Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Female Breadwinner, Bolehkah?

Topswara.com -- Female breadwinner (pencari nafkah utama) kini marak dibicarakan di kalangan kaum hawa, bahkan menjadi sebuah aktivitas yang didambakan. Tidak bisa dipungkiri bahwa di sistem kapitalisme saat ini, status sosial begitu penting di mata masyarakat. Dengan status sosial yang tinggi akan menjadikan penyandangnya dihormati dan dihargai sedangkan status sosial yang rendah sudah pasti akan dianggap remeh dan tak berguna.

Dengan pemikiran yang demikian ini menjadikan kaum wanita ikut andil dalam memperebutkan podium teratas, berlomba untuk sekedar menyandang gelar kesuksesan demi diakui di kalangan masyarakat pada umumnya.
 
Belum lagi dalam sistem kapitalisme, wanita adalah makhluk sosial yang bisa dieksploitasi seluruh yang ada pada dirinya, baik keterampilannya, keuletannya, kedisiplinannya, bahkan kecantikan dan kemolekan fisiknya. 

Wanita dianggap mampu untuk bisa mengerjakan semua pekerjaan baik pekerjaan domestik maupun non domestik, sehingga hal tersebut menjadikan kaum wanita semakin eksis untuk bekerja, baik untuk sekadar mendapat penghargaan ataupun untuk membantu perekonomian keluarga. 

Padahal hakikatnya fenomena female breadwinner ini adalah sebuah kezaliman, dimana wanita dipaksa untuk melakukan tugas yang bukan menjadi kewajibannya. Tanpa disadari fenomena inilah yang menjadi biang penderitaan bagi kaum wanita.

Islam memandang wanita sebagai makhluk mulia, wanita adalah ummu wa robbatu bayt yang Allah letakkan di pundaknya sebuah tanggung jawab sebagai pencetak generasi beriman dan bertakwa. Inilah sesungguhnya tugas utama seorang wanita, sedangkan pencari nafkah adalah tugas lelaki sebagai qowwam ‘ala nisa (pemimpin bagi wanita). 

Memahami hal ini, tentu saja wanita dan laki-laki adalah individu yang berbeda dengan kapasitas dan tanggung jawab yang berbeda pula. Maka sebagai muslimah yang taat, seharusnya memampukan diri untuk memenuhi tanggung jawabnya tersebut sebagai bentuk ketaatan terhadap peraturan Allah SWT, bukan malah sebaliknya, menentang perintah Allah dengan menyamakan atau bahkan bertukar peran dengan kaum laki-laki. 

Karena tindakan menentang ini akan menimbulkan dampak negatif yang tidak sedikit, diantaranya pertengkaran antar pasangan, stress yang berlebihan pada wanita akibat beban keluarga yang seharusnya tidak dibebankan kepada kaum wanita, hilangnya rasa hormat terhadap suami sampai pada rusaknya moral anak akibat kurangnya perhatian dari orang tua.

Negara sudah seharusnya mengambil peranan penting dalam hal tersebut, sebagai penguasa tertinggi yang bertanggung jawab atas kesejahteraan dan kemakmuran rakyatnya, negara wajib mengembalikan kaum wanita kepada peran dan kewajiban yang telah Allah tetapkan kepadanya, juga melindungi hak haknya sebagai wanita yaitu dilindungi dan dinafkahi oleh walinya. Untuk itu negara wajib menjamin para wali untuk bisa bekerja dan mencari nafkah yang halal untuk keluargnya. 

Negara yang demikian pastilah bukan negara yang menganut kapitalisme dengan segala kebobrokan sistem dan pemikirannya, namun negara yang mampu untuk merealisasikan hal tersebut adalah negara yang menganut sistem Islam, yang mengatur masyarakatnya dengan menerapkan aturan Allah SWT.

Sesuai dengan sabda Rasulullah SAW " Imam adalah ra'in (pengurus) dan ia bertanggung jawab atas rakyatnya (HR. Bukhori). Maka fungsi negara dalam Islam adalah sebagai junnah (pelindung) dan ro'in (pengurus).

Wallahua’lam bissawab.


Oleh: Lisa Fatmawati
Aktivis Muslimah
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar