Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Memilih Perubahan Sejati

Topswara.com -- Meskipun menghabiskan anggaran hingga puluhan triliun, pemilu 2024 tidak akan membawa perubahan berarti bagi negeri ini. Sebab, perubahan sejati hanya bisa dilakukan dengan menerapkan Islam.

Pemilu (legislatif dan presiden) Indonesia akan dilaksanakan pada 14 Februari 2024. Untuk menyelenggarakan pesta demokrasi ini, Kementerian Keuangan Indonesia mengalokasikan anggaran hingga Rp 71,3 triliun. Anggaran tersebut jauh meningkat dibadingkan pemilu tahun 2019 yang hanya 24,9 triliun rupiah. 

Dalam hajatan lima tahun sekali ini, masyarakat akan memilih calon anggota DPR RI, DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, DPD RI, serta capres-cawapres yang akan memimpin Indonesia hingga tahun 2029 nanti. 

Dengan adanya perubahan kepemimpinan Indonesia dari hasil pemilu nanti, tentu diharapkan pula adanya perubahan pada kondisi negeri ini. Memang begitu banyak persolalan negeri ini yang membuat rakyat menginginkan perubahan.

Seperti penegakan hukum yang semena-mena, prilaku korupsi yang menjadi-jadi, utang luar negeri yang membengkak, kriminalitas yang meningkat, dan sebagainya. Tak heran ada capres-cawapres yang mengusung “Koalisi Perubahan” dalam pilpres 2024 ini.

Hanya saja, sulit rasanya untuk meyakini bahwa momentum pemilu dalam sistem demokrasi akan bisa membawa perubahan sejati. 

Dalam demokrasi, pemilu bukannya menghasilkan pemimpin yang membawa perubahan sebagaimana harapan rakyat, tetapi justru menghasilkan perselingkuhan antara penguasa dan pengusaha. 

Hal itu dikarenakan calon penguasa membutuhkan dana pemilu yang besar untuk mengupayakan pemenangannya, sedangkan pengusaha membutuhkan kebijakan yang menguntungkan bagi bisnis atau usahanya. Alhasil, terjalinlah politik transaksional antara penguasa dengan pengusaha.

Relasi antara penguasa dan pengusaha memang wajar tumbuh dalam sistem demokrasi. Dalam sistem yang berprinsip “dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat” ini dinyatakan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat. 

Implementasinya adalah rakyat berwenang memilih wakil mereka (dari rakyat) untuk duduk di lembaga legislatif (DPR) guna menyusun perundang-undangan yang akan diterapkan kepada mereka (untuk rakyat), lalu rakyat pun berwenang memilih wakil mereka (dari rakyat) untuk duduk di lembaga eksekutif (presiden dan kepala daerah) untuk menjalankan perundang-undangan tersebut. 

Dengan begitu, para anggota DPR memiliki peran dan pengaruh yang sangat besar terhadap berbagai bentuk perundangan yang diberlakukan di sebuah negara, baik di bidang hukum, ekonomi, sosial, dan sebagainya. 

Selanjutnya, pemerintah selaku lembaga eksekutif (mulai dari presiden dan seluruh jajarannya) bertugas menjalankan pemerintahan berdasarkan perundang-undangan yang telah dibuat oleh lembaga legislatif tersebut.

Dari adanya mekanisme demokrasi itulah terbuka peluang dan minat bagi para pengusaha untuk menjadi investor politik para calon anggota legistalif dan eksekutif. 

Berdasarkan survei KPK tahun 2018 saja, ditemukan bahwa 82,3 persen calon kepala daerah dimodali oleh donatur (sebagaimaa dikutip dari republika.co.id/). Tentu semuanya no free lunch. Setelah calon yang didukung para donatur berhasil menduduki posisi di legislatif maupun eksekutif, para investor akan mengharapkan “bayaran” dari apa yang diberikannya. 

Bayaran tersebut bukan dalam bentuk uang, melainkan berupa kemudahan perizinan, pembagian tender, atau perubahan regulasi dan perundang-undangan untuk kepentingan bisnis para pengusaha terserbut. 

Politik transaksional itulah yang memungkinkan lahirnya perundang-undangan yang bisa merugikan rakyat (tapi menguntungkan pengusaha). Dalam bidang ekonomi misalnya, muncullah berbagai perundang-undangan yang kontroversial, seperti Undang-Undang Cipta Kerja, Undang-Undang Proyek Strategis Nasional, Undang-Undang Investasi, dan sebagainya. 

Banyak sekali undang-undang yang pada akhirnya memunculkan berbagai konflik bagi rakyat negeri ini, seperti yang dialami masyarakat Wadas dan Rempang.

Berbeda dengan demokrasi, dalam sistem tata negara Islam, manusia tidak berhak membuat hukum atau undang-undang untuk dirinya sendiri. Sebab, hak membuat hukum hanyalah milik Allah (sebagaimana termaktub dalam Surat Al-An’Am: 57). 

Manusia hanya dibolehkan untuk menggali hukum dari Al-Qur’an dan sunnah serta apa-apa yang berlandaskan padanya, melalui proses ijtihad oleh para mujtahid. Lalu, hasil ijtihad tersebut diadopsi oleh kepala negara untuk diterapkan. 

Karenanya, tidak akan ada pemilu untuk memilih anggota legislatif sebab memang lembaga legislatif tidak ada sama sekali. Jadi, tidak akan ada pula peluang munculnya politik transaksional antara para pengusaha dengan para calon legislatif, mengingat perundang-undang yang dijalankan dalam negara Islam tidak akan bisa dibuat atau diubah-ubah sesuai kepentingan manusia.

Adapun dalam pemerintahan Islam dibolehkan mengadakan pemilu untuk memilih kepala negara. Namun, ajang tersebut diyakini tidak akan sampai memunculkan politik transaksional. 

Sebab, kepala negara hanya menyelenggarakan pemerintahan dengan berpedoman pada Islam. Jika ia melanggar ketentuan Islam, bukan hanya ulama, tetapi semua umat Islam akan mengetahui dan mengoreksi penyimpangan tersebut. 

Dengan demikian, tertutup kemungkinan adanya politik transaksional antara penguasa dan pengusaha karena sang kepala negara tidak bisa memberikan peluang keuntungan apa pun bagi para investor politik.

Atas dasar itu, beragai persoalan di negeri ini tidak akan pernah selesai selama masih diterapkan sistem demokrasi. Penggantian pejabat lewat pemilu tidak akan membawa perubahan berarti. Hal itu disebabkan satu hal utama, yakni dibolehkannya rakyat (manusia) untuk membuat perundang-undangan, sehingga muncullah politik transaksional antara penguasa dengan pengusaha. 

Maka, sudah saatnya kita memilih perubahan sejati, yakni dengan menerapkan sistem tata negara Islam di negeri ini. []


Oleh: Amin Syahputra 
Aktivis Dakwah
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar