Topswara.com -- Program Indonesia Pintar (PIP) adalah program yang diluncurkan sejak 3 November 2014 yang diinisiasi oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemdikbud Ristek) Indonesia sebagai upaya pemerintah untuk mendukung pendidikan siswa (usia 6-21 tahun) di berbagai jenjang, dari SD hingga SMA/SMK
Siswa yang berhak mendapat PIP harus memenuhi kriteria: siswa/anak dari keluarga pemegang Kartu Perlindungan Sosial/Kartu Keluarga Sejahtera (KPS/KKS); siswa/anak dari keluarga peserta Program Keluarga Harapan (PKH); siswa/anak yang berstatus yatim piatu/yatim/piatu dari panti sosial/panti asuhan; siswa/anak yang tidak bersekolah (drop out) yang diharapkan kembali bersekolah; siswa/anak yang terkena dampak ekonomi akibat bencana alam; atau siswa dari keluarga miskin/rentan miskin yang terancam putus sekolah.
Kabupaten Temanggung mulai menyalurkan PIP sejak tahun 2015 dengan jumlah penerima 28.372 siswa, sedangkan tahun 2023 33.475 siswa. PIP yang diharapkan mampu menyelesaikan persoalan pendidikan nyatanya tetap saja memunculkan problematika yang kompleks.
Kenaikan jumlah penerima PIP Temanggung sesungguhnya tidak berbanding lurus dengan angka kemiskinan yang diklaim menurun. Menurut Data Kemiskinan BPS Jateng, Tahun 2015 jumlah penduduk miskin di Temanggung ada 87,50 ribu jiwa, sedang Tahun 2023 turun menjadi 72,96 ribu jiwa. (jateng.bps.go.id)
Kasi Kurikulum Bidang Pendidikan Menengah Dinas Pendidikan Kabupaten Temanggung Yuli Karsono mengatakan sejumlah permasalahan melingkupi KIP sehingga ada yang tidak tepat sasaran, seperti sudah tidak bersekolah, sudah lulus, hingga belum memasuki usia sekolah. Bahkan tak sedikit dari kalangan keluarga mampu (krjogja.com, 19/09/2016)
Masalah validasi data tersebut merupakan persoalan yang sangat sensitif karena menyangkut status kelayakan penerima PIP, yang tentu saja akan menimbulkan kecemburuan sosial.
Menurut Irsyad Zaman dalam jurnalnya, ada setidaknya tiga faktor yang menyebabkan masalah dalam PIP. Faktor pertama adalah masalah regulasi. Peraturan mengenai PIP yang tertuang dalam Permendikbud dan Peraturan Bersama dua Direktur Jenderal di Kemendikbud membuka celah pemahaman bahwa kriteria tambahan adalah setara dengan kriteria dasar kemiskinan. Hal ini membuat anak-anak dengan kriteria khusus seperti yatim, meskipun memiliki orang tua kaya raya, memiliki peluang terbuka untuk tetap memperoleh PIP.
Hal ini diperparah dengan faktor kedua, belum padannya data keluarga miskin. Pada kenyataannya, kriteria yatim/piatu ini cukup "menyelamatkan" pemerintah di tengah belum padannya data kemiskinan. Pemerintah dapat mengandalkan data Panti Asuhan dan Dinas Sosial yang banyak didominasi oleh data anak-anak yatim/piatu.
Selain persoalan-persoalan tersebut, terdapat juga persoalan dalam pencairan dana PIP, karena rumitnya cara dan syarat yang ditetapkan dalam mencairkan dana PIP. Juga adanya pemanfaatan dana PIP yang tidak sesuai peruntukannya, seperti untuk sembako, berobat, bayar utang.
Sejatinya sengkarut persoalan PIP hanyalah salah satu dari sekian banyak persoalan yang dihadapi oleh sistem pendidikan ala kapitalisme, yang tidak akan pernah memberikan layanan maksimal kepada masyarakat. Setiap kebijakan baru yang diluncurkan akan memunculkan persoalan lain.
Islam sebagai sebuah ideologi, memiliki seperangkat pemikiran dalam mewujudkan pendidikan yang berkualitas dan terjangkau. Karena pendidikan merupakan salah satu dari tiga jaminan pelayanan negara selain kesehatan dan keamanan.
Syariat Islam dalam bidang pendidikan ini tentu saja dapat kita rasakan jika kita hidup dalam naungan Daulah khilafah Islam. Sehingga, layak dan wajib bagi kaum Muslim untuk menyegerakan penegakannya.
Wallahu'alam.
Oleh: Febiyanti
Aktivis Muslimah
0 Komentar