Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Melihat Kegagalan Demokrasi dalam Dirty Vote

Topswara.com -- Film dokumenter Dirty Vote sedang hangat diperbincangkan menjelang pemilu belakangan ini. Bentuk film ini dalah dokumenter berbasis kuliah umum ditambah dengan studi kasus dalam bidang hukum dan tata negara, yang mana kasusnya adalah dugaan kecurangan dalam kontestasi pemilu 2024.

Ada beberapa hal yang menarik untuk diulas. Mengingat ini adalah fakta penting yang harus dikaji bersama untuk melihat kebobrokan internal di dalam sistem demokrasi. Juga, bagi yang bingung dengan bahasannya dan mungkin malas nonton, ulasan ini mungkin akan sedikit membantu.

Poin-Poin Menarik

Menurut penulis, ada beberapa poin yang dijadikan sorotan dalam dokumenter ini.
Pertama, sepanjang durasi dokumenter, pembahasan berfokus kepada 'bagaimana kecurangan terjadi' dan 'prosedur apa saja yang diakali dalam kecurangan ini', tidak terdapat jawaban atas pertanyaan 'mengapa kecurangan bisa terjadi' atau 'mengapa kecurangan begitu mudah terjadi'. Sangat teknis sekali.

Kedua, uraian yang panjang tersebut, sebagaimana pandangan netizen, lebih menyudutkan salah satu paslon, karena tindak kecurangan yang sudah nampak jelas, ditelanjangi lagi di sini.

Efeknya, orang akan tergiring untuk memilih salah satu yang paling sedikit pelanggaran prosedurnya, dan siapa pun tahu yang dimaksud itu siapa.

Ketiga, meskipun pembahasannya tampak rasional, gamblang, dan benar-benar menguliti kecurangan dari aspek prosedural, pemateri berangkat dari hipotesis setelan default bagi demokrasi adalah ideal sebagai sistem politik bagi manusia, hanya yang tidak ideal adalah pelanggaran prosedur secara tidak etis, yang dianggap merusak keidealan demokrasi sebagai sebuah sistem politik.

Padahal, di kesimpulan akhir disebutkan, kecurangan sejenis sudah sering terjadi di banyak negara. Maka muncul pertanyaan, kalau sudah sering, butuh berapa insiden lagi untuk menggoyahkan keyakinan orang-orang kalau demokrasi memang cacat sejak lahir?

Keempat, film dokumenter berjudul Sexy Killers yang rilis tahun 2019 silam masih lebih memuaskan, untuk mengubah haluan pilihan di detik-detik menjelang pemilu, karena hubungan pasangan-pasangan yang disajikan dengan kapitalisme, begitu gamblangnya, sehingga tampak jelas bahwa sistem ini memang sudah rusak.

Artinya, antara sistem demokrasi dengan kapitalisme itu tidak bisa dipisahkan. Hanya saja, masih banyak keraguan dari orang-orang untuk membahas praktik kapitalisme, karena terasa seperti teori konspirasi dan dugaan-dugaan cocokologi.

Perbandingan Dua Dokumenter Pra Pemilu

Membandingkan dengan film lainnya tentu sangat subjektif sekali. Tetapi untuk seukuran dokumenter yang sama-sama rilis menjelang pemilu dan menjadi decision maker bagi para pemilih, keduanya layak untuk dibandingkan dari beberapa sisi.

Sexy Killers lebih menunjukkan hubungan elit politik dengan perilaku kapitalistik dalam memanfaatkan sumber daya alam, bahkan hingga level yang tidak bertanggung jawab terhadap lingkungan sekitar. Sedangkan Dirty Vote, hanya menjelaskan prosedur yang diakali dengan memanfaatkan syahwat kekuasaan penguasan desa.

Efek yang ditimbulkan pasca menonton berbeda. Sexy Killers lebih membawa penonton trust issue terhadap sistem yang ada, berbeda dengan Dirty Vote yang hanya sebatas menggiring opini penonton untuk memilih paslon yang kecurangan proseduralnya lebih sedikit.

Contoh Kebobrokan dari Learning Organization

Sebagai tambahan, berikut adalah contoh sederhana terkait kebobrokan demokrasi yang terjadi di organisasi pembelajaran.
Pertama, anggaplah ada seseorang yang dicalonkan jadi ketua OSIS. Prosedurnya sudah dilaksanakan semua, penyampaian visi-misi, kampanye, hingga pemilihan sudah berjalan, proses demokrasi berjalan secara prosedural pada umumnya.

Di belakang, baru diketahui, kalau kemenangan sudah diracik dan dirancang jauh-jauh hari. Demisioner atau dewan kehormatan OSIS itu, di belakang layar melakukan serangkaian kampanye gelap, dengan cara memobilisasi massa seangkatan mereka, untuk memenangkan salah satu paslon.

Kalau di level OSIS yang berada di bawah lembaga pendidikan saja begitu, bagaimana di level yang lebih tinggi?
Kedua, pada pemilihan ketua himpunan mahasiswa jurusan, dan pemilihan ketua BEM, terjadi praktik serupa. Sebelum proses pemilihan berlangsung, distribusi suara sudah dirancang dan direncanakan dengan matang, supaya pilihan yang dikehendaki senior bisa lolos dengan mudah.

Bagi yang pernah mempraktikkannya, pertanyaannya: mengapa bisa ada orang masih percaya demokrasi, sedangkan perbuatan ini sebetulnya tidak sesuai dengan hakikat demokrasi?

Penutup

Setelah bukti yang sudah cukup jelas, dari masyarakat yang di bawah sampai elitnya sudah melakukan manipulasi serupa, sampai kapan umat Islam mau percaya pada demokrasi? Mengapa harus percaya demokrasi adalah sistem yang ideal, sedangkan serangkaian kebobrokan sudah tampak di depan mata?

Hanya Islam saja yang bisa memberikan kejayaan bagi umat ini. Kejayaan yang berasal dari keberkahan dan keridhaan Allah. Karena tidak boleh ada hukum lain yang ditegakkan dengan daya upaya paling maksimal, selain hukum Allah.


Oleh: Alvy Rizqy Pratama
Aktivis Dakwah
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar