Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Menulislah dan Carilah Bekal untuk Menulis

Topswara.com -- Pernahkah sahabat tertantang karena membaca tulisan opini negatif yang menyerang dan mendiskreditkan Islam maupun kaum Muslimin, sehingga muncul dorongan ingin membalas hingga ingin menjatuhkan argumentasi opini tersebut? Kita mungkin juga akan merasa tertantang ketika mendapati tulisan opini lain yang berusaha menjelaskan dan mematahkan opini negatif tersebut, hingga terkadang muncul pemikiran, “dia kok mampu ya?”. 

Bagi yang merasa tertantang untuk ikut andil menyampaikan gagasan dengan nilai-nilai Islam, tentu hal ini menjadi dorongan tersendiri untuk berusaha meningkatkan kapasitas dengan belajar menulis opini.

Menulis opini memang suatu aktifitas yang rumit dan sulit jika belum terbiasa. Mungkin kita masih ingat ketika masa kecil dulu, bersepeda pun kita anggap rumit dan sulit. Bahkan masih terasa tidak mudah walau sudah dilatih dan disemangati oleh orang tua dan kerabat dalam hitungan yang tidak sebentar. 

Terasa sakit dan pedih saat mengingat momen terjatuh yang meninggalkan luka-luka di lutut, kaki dan tangan selama proses belajar bersepeda. Namun bagi kita saat itu aktivitas bersepeda adalah suatu hal yang menantang. Itulah yang menjadikan kita tidak berputus asa. Tidak pula menyerah dan mengklaim diri kita bahwa kita tidak akan pernah mahir bersepeda. 

Berbekal rasa iri pada saudara atau teman sepermainan yang mahir bersepeda, ada dorongan untuk tidak malas belajar dan terus berlatih. Saat ini mungkin kita sudah lupa kapan momen kita berani bersepeda tanpa bantuan kerabat dan roda bantu. Hasilnya sekarang kita merasa bersepeda itu bukan suatu hal yang rumit dan sulit, meski terakhir kali bersepeda saat duduk di bangku SMP atau SMA. 

Menulis opini bisa dianalogikan dengan hal yang sama. Hal yang dulunya kita merasa sulit akan ada masanya terasa mudah karena sudah terbiasa. Dari sinilah kita bisa belajar, bahwa menulis juga membutuhkan proses jatuh bangun untuk terus belajar dan berlatih dalam rangka mengasah, mengolah dan merangkai kata demi kata, kalimat demi kalimat, hingga paragraf demi paragraf. 

Berdasarkan pengalaman hidup yang kita jalani sekarang, saat mendapati hal-hal yang baru tentu wajar jika kita awalnya merasa rumit dan sulit. Namun kenyataannya hidup terus berjalan, meski agak tertinggal kita tidak boleh merasa menjadi orang yang paling buruk atau merugi. Justru rasa tertinggal itu menjadi tantangan tersendiri untuk terus belajar, berlatih dan beradaptasi mengikuti perkembangan zaman.

Belajar menulis opini tentu bisa kita usahakan dengan berbagai sarana melalui membaca, mendengarkan, merangkum, melihat dan meniru. Lebih lanjut lagi kita bisa berupaya belajar menulis sendiri secara otodidak hingga menyengaja ikut pelatihan-pelatihan. Agar semangat menulis juga terus membara, perlu ada pula komunitas yang bisa menjadi sarana pengingat dikala lupa, pengoreksi dikala alpa dan penyemangat dikala putus asa.

Menyibukkan diri dengan belajar menulis opini ternyata bisa menjadi sarana meningkatkan kegiatan positif kita daripada hanya sekadar kegiatan tanpa faedah lewat scroll media sosial mengamati perkembangan dimasa-masa sekarang. Seolah mengulang kembali pelajaran Bahasa Indonesia di bangku SD hingga SMA, yang sekarang mungkin sudah semakin berkembang. 

Dulu kita mengenal pedoman menulis Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) 1972-namun jauh sebelumnya lagi ada Ejaan Van Ophuijsen 1901, Ejaan Soewandi 1994- kemudian berkembang menjadi PUEBI (Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia) 2015 dan tahun 2022 lalu dikembalikan lagi menjadi EYD Edisi Kelima karena dianggap lebih melekat dan dikenal luas oleh masyarakat. 

Secara tidak langsung menjadi pendorong agar kita membaca dan mencari informasi untuk mendukung tulisan opini yang dibuat.

Menulis opini jika didorong dengan semangat untuk mengapai keridhoan Ilahi pastinya akan membawa semangat tersendiri, melewati batas kepentingan materi atau hanya sekadar eksistensi diri. 

Pengharapan melalui tulisan opini mestinya menjadi bukti amal saleh dan amal jariyah bagi penulisnya sehingga membawa manfaat di dunia dan di akhirat kelak. Pernahkah sahabat mendengarkan penuturan Prof. Dr. H. Abdul Malik Karim Amrullah dalam cuplikan rekaman ceramahnya, beliau berkata, "dalam umur yang sekian pendeknya kita lalui di dunia, dia bisa kita panjangkan, dengan apa?", beliaupun melanjutkan, "dengan sebutan, dengan amal, dengan bekas tangan, dengan iman dan amal saleh, sesuai dengan apa yang disebut di dalam pantun Melayu”: 

Pulau Pandan jauh di tengah 
Di balik Pulau Angsa Dua
Hancur badan dikandung tanah
Budi yang baik terkenang jua

Juga di dalam hadis Nabi dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah SAW bersabda: ”Apabila manusia meninggal, amal perbuatannya menjadi terputus, kecuali dari 3 hal: dari sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, atau dari anak shalih yang senantiasa mendoakannya" (HR. Muslim No. 1631).

Pernahkah terlintas dalam benak pemikiran kita, perbekalan apa yang akan kita bawa untuk menghadapi kematian selain iman dan amal shalih? Menulislah untuk mencerdaskan umat, semoga menjadi amal saleh dan amal jariyah kita, bekal menghadapi kematian.


Oleh: Haris Ardianto
Aktivis Dakwah
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar