Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Fenomena Bank Emok dan Pinjol Merajalela

Topswara.com -- Praktik Bank Emok dan rentenir (lintah darat) serta penyedia pinjaman online (pinjol) kian merajalela akhir-akhir ini. Keganasan aksinya terus bertambah masif, bergerilya mencari masyarakat yang mengalami kesulitan keuangan dengan bunga yang mencekik.

Kendati dinyatakan sebagai praktik penyedia pinjaman uang ilegal namun peminat nasabah Bank Emok, rentenir dan pinjol ini tetap tinggi. Bahkan, cenderung terus meningkat. Akibatnya, tidak sedikit yang terjebak bujuk rayu, membuat mereka gulung tikar dan mengalami kemiskinan.

Merespon ragam kegelisahan dan permasalahan yang dialami masyarakat, Wakapolresta Bandung, Maruli Pardede, mengungkapkan bahwa bank emok dan Pinjol sering menjadi sumber keluhan yang diterima kepolisian, terutama di Kabupaten Bandung. Seperti yang terungkap saat acara Jumat Curhat, Maruli memberikan imbauan kepada masyarakat untuk tidak menggunakan jasa ini ketika membutuhkan dana tambahan. (www.ayobandung.com, 04/02/2024)

Fakta yang cukup mengejutkan diungkap oleh CEO & Principal Zapfinance Prita Hapsari Ghozie bahwa 42 persen korban pinjaman online adalah guru. Angka ini melebihi profesi lainnya seperti karyawan yang diPHK (21 persen), ibu rumah tangga (18 persen), karyawan (9 persen), dan pelajar (3 persen). Efek dari pinjaman jenis ini tidak hanya berpengaruh pada kondisi ekonomi, tapi juga mampu menjadi penyebab terjadinya perceraian hingga bunuh diri.

Himpitan ekonomi hingga motivasi untuk memenuhi gaya hidup membuat masyarakat mengambil jalan pintas dengan pinjaman berbasis bunga (riba) kepada rentenir yang lebih mudah didapat. 

Tentu minimnya ilmu dan iman menyebabkan rakyat Indonesia yang mayoritas muslim dapat terjerat transaksi haram seperti ini. Faktor lain yang menjadi penyebab adalah tidak adanya payung hukum yang dapat menindak pelaku bisnis pinjaman berbasis riba ini.

Praktik ribawi seperti bank emok, rentenir atau pinjol adalah efek dari sistem ekonomi kapitalis yang diterapkan di negeri ini. Negara secara langsung telah memberikan contoh praktik tersebut melalui perbankan, koperasi dan lembaga finance yang telah dilegalkan untuk melaksanakan akad ribawi. 

Sistem ekonomi kapitalis sekuler tidak mengenal halal-haram sebagai standar kehidupan. Terlebih kesulitan yang dialami oleh masyarakat menengah ke bawah ini akibat pemerintah salah urus terhadap umat. Penguasa berlepas tangan dalam mengurusi rakyatnya sehingga untuk memenuhi kebutuhan hidup, mereka terpaksa mencari solusi lain dengan pinjaman berbasis riba.

Bila kita cermati lebih dalam, masalahnya bukanlah terletak pada legal atau tidak legalnya, namun Bank Emok adalah sebuah lembaga ribawi yang memberikan pinjaman dengan kompensasi bunga, dan itu diharamkan dalam Islam. 

Sebagaimana firman Allah SWT. dalam QS. Al-Baqarah: 275 yang artinya: “Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”. 

Riba yang dipraktikan adalah berupa qardh (pinjaman), hal ini terjadi pada transaksi utang piutang, dimana peminjam wajib mengembalikan dana yang dilebihkan dari yang dipinjam.  

Para fuqaha dalam masalah ini sepakat bahwa dalam akad qardh (pinjaman), haram hukumnya pihak pemberi pinjaman (muqridh) mensyaratkan dari pihak peminjam (muqtaridh) adanya manfaat atau tambahan, baik tambahan jumlah/kuantitas (al ziyadah fi al qadar) maupun tambahan kualitas (al ziyadah fi al shifah). (Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah, 33/130; Sa’duddin Al Kibbi, Al Mu’amalat Al Maliyah Al Mu’ashirah, hlm. 227; M. Nur bin Abdul Hafiizh Suwaid, Fiqhul Qardh, hlm. 37-38).  

Dalam Islam, penyedia jasa semisal Bank Emok tidak diperbolehkan, karena adanya kelebihan uang dalam aktivitas pinjam-meminjam (utang) besar ataupun kecil dianggap sebagai riba, hal inilah yang jelas dilarang bahkan dikatakan lebih buruk dibandingkan dosa seorang pezina.

Sebagaimana sabda Rasulullah SAW. :
“Satu dirham yang dimakan oleh seseorang dari transaksi riba sedangkan dia mengetahui, lebih besar dosanya daripada melakukan perbuatan zina sebanyak 36 kali.” (HR Ahmad dan Al-Baihaqi dalam Syu’bul Iman).

Negara harus berperan untuk memberantas semua bentuk transaksi riba. Jika nominal yang kecil saja sudah termasuk kemaksiatan besar, lalu bagaimana dengan transaksi hingga miliar dan triliyun rupiah, hal ini tentu lebih besar lagi dosanya. Para pelaku bisa dikenakan hukuman pidana, untuk memberikan efek jera dan mencegah orang lain untuk melakukan hal yang serupa. 

Negara pun wajib menjamin kebutuhan primer setiap warga masyarakat dengan memperhatikan kondisi keluarga miskin yang tengah mengalami kesulitan. Adapun penyalurannya bisa diserahkan secara langsung. Demikianlah sistem ekonomi yang berkeadilan, dilakukan dengan memaksimalkan pemanfaatan kepemilikan umum yang dapat membuat beban hidup masyarakat menjadi ringan.

Maka sudah saat nya kita menjadikan Islam sebagai pondasi kehidupan, dan menerapkan hukum Islam secara kafah di seluruh lini kehidupan kita. Sehingga masyarakat akan hidup sejahtera, berkah dan aman karena mendapatkan rida dari Allah SWT. 

Wallahu ‘alam bishshawab.


Oleh: Novi Widiastuti
Pegiat Literasi
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar