Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Keamanan ART Tanggung Jawab Negara

Topswara.com -- Jika segudang undang-undang (UU) tidak mampu memberi solusi jitu, produk hukum itu menjadi tidak bermutu. Belasan tahun menanti, nasib asisten rumah tangga kembali diuji.

Dilansir dari ANTARA. Pusat Perlindungan Perempuan dan Anak (PPPA) DKI Jakarta mendampingi asisten rumah tangga berinisial I (23)  yang menjadi korban penyekapan majikannya di Tanjung Duren, Grogol Petamburan, Jakarta Barat (Jakbar).

"Korban seorang wanita sekarang ini sudah didampingi  konselor dan paralegal dari Dinas PPPA DKI," kata Kepala Suku Dinas Pemberdayaan, Perlindungan Anak dan Pengendalian Penduduk (Sudin PPAPP) Jakbar, Aswarni saat dihubungi di Jakarta, Sabtu.

Tidak ada satu perempuan pun di dunia yang menginginkan pekerjaan sebagai asisten rumah tangga. Jika ditanya dan diberi pilihan, kebanyakan pasti memilih hidup mendampingi buah hati tercinta, membersamai dan mendidik mereka dengan baik tanpa diganggu dengan beban kerja dan ekonomi. Hal ini fitrah terjadi karena pada dasarnya tugas pertama dan utama perempuan adalah menjadi ibu dan pendidik bagi anak-anaknya. Merekalah “pabriknya” mencetak generasi berkualitas.

Namun, apa daya, tidak semua bernasib ideal seperti yang digambarkan. Perempuan di sistem kapitalisme ibarat sapi perah. Mereka terpaksa bekerja demi mencukupi kebutuhan keluarga. Menjadi pembantu rumah tangga tidak mengapa asal keluarga bahagia dan tidak kelaparan. Pekerjaan sebagai ART adalah posisi yang sulit.

Di satu sisi, para ART tentu tidak berharap bercita-cita menjadi asisten rumah tangga. Di sisi lain, mungkin hanya itu pekerjaan yang bisa dilakukan. Kini, ART berada di persimpangan jalan. Kemiskinan membayangi, tidak berbekal ilmu pendidikan tinggi, dan pada akhirnya menjadi asisten rumah tangga adalah pilihan satu-satunya.

Jika kondisi tersebut dialami 4,2 juta ART di Indonesia, maka masalah ini tidak bisa dianggap sebagai problem personal atau kemiskinan individual, tetapi problem struktural dan tersistematis, yaitu akibat penerapan sistem kapitalisme yang gagal melindungi dan menyejahterakan perempuan.

Mirisnya, peran negara dalam melindungi nasib ART pun lemah. Ini tampak dari keberadaan RUU PPRT, yang meski telah resmi menjadi inisiatif DPR RI dan segera akan dibahas di tingkat Badan Legislatif DPR RI, tetapi tidak menjamin nasib perempuan, khususnya asisten rumah tangga, akan berubah menjadi lebih baik.

Nyatanya, masalah perlindungan perempuan demi kemuliaan perempuan tidak menjadi dorongan awal RUU ini digagas. Klaim bahwa RUU PPRT melengkapi peraturan yang ada untuk melindungi perempuan justru menegaskan bahwa perlindungan yang ada selama ini gagal. Peraturan tersebut nyata bersifat parsial sehingga kekuatan hukumnya pun rendah.

Pemerintah memang boleh saja mengeklaim bahwa RUU PPRT adalah upaya negara untuk menjamin rasa aman dan perlindungan sehingga RUU PPRT dikebut untuk disahkan. Namun jika didalami faktanya, RUU PPRT yang sudah diusulkan pada 2004 ini, selama ini hanya teronggok di Program Legislasi Nasional (Prolegnas). 

Proses legislasi RUU PPRT yang sudah hampir dua dekade dan sampai saat ini masih belum disahkan adalah bukti adanya tarik ulur RUU ini. Jika benar niat pemerintah adalah untuk melindungi dan memuliakan perempuan, tentunya tidak perlu tarik ulur.

Untuk kita ketahui, RUU PPRT saat ini dikebut semata karena menjadi bagian dari komitmen pemerintah untuk memberi perlindungan pada perempuan. Tujuannya, agar perempuan memiliki daya saing demi mendukung visi pembangunan 2045 dalam rangka Indonesia menjadi negara maju, yakni dengan target PDB di atas US$23.000. Dengan ini jelas, negara memposisikan perempuan sebagai sumber daya manusia untuk memacu pertumbuhan ekonomi.

Sehebat apa pun UU disusun, seterperinci bagaimanapun UU direalisasi, tidak akan memberi kepuasan berbagai pihak. Ini karena hukum buatan pikiran manusia tidak akan mampu mengakomodasi semua kehendak manusia. Apalagi rentan berubah mengikuti perkembangan dan kepentingan.

Oleh karenanya, jangan berharap akan terwujud perlindungan hakiki pada hukum lapuk semacam ini. Dalam Islam, perempuan itu mulia dan hormat. Posisinya strategis sebagai arsitek lahirnya peradaban. Keberadaannya akan selalu dibutuhkan demi keberlangsungan hidup umat manusia. Perannya selalu penting karena ia menjadi sekolah pertama bagi anak-anaknya.

Islam tidak akan membebankan nafkah dan ekonomi di pundak perempuan. Islam akan memberdayakan kaum laki-laki agar bisa bekerja dan memenuhi kebutuhan keluarganya. Negara akan memberikan kemudahan dan akses pekerjaan bagi para pencari dan penanggung nafkah.

Negara juga akan membekali kaum laki-laki keterampilan dan skill yang dapat memudahkannya melakukan pekerjaan. Negara memberi modal bagi mereka yang tidak memiliki modal usaha. Dengan begitu, pemenuhan kebutuhan pokok akan terpenuhi.

Dalam Islam, tidak ada diskriminasi berbasis gender. Semuanya memiliki hak dan kewajiban sesuai porsinya berdasarkan ketetapan syariat. Perempuan akan mendapat perlindungan luar biasa dengan menempatkan mereka di tempat teraman, yakni berperan di ranah domestik yang kebutuhannya terpenuhi oleh wali atau suaminya sebagai penanggung nafkah dirinya.

Islam juga memberi kesempatan yang sama bagi perempuan dengan mengoptimalkan perannya di ranah publik, seperti mempelajari dan mengamalkan ilmu, mendidik umat dengan tsaqafah Islam, berdakwah, dan berkontribusi bagi kemaslahatan umat dengan ketetapan syariat yang memuliakan dan menjamin keamanan mereka.

Negara juga akan menegakkan sistem sanksi Islam yang berefek jera bagi pelaku kejahatan. Sehingga penganiayaan, penyiksaan, dan kekerasan yang menimpa perempuan tidak akan berulang terjadi karena ketegasan hukum Islam bagi para pelaku kriminal. 

Tidak ada hukum dan sistem lebih baik yang bisa memberi ketenangan, keamanan, dan kesejahteraan bagi perempuan kecuali Islam dengan negara sebagai pelaksana nya.

Wallahu alam bishawab.


Oleh: Eva Lingga Jalal
Aktivis Muslimah
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar