativisme historis. Pandangan ini menyatakan bahwa nilai-nilai moral berubah seiring waktu, dan apa yang dianggap benar atau salah dapat berbeda dari satu periode sejarah ke periode sejarah lainnya. 

Meskipun relativisme etika menekankan pluralitas nilai-nilai moral dan mengakui keragaman budaya, pendekatannya juga telah mendapat kritik. Kritik terhadap relativisme etika termasuk argumen bahwa itu dapat mengarah pada moralisme yang dangkal, karena tidak ada standar moral yang tetap untuk menilai tindakan-tindakan yang berbeda. 

Selain itu, kritikus juga berpendapat bahwa relativisme etika dapat membuat sulit untuk mengatasi masalah moral yang kompleks, karena tidak ada kerangka kerja moral yang konsisten untuk merujuknya. 

Hubungan antara demokrasi dan relativisme etika bisa sangat kompleks dan bervariasi tergantung pada bagaimana konsep-konsep ini didefinisikan dan diinterpretasikan. Pemahaman tentang kebebasan berpendapat (freedom of speech) merupakan bagian dari relativisme etika. 

Demokrasi sering kali mempromosikan kebebasan berpendapat, yang mencakup berbagai pandangan etika yang mungkin relatif satu sama lain. Dalam masyarakat demokratis, orang-orang memiliki kebebasan untuk mempertahankan dan mempraktikkan nilai-nilai moral yang berbeda, asalkan tidak melanggar hak-hak atau kebebasan individu lainnya. 

Demokrasi sering kali dijalankan di dalam masyarakat yang beragam secara budaya dan etnis. Pendukung demokrasi sering menekankan pentingnya menghormati pluralisme nilai, yang sesuai dengan pandangan relativisme etika bahwa nilai-nilai moral dapat bervariasi antara individu dan kelompok. Atas nama HAM misalnya, demokrasi di Amerika menghargai kaum LGBT, bahkan membuat perlindungan hukumnya. 

Namun, di sisi lain, pendekatan relativis etika juga dapat menimbulkan tantangan dalam konteks demokrasi, terutama ketika harus membuat keputusan kolektif tentang masalah moral yang kompleks. Relativisme etika yang ekstrim dapat mengarah pada situasi di mana tidak mungkin mencapai konsensus tentang nilai-nilai moral tertentu. Inilah sering terjadi di negeri demokrasi yakni adanya pertarungan politik yang tidak sehat dengan takaran yang tidak jelas juga. Demokrasi memang ruwet. 

Prinsip-prinsip demokrasi sering kali mencakup perlindungan hak asasi manusia, yang mungkin memerlukan batasan terhadap relativisme etika yang melanggar hak-hak individu yang mendasar. Hal-hal yang dilarang oleh agama justru dibolehkan oleh demokrasi, sementara hal-hal yang dibolehkan oleh agama justru dianggap masalah oleh demokrasi. Inilah yang disebut relativisme etika dalam demokrasi. 

Dalam sistem demokratis, hukum sering kali menjadi instrumen untuk mencapai keadilan sosial. Namun, hukum tersebut haruslah didasarkan pada prinsip-prinsip moral yang diakui secara luas, yang mungkin memerlukan pembatasan terhadap relativisme etika dalam beberapa kasus. 

Hukum dalam demokrasi itu dibuat oleh manusia yang memang punya banyak kepentingan sakilus punya pandangan hidup yang relatif. Sekulerisme demokrasi menjadikan hukum agama tidak dipakai. 

Penting untuk diingat bahwa hubungan antara demokrasi dan relativisme etika tidak selalu sejalan atau konsisten. Terkadang ada ketegangan antara prinsip-prinsip demokrasi yang mempromosikan pluralisme nilai dan prinsip-prinsip moral yang mendasari hak asasi manusia atau keadilan sosial. 

Dalam prakteknya, penyeimbangan antara kedua prinsip ini sering kali merupakan tantangan yang kompleks bagi masyarakat demokratis. Hal ini ini sulit dan mustahil terwujud. Yang terjadi sebaliknya, berbagai masalah sosial justru makin subuh dalam sistem demokrasi. Hal ini tentu saja berbeda jika negeri ini merapkan Islam. 


Oleh: Dr. Ahmad Sastra
Dosen Filsafat
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar