Topswara.com -- Rokok elektrik atau yang lebih lazim disebut vape sedang menjadi isu kesehatan krusial di Indonesia. Sebab sudah cukup banyak korban yang terkena penyakit medis akibat menggunakan vape. Adapun istilah khusus untuk isu ini adalah prevalensi, yang artinya jumlah keseluruhan kasus penyakit yang terjadi pada suatu waktu tertentu di suatu wilayah.
Sebagaimana yang diungkapkan Agus Dwi Susanto selaku Ketua PDPI (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia), prevalensi pengguna vape (rokok elektrik) di Indonesia meningkat hampir sepuluh kali lipat dari 2011 sampai 2021 (detik.com, 10/1/2024).
Adapun pengguna rokok elektrik di Indonesia didominasi oleh kalangan remaja. Tak berhenti di situ, laporan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 oleh Kementerian Kesehatan mencatat prevalensi pengguna perokok elektrik pada rentang usia 10 sampai 18 tahun meningkat hampir 10 kali lipat sejak 2016 sampai 2018.
Ada persepsi bahwa rokok elektrik/vape lebih aman karena kadar nikotin yang lebih rendah, bebas tar, serta menghasilkan asap yang tidak bau atau wangi. Akibatnya, banyak pecandu rokok konvensional yang beralih ke rokok elektrik dengan tekad untuk hidup lebih sehat.
Padahal kandungan vape tetap mengandung nikotin dan karsinogen yang jelas beracun bagi tubuh. Sebagai bukti, Agus Dwi Susanto mengatakan bahwa ia sudah berkali-kali menangani pasien di rentang usia 18 sampai 23 tahun yang mengalami paru-paru bocor atau pneumonia akibat konsumsi vape.
Adapun uap vape yang tetap berbahaya jika tercium oleh orang-orang sekitar, karena merangsang iritasi. Maka jelas sekali bahwa rokok elektrik tetap merupakan produk beracun bagi manusia.
Ada berbagai upaya yang sedang dilakukan untuk menyikapi masalah vape di Indonesia. Beberapa di antaranya ada pemberlakuan Peraturan Kementerian Keuangan (PMK) nomor 143/PMK/2023 mengenai Tata Cara Pemungutan, Pemotongan dan Penyetoran Pajak Rokok mulai 1 Januari 2024. Dengan begitu, produk rokok elektrik akan dipungut pajak.
Adapun desakan dari WHO kepada negara-negara yang mengizinkan penjualan vape untuk melarang penjualan vape aneka rasa, mengurangi konsentrasi dan kualitas nikotin, serta menerapkan pajak atas penjualan vape.
Namun perlu kita sadari, maraknya konsumsi produk beracum seperti rokok elektrik itu tidak lepas dari sistem kehidupan saat ini yang berasaskan sekularisme dan kapitalisme. Selama peminat rokok elektrik memiliki uang, selama itu juga produksi produk tersebut akan terus berjalan.
Sebab dalam sistem kapitalisme, ruang untuk jual beli produk beracun terbuka luas selama itu menghasilkan uang yang melimpah. Apalagi jika kegiatan jual beli tersebut bisa menopang ekonomi negara, tak peduli resiko kesehatan.
Kita bisa simpulkan bahwa sistem kapitalisme pasti berujung pada sekularisme, yakni pemisahan aturan agama dengan aturan negara. Sebab Islam jelas bertolak belakang dengan kapitalisme yang menuhankan uang dan materi.
Sudah saatnya kita sadari bahwa masalah kecanduan masyarakat terhadap rokok elektrik ini adalah masalah sistemik, dan hanya bisa selesai dengan sistem kehidupan Islam. Sistem kehidupan Islam melarang peredaran produk beracun dengan tegas, sekalipun itu bisa menghasilkan uang.
Sebab sistem Islam mengharuskan negara untuk melindungi kesehatan dan nyawa rakyat. Adapun untuk masalah ekonomi, negara dengan sistem Islam akan membangun perekonomian yang kuat dengan mengelola sumber daya alam seoptimal mungkin. Sehingga tidak ada alasan lagi bagi negara memberi izin kepada perusahaan produk beracum karena alasan ekonomi.
Jika ekonomi negara sudah dijauhkan dari produk-produk beracun, maka moral generasi pun ikut terselamatkan. Seluruh masyarakat, terutama para pemuda Muslim akan tehindarkan dari produk adiktif yang mencegah mereka untuk menjadi penolong agama Allah.
Ketika para pemuda mengalami gejala mental seperti depresi, maka negara wajib menyebarluaskan dan mendukung pengajian guna merangkul mereka agar tidak mencari pelarian dari produk-produk beracun. Demikianlah cara Islam menyelesaikan masalah candu rokok dan produk adiktif lainnya dari akarnya.[]
Oleh: Ami Pertiwi Suwito, Anggota Komunitas Muslimah Menulis (KMM) Depok
0 Komentar