Topswara.com -- Di akhir bulan Januari lalu kita dihebohkan lagi dengan kasus pembunuhan bayi baru lahir oleh ibunya sendiri. Kasus pembunuhan anak yang dilakukan oleh orang tuanya sendiri bukan kali ini saja. Kasus semacam ini sudah sering terjadi dan terus berulang-ulang seolah tidak akan berhenti.
Ada banyak penyebab kasus ini terjadi. Salah satunya bisa jadi karena keimanan yang lemah dari pihak pelaku. Dalam kasus pembunuhan bayi oleh ibunya diketahui bahwa sang ibu merasa terbebani dengan kelahiran sang bayi.
Ibu merasa bebannya sudah berat dengan dua anak sebelumnya. Jika ditambah satu anak lagi, maka ia makin kesulitan. Ia tak sanggup memberi makan anak-anaknya karena hanya bekerja sebagai buruh.
Inilah fakta yang terjadi di masyarakat. Di mana banyak dari masyarakat kita yang hidup jauh di bawah garis kemiskinan.
Ternyata kemiskinan ini bisa menjadi pemicu berbagai tindak kriminal, baik itu pembunuhan, pencurian, ataupun tindak kekerasan lainnya. Kemiskinan parah ini bisa berdampak pada terkikisnya naluri keibuan. Ibu kehilangan nalurinya dan berubah menjadi monster yang tega membunuh buah hatinya sendiri.
Negara Abai
Pemerintah menjadi pihak yang paling bertanggung jawab. Pemerintah seharusnya mengurusi seluruh urusan rakyatnya dengan baik dan menjamin kebutuhan pokok mereka.
Bukan hanya masalah perut yang dipenuhi, tetapi juga penerapan aturan yang mampu mencegah orang berbuat kejahatan. Rakyat tidak hanya butuh makan, tetapi juga harus diatur dengan aturan yang baik sehingga kesejahteraan lahir dan batin bisa terwujud.
Namun, faktanya pemerintah justru abai terhadap urusan rakyat. Lapangan pekerjaan yang bisa menghasilkan nafkah untuk menghidupi keluarga sangat kurang. Pajak diberlakukan di berbagai sektor. Inflasi tidak terbendung sehingga harga melambung. Biaya sekolah yang mahal tak terjangkau oleh rakyat miskin. Begitu pula biaya kesehatan yang tinggi membuat rakyat makin kesulitan.
Tidak hanya itu. Negara juga mengabaikan perkara akidah rakyatnya. Ketaatan terhadap aturan agama tidak ditanamkan. Negara tidak peduli rakyatnya mau beribadah atau tidak. Agama malah dipinggirkan. Padahal, agama adalah petunjuk kehidupan. Agama menjadi panduan manusia dalam menjalani hidup dan menyelesaikan berbagai persoalannya.
Namun, hal ini tidak diterapkan oleh negara. Rakyat tidak dididik untuk menjalankan ibadah dengan baik. Akibatnya, ketika ada masalah, orang akan menyelesaikan menurut hawa nafsunya sendiri. Bukannya selesai malah makin bertambah masalahnya.
Inilah dampak sekularisme kapitalisme. Bukan hanya masalah individu yang terabaikan, urusan yang berkaitan dengan publik pun tak terurus. Contoh paling nyata adalah harta milik rakyat yang dikelola tidak untuk kepentingan rakyat banyak. Barang tambang sebagai harta milik rakyat bukannya dikelola negara malah dijual kepada para pemilik modal.
Harta milik umum yang seharusnya bisa mendatangkan maslahat bagi rakyat justru diserahkan kepada para kapitalis. Rakyat tidak bisa menikmati manfaatnya, apalagi menjadi sejahtera. Yang mendapat keuntungan justru para pemilik modal yang sudah kaya raya. Rakyat hanya mendapat remah-remahnya.
Kalaupun ada bansos yang diberikan, tetapi itu tidak sebanding dengan banyaknya kebutuhan yang harus dipenuhi. Selain itu, bansos hanya untuk kalangan tertentu. Tidak semua rakyat mendapatkannya. Padahal, setiap orang yang kekurangan berhak mendapatkan bantuan untuk bisa memenuhi kebutuhannya.
Islam Wujudkan Kesejahteraan
Berbeda dengan Islam yang menilai kesejahteraan dari setiap individunya. Kesejahteraan tidak diukur secara rata-rata, melainkan dilihat dari setiap jiwa apakah sudah tercukupi kebutuhan pokoknya. Jika sebuah keluarga sudah bisa memenuhi kebutuhan pokok seperti sandang, pangan, dan papan secara layak, maka baru dikatakan sejahtera.
Tugas kepala negara, dalam hal ini seorang khalifah, adalah menyelenggarakan sistem pemerintahan yang mampu mengurusi seluruh rakyatnya. Hanya sistem Islam yang mampu melakukannya.
Islam memerintahkan negara untuk menyediakan lapangan pekerjaan yang luas bagi warganya. Setiap kepala keluarga akan memiliki pekerjaan sehingga dapat memenuhi nafkah keluarganya. Jika ada yang menganggur karena malas, maka negara bisa memaksanya untuk bekerja.
Selain itu, negara juga mencukupi kebutuhan dasar berupa pendidikan, kesehatan, dan keamanan secara layak bagi semua warganya. Setiap orang mendapatkan akses pelayanan yang merata.
Dengan cara seperti itu, kepala keluarga akan mampu memenuhi kebutuhan keluarganya. Bebannya tidak berat karena ada negara yang mau membantu.
Sementara itu, SDA yang dimiliki akan dikelola oleh negara dan dikembalikan kepada rakyat untuk bisa dinikmati. Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah: "Kaum Muslimin bersekutu (memiliki hak yang sama) dalam tiga hal: air, padang, dan api." (HR. Abu Dawud)
Karena SDA itu adalah milik umat, maka haram untuk diserahkan pada swasta, baik asing maupun lokal. Negara wajib mengelola dan hasilnya dikembalikan kepada umat. Dari harta milik umat inilah menjadi salah satu pemasukan harta di Baitulmal. Selain itu, ada kharaj, ghanimah, zakat, fai, anfal, jizyah, usyur, khumus, dan rikaz.
Dengan harta ini, negara akan bisa mencukupi kebutuhan rakyat dengan sebaik-baiknya. Ibu tidak akan turut memikul tanggung jawab mencari nafkah keluarga. Ibu tidak harus bekerja siang malam untuk memenuhi kebutuhan keluarga.
Nafkahnya sudah ada yang menanggung, baik dari suami, wali, atau kerabatnya. Dengan demikian, bisa fokus melakukan tugasnya mendidik generasi dengan baik sehingga bisa membangun peradaban Islam yang mulia.
Hal seperti ini hanya terwujud ketika Islam diterapkan secara kaffah dalam bingkai Negara Khilafah. Ini adalah sistem pemerintahan yang telah dicontohkan oleh Rasulullah. Maka, berjuang untuk menegakkan sistem terbaik ini menjadi sebuah keharusan agar kesejahteraan hakiki bisa terealisasi.
Wallahu a'lamu bishawab
Oleh: Endang Mulyaningsih
Aktivis Muslimah
0 Komentar