Topswara.com -- Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menemukan adanya kenaikan harga pada bahan pokok seperti beras, gula, dan cabai merah keriting. Hal ini diketahui saat melakukan inspeksi mendadak (sidak) yang dilakukan di pasar tradisional Cihapit dan Griya Pahlawan Bandung. Tujuannya untuk mengantisipasi akan adanya permainan harga dan penahanan pasokan oleh pelaku usaha ketika akan menjelang bulan Ramadan.
Ternyata KPPU menemukan kenaikan harga pada tiga komoditas tersebut. Seperti beras premium secara rata-rata sebesar 21,58% menjadi Rp16.900/kg. Padahal HET sebagaimana telah ditetapkan Badan Pangan Nasional (Bapanas) sebesar Rp13.900/kg. Adapun cabai merah keriting sebesar Rp55.000/kg, namun di pasaran ditemukan harga cabai merah keriting sebesar Rp150.000/kg, dan harga gula Rp16.000/kg, namun saat ini di Kota Bandung, rata-rata harga gula konsumsi jauh di atas HET yaitu sebesar Rp18.000/kg. (KataData.co.id, 11/02/24)
Permasalahan mengenai kenaikan harga ini sering terjadi di setiap tahunnya ketika akan memasuki hari-hari tertentu, seperti hari raya Idulfitri, natal, dan tahun baru. Faktanya pemerintah belum mampu menangani kasus tersebut hingga tuntas, yang akhirnya masyarakat harus mampu mengelola keuangan dalam kehidupannya agar tercukupi. Bahkan jika kondisinya adalah rakyat miskin, dengan pasrah harus menutup diri untuk tidak membeli beras karena ketiadaan biaya.
Begitupun dengan gula dan cabai merah keriting yang menjadi faktor pendukung dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari, jika mengalami kenaikan masyarakat akan kesulitan. Walaupun, pemerintah sudah berupaya dengan adanya bantuan sembako bagi masyarakat tak mampu, akan tetapi fakta di lapangan hal tersebut tidak sampai kepada targetnya. Bahkan, tak jarang banyak masyarakat miskin yang tidak mendapatkan bantuan sembako.
Kenaikan harga barang pokok ini terutama beras disebabkan oleh beberapa faktor, salah satunya biaya produksi yang mahal dan cuaca yang tidak mendukung untuk panen tepat waktu. Namun, penyebab sesungguhnya adalah rusaknya rantai distribusi beras. Sebab, saat ini dikuasai oleh sejumlah pengusaha yang memiliki omset besar. Mereka memonopoli gabah dari petani dengan membeli harga yang lebih tinggi.
Tidak hanya itu, para pengusaha memiliki mekanisme lebih modern dalam pengolahan pangan seperti menggiling padi dengan teknologi yang lebih canggih, sehingga dapat menghasilkan beras yang lebih banyak dan bermerek. Sedangkan, para petani biasa tak mampu berbuat seperti itu.
Dengan memonopoli distribusi seperti ini, mereka memiliki akses mudah untuk mempermainkan harga dan menimbunnya. Tidak hanya akan merugikan pihak konsumen, akan tetapi para petaninya juga. Sebab, dengan mahalnya harga jual ini akan menguntungkan pihak pengusaha tersebut, bukan ke pihak lain.
Fenomena seperti ini merupakan hal yang lumrah terjadi di dalam sistem kapitalisme liberalisme. Konsep serba mudah tanpa melihat halal atau pun haram membuat usaha para kapital semakin berkembang, namun tidak dengan masyarakat yang semakin menderita. Hal ini pun telah melahirkan persaingan bebas yang membuat para pemilik modal besar lebih unggul dari petani bermodal pas-pasan.
Seharusnya pemerintah mampu mengatasinya dengan melakukan pengecekan akan ketersediaan bahan pangan secara nasional, lalu dari sisi distribusi, pemerinrah pusat sudah berkoordinasi dengan pemerintah daerah serta para asosiasi yang terlibat pada proses distribusi.
Sedangkan dari sisi stabilitas harga pemerintah akan terus memenuhi kebutuhan di pasar dengan mengutamakan pasokan dari dalam negeri terlebih dahulu. Dengan kurangnya penanganan atas masalah pangan hingga berimbas pada melambungnya harga, menunjukkan bahwa negara telah gagal mewujudkan ketahanan pangan dalam negeri sebagai akibat penerapan sistem ekonomi kapitalisme.
Berbeda halnya dengan Islam dan sistemnya. Islam sebagai ideologi sahih memilki seperangkat aturan yang sempurna yakni aturan kehidupan yang di dalamnya terdapat solusi tuntas akan masalah kehidupan yang diberikan oleh Allah SWT. Termasuk masalah pangan yang merupakan kebutuhan pokok masyarakat seperti beras.
Beras merupakan kebutuhan pokok yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Oleh karena itu negara wajib memperhatikan hal tersebut mulai dari produksi, konsumsi, hingga pendistribusiannya. Di antaranya mengawasi jalur distribusi agar tak terjadi penimbunan, monopoli, dan berbagai praktik lainnya yang akan merusak rantai distribusi ini.
Untuk menghasilkan beras yang baik, negara dalam sistem Islam akan memberikan bantuan kepada para pertani. Baik berupa lahan, pupuk, benih, pestisida, alat pertanian, dan lain sebagainya. Sedangkan dalam proses pendistribusian, pemimpin akan memastikan tidak ada hambatan apapun. Sehingga, akan meminimalisasi praktik penimbunan yang akan merugikan masyarakat.
Tindakan tersebut sebagai bentuk tanggung jawab dan perhatian yang diberikan oleh pemimpin Islam kepada umatnya. Hal itu juga, merupakan wujud dari peran negara sebagai pelindung (junnah) semua masyarakat.
Dari Abu Hurairah ra., Rasulullah SAW. bersabda “Sesungguhnya al-imam (khalifah) itu perisai yang (orang-orang) akan berperang mendukungnya dan berlindung (dari musuh) dengan (kekuasaan)-nya.” (HR Muttafaqun ‘alayh dll.)
Rasulullah SAW. Bersabda:
“Setiap kalian adalan pemimpin (raa’in) dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya” (HR. Riwayat Muslim)
Terkait dengan mekanisme pembentukan harga, Islam melarang seorang penguasa melakukan pematokan harga (tas’ir), harga dibiarkan terbentuk secara alami sesuai dengan permintaan dan penawaran di pasar. Dengan demikian, negara tidak menentukan HET. Negara bisa menurunkan harga melalui kebijakannya, yaitu dengan menstabilkan jumlah barang di pasaran sehingga harganya terjangkau dan stabil.
Dengan demikian solusi untuk mengatasi melambungnya harga hanya bisa dilakukan oleh negara yang menerapkan Islam secara kaffah dengan tanggung jawabnya sebagai raa'in dan junnah, tanggung jawab yang tidak dimiliki penguasa dalam sistem kapitalisme sekuler seperti saat ini.
Wallahu’alam bi ash-shawwab
Oleh: Nazwa Hasna Humaira
Aktivis Dakwah
0 Komentar