Topswara.com -- Dalam menjalani kehidupan di dunia ini, manusia sebagai hamba dari Allah SWT (Sang Khalik dan Mudabbir/Sang Pengatur) tidak semulus seperti yang diharapkan oleh seseorang, namun ada kalanya penuh dengan tantangan khususnya dalam perekonomian. Untuk memenuhi kehidupannya, seseorang bisa dihadapkan pada tantangan berupa pemenuhan ”kebutuhan” hidup atau ”keinginan/gaya” hidup.
Ada masyarakat yang harus berjuang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dikarenakan kurangnya tingkat ekonomi keluarga dan dampak dari penerapan sistem ekonomi saat ini (ekonomi kapitalis yang tidak memberi mashlahat bagi umat), serta ada pula masyarakat yang berorientasi pada keinginan/gaya hidup dimana solusi pemenuhan atas kedua kondisi yang timpang tadi menurut mereka adalah melalui utang piutang.
Kondisi yang terjadi pada saat ini perlu menjadi perhatian bersama, utang piutang merupakan salah satu aktifitas hubungan antara manusia dengan manusia lainnya yang menurut pandangan Islam merupakan kegiatan fikih muamalah.
Namun, kita mesti waspada dan juga tidak menggampangkan hal ini, karena Rasullullah SAW pernah bersabda yang diriwayatkan oleh Al Baihaqi yang artinya ”Berhati-hatilah kamu dalam berhutang, sesungguhnya hutang itu menimbulkan kerisauan di malam hari dan mendatangkan kehinaan di siang hari”.
Apalagi utang tadi hanya untuk keinginan/gaya hidup yang mengarah kepada hedonisme yang sangat bertentangan dengan syariat Islam. Tidak ubahnya yang dilakukan pemerintah hari ini untuk menjalankan aktivitas pemerintahannya yang dibebankan kepada utang. Sehingga setiap tahun utang pemerintah mengalami kenaikan dan pada akhir tahun 2023 total utang menjadi Rp. 8.041 Triliun.
Kita tidak boleh menganggap remeh persoalan hutang piutang, karena Rasulullah SAW pernah tidak akan menshalati jenazah yang masih memiliki hutang, karena jiwa seorang mukmin bergantung pada hutangnya hingga dilunasi (berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh imam At Tirmidzi).
Apalagi persoalan utang piutang yang terdapat riba didalamnya, karena dosa riba itu memiliki 73 (tujuh pulu tiga) pintu, dan yang paling ringan saja seperti berzina dengan ibu kandungnya sendiri (berdasarkan Hadits Riwayat Al Hakim dan Al Baihaqi), bahkan pada setiap dirham dosanya lebih besar daripada 36 (tiga puluh enam) kali berzina (HR. Imam Ahmad dan Al Baihaqi). Naudzubillahi min dzalik.
Munculnya bank-bank syariah saat ini juga menegaskan bahwa kondisi yang ada memang tidak sesuai dengan syariah Islam, meskipun kalau dibahas lebih lanjut untuk menjadi pertanyaan lebih dalam apakah bank syariah yang ada sudah sesuai dengan sistem ekonomi Islam?.
Begitulah kondisi negeri dan umat yang terabaikan oleh kekuasan, yang seharusnya memberikan perlindungan dan kesejahteraan. Padahal Islam adalah agama samawi yang merupakan mabda (ideologi), mampu menyelesaikan problematika / masalah manusia secara menyeluruh baik itu masalah pokok berupa simpul besar kehidupan manusia (akidah) dan juga masalah cabang seperti masalah ekonomi. Hal ini dapat diatasi dengan syariat Islam yaitu penerapan sistem ekonomi Islam secara kaffah.
Penerapan sistem Islam telah dipraktekkan sejak Daulah Madinah oleh Rasullah dan dilanjutkan oleh khalifah penerusnya selama kurang lebih 14 abad, telah terbukti menghasilkan peradaban yang luar biasa berpengaruh bagi kehidupan di dunia ini.
Upaya dalam penerapan Islam secara kaffah haruslah berdasarkan thariqah (tatacara) yang pernah dicontohkan Rasullullah. Sudah selayaknya hal yang sesuai dengan Al-Qur’an dan hadis ini menjadi template untuk diterapkan, sehingga Allah akan merealisasikan janji-Nya yaitu keberkahan dari langit dan bumi dengan syarat penduduk negeri tersebut haruslah beriman dan bertakwa Q.S Al-A’raf ayat 96.
Wallahu a’lamu bis shawab.
Oleh: Ahmad Fauzi
Aktivis Dakwah
0 Komentar