Topswara.com -- Lagi, kasus seorang ibu tega melenyapkan nyawa anaknya karena faktor ekonomi, kini terjadi di Kabupaten Belitung. Kepada polisi, pelaku mengaku tega membunuh bayinya karena tidak menginginkan kelahirannya. Alasannya, karena tidak cukup biaya untuk membesarkan. Baik pelaku dan suaminya merupakan pekerja buruh.
Bagaikan fenomena gunung es, kejadian miris seperti ini bukanlah hal baru bahkan terjadi di berbagai wilayah di negeri ini. Faktor penyebab yang paling sering diungkap adalah ekonomi, meski didukung juga dengan faktor kesehatan mental ibu.
Keadaan ekonomi yang kian tidak menentu menimbulkan kecemasan tinggi akan masa depan anak-anak bahkan kemampuan untuk menghidupi mereka.
Peristiwa ini menjadi hantaman besar peradaban yang menunjukkan rusaknya fitrah seorang ibu. Ibu adalah makhluk yang dikarunia rahim oleh Sang Pencipta.
Di belahan dunia manapun sosok ibu selalu diidentikan dengan kasih sayang, kelembutan, dan pengorbanan. Namun, hari ini fitrah ibu tersebut mulai rusak karena berbagai faktor yang mendorong para ibu untuk melakukan hal di luar nalar dan menyalahi fitrah mereka.
Jika ditelisik hingga ke akar permasalahan, tidak cukup hanya dengan melihat dari segi pelaku saja. Selain ekonomi, faktanya kesehatan mental ibu juga berkontribusi.
Sementara itu, kesehatan mental yang baik dibangun oleh banyak dimensi pendukung seperti kesehatan fisik, dukungan orang terdekat (keluarga; pasangan), lingkungan sosial, paradigma tentang kehidupan, hingga keadaan ekonomi.
Permasalahan di Berbagai Lini Kehidupan
Setidaknya permasalahan ini dapat dikupas dengan menganalisis masalah dari tiga tingkatan. Pertama, individu yang bermasalah baik daeri segi pemikiran dan sikap. Kedua, standar materi yang melekat di masyarakat. Ketiga, tidak hadirnya negara sebagai pengurus dan pelindung rakyat.
Pada tingkat individu, maka seorang ibu juga merupakan makhluk dengan karakteristik dan tujuan penciptaan yang khas. Dari sini muncul hak dan kewajiban yang perlu dipahami. Dalam keluarga seorang istri beserta anaknya berhak mendapatkan dukungan moril dan materiil. Setidaknya ada empat kewajiban suami yang menjadi hak istri dan anak-anaknya yaitu sebagai pemimpin, pendidik, pelindung, dan pencari nafkah.
Tidak dipungkiri bahwa peran suami memiliki andil besar atas peristiwa ini. Memahamkan istri tentang konsep rezeki bagian dari pendidikan akidah yang menjadi tanggung jawab suami juga.
Selain itu, pekerjaan mencari nafkah yang ditaruh dipundak ibu jelas menambah beban seorang ibu yang tak semestinya. Akhirnya beban hidup yang tinggi ditambah minimnya pemahaman akidah yang benar membuat mental ibu rapuh saat membesarkan anak.
Kedua, standar perbuatan di masyarakat yang berasaskan hanya pada materi. Artinya masyarakat kita terbiasa dengan pola pikir sekuler yang menjauhkan nilai ruhiyah dalam aktifitas sehari-hari.
Permasalahan membesarkan anak hanya dipandang sebagai upaya fisik memenuhi kebutuhan-kebutuhan anak tanpa didorong dengan keyakinan akan nilai ruhiyah yang diperoleh ketika melaksanakannya. Hal inilah yang menyebabkan munculnya pandangan bahwa anak adalah beban, pengurusan anak tidaklah produktif secara materi hingga muncul fenomena childfree di kalangan pasangan muda saat ini.
Ketiga, minimnya peran negara dalam pengurusan dan pelindungan rakyat tidak bisa lepas dari paradigma pembangunan kapitalistik yang dipakai negara. Hari ini negara berfungsi sebagai regulator dan fasilitator bagi pemenuhan kebutuhan rakyatnya.
Akhirnya, hubungan rakyat dan negara ibarat bisnis yaitu fasilitas dari negara hanya bisa diakses ketika rakyat mampu membelinya (misal pendidikan dan kesehatan). Ditambah arus ekonomi kapitalis global yang menekankan pada pasar bebas membuat negara harus meminimalisir intervensinya dalam pemenuhan kebutuhan rakyat seperti lewat subsidi.
Paradigma ini juga yang menyebabkan minimnya lapangan kerja untuk para suami hingga upah yang rendah di negeri ini. Akhirnya, para ibu pun terdorong untuk keluar rumah memenuhi kebutuhan hidup yang semakin tinggi.
Butuh Solusi Sistemik
Mengembalikan kewarasan ibu dalam pengasuhan anak sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor yang harus dibenahi secara sistemik. Paradigma yang dipakai oleh individu, masyarakat dan negara haruslah bersandar pada pendangan yang benar.
Islam hadir bukan hanya sebagai agama yang menjelaskan tata cara ibadah ritual, melainkan juga menjelaskan bagaimana caranya untuk mewujudkan kehidupan yang harmoni di segala aspek.
Nilai sekularisme yang selama ini tumbuh di masyarakat akan diluruskan dengan pandangan Islam. Dengan demikian, lahirlah individu-individu yang paham akan hak dan kewajiban mereka. Seorang ibu tahu betul bahwa anak adalah amanah dan anugerah bukan beban.
Begitu pun peran suami akan maksimal karena paham bahwa tugasnya bukan sekedar memenuhi kebutuhan materi tapi juga mendidik dan mencurahkan kasih sayang kepada keluarganya.
Kesiapan membangun rumah tangga juga akan menjadi satu hal yang diedukasi oleh negara dan masyarakat. Bukan sekedar kemampuan finansial saja namun juga paham esensi dari pernikahan itu sendiri termasuk hakikat memiliki keturunan.
Berikutnya, negara juga memiliki andil yang vital dalam hal ini untuk mewujudkan pengurusan dan perlindungan kepada setiap individu rakyatnya. Negara wajib membuka lapangan kerja yang selua-luasnya agar para suami dapat bekerja dan mempertimbangkan upah yang mencukupi.
Tidak sampai di situ, sistem politik dan ekonomi Islam yang dijalankan negara mendorong pengurusan rakyat melalui jaminan kebutuhan dasar rakyat seperti sandang, pangan, papan, pendidikan, dan kesehatan. Hal ini sulit terwujud dalam sistem ekonomi kapitalis yang menghasilkan kesenjangan ekonomi yang curam.
Namun sangat mungkin terjadi dalam sistem ekonomi Islam yang mengatur tentang kepemilikan (sehingga tidak ada monopoli korporasi), berbasis pada sektor riil, dan berasaskan untuk kemaslahatan rakyat.
Maka sudah saatnya, kita memandang fenomena yang terjadi di masyarakat hari ini dengan pandangan yang menyeluruh agar dapat dipahami akar masalahnya dengan jelas. Dengan demikian, fenomena sosial di tengah masyarakat tidak terus berulang kerena diselasaikan dengan solusi tuntas.
Oleh: Fanissa Narita, M.Pd.
Aktivis Muslimah
0 Komentar