Topswara.com -- Indonesia telah merdeka 78 tahun lamanya. Dengan lika liku perjalanan sejarahnya, Indonesia telah mengadopsi slogan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Tanah air milik rakyat telah diperjuangkan para pahlawan dengan mengusir penjajah. Semuanya demi cita-cita agar rakyat hidup dengan damai di atas tanah tumpah darah mereka.
Namun, sudahkah rakyat menikmati kehidupan damai makmurnya itu?
"Indonesia kan sudah merdeka yah, tapi bagi kami rasanya belum merdeka," tutur warga Wates, Majalengka, Diah Mardiah. Hal ini dikarenakan adanya konflik agraria antara TNI Angkatan Udara (AU) dan warga Wates semenjak zaman penjajahan yang menghalangi warga Wates merasakan kemerdekaan secara utuh.
Kronologi konflik ini bermula pada tahun 1942 ketika Warga Wates meninggalkan kampungnya untuk mengungsi karena terancam kehidupannya akibat perang di zaman penjajahan Jepang. Setelah kondusif warga pun kembali, namun ternyata lahan mereka telah di klaim sepihak menjadi milik TNI AU.
Sejarah kebijakan hukum pertanahan dari awal pembentukan Indonesia hingga kini ternyata lebih mengesampingkan rakyat kecil yang seakan tidak punya kuasa dan lebih berpihak kepada yang kuat. Ini bisa dilihat melalui serangkaian kebijakan seperti penetapan ruang yang meminggirkan rakyat, melalui Proyek Strategis Nasional (PSN), memberikan izin berupa HGU, HGB hingga IUP yang tidak melihat kondisi struktural rakyat.
Kebijakan yang di ambil tersebut semakin memperbanyak konflik agraria. Sementara korbannya adalah rakyat kecil diberbagai tempat.
Dengan diperlihatkannya banyak kebijakan yang merugikan rakyat ini, apakah ini berarti orientasi kebijakan negara telah salah sejak berdirinya Indonesia?
Satu hal yang pasti adalah dalam sistem "dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat" adalah sistem ini dibuat oleh tangan manusia, dan hukum-hukum yang ada di dalamnya "pasti" syarat akan kebatilan.
Dalam praktiknya, berdasarkan fakta yang terungkap, suara rakyat yang katanya diwakili oleh wakil rakyat ternyata disetir oleh kepentingan kapitalis. Suara rakyat teredam oleh ketamakan materi, harta atau kekayaan duniawi.
Sebut saja kebijakan omnibuslaw. Meski telah diprotes habis oleh rakyat, namun tetap diketok palu. Jadi, dimanakah kekuasaan rakyat yang disebut-sebut? Demikianlah memang karakter sistem ini. Kebijakan gampang diubah sesuai kehendak akal manusia, padahal akal manusia itu lemah. Apalagi yang telah dikuasai hawa nafsu.
Menilik sejarah pula, alim ulama terdahulu sekuat tenaga memperjuangkan arah kebijakan agung. Dengan kalimat "menerapkan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya", setelah perdebatan panjang dalam sidang BPUPKI, kemudian diperjuangkan oleh Muhammad Natsir pemimpin Masyumi yang mewakili umat Islam di Indonesia dalam sidang konstituante pada 12 November 1957, sebagai dasar dalam bernegara.
Sebagai kaum muslim, kita memahami bahwa membuat hukum adalah hak prerogatif Allah SWT. Sebagaimana dalam Firman Allah SWT:
اِنِ الْحُكْمُ اِلَّا لِلّٰهِۗ يَقُصُّ الْحَقَّ وَهُوَ خَيْرُ الْفٰصِلِيْنَ
"Menetapkan (hukum itu) hanyalah hak Allah. Dia menerangkan kebenaran dan Dia pemberi keputusan yang terbaik." (Al An'am: 57).
Dengan menerapkan hukum Allah, berarti kita menyerahkan kehidupan kita diatur oleh Allah. Sehingga tidak ada manusia yang atas kepentingannya sendiri mengeksploitasi dan menzalimi orang lain atas nama kebijakan negara.
Bumi ini adalah ciptaan Allah SWT, milik Allah SWT. Pengelolaan tanah pun diserahkan kepada Allah SWT. Menurut petunjuk Allah SWT, tanah atau lahan dapat dimiliki melalui jual beli, ihya'ul mawat (menghidupkan tanah mati, hibah, waris, tahjir (membuat batas pada tanah mati) dan iqtha' (pemberian negara kepada rakyat).
Kebolehan individu atas kepemilikan tanah tidak lantas dapat memonopolinya. Syariat memberikan batas waktu untuk lahan yang tidak digunakan dan ditelantarkan. Misal lahan yang dimiliki dengan cara dipagari, bila tidak dikelola atau tidak ada bangunan di lahan itu, tidak digunakan sebagai pertanian, atau yang menunjukkan tanda pengelolaan selama 3 tahun, maka negara akan mengambil lahan tersebut dan diberikan kepada yang sanggup mengelolanya.
Ketetapan itu diambil dari yang pernah di contohkan Umar bin Khattab ra yang berkata pada Bilal, “Sesungguhnya Nabi Saw tidaklah memberikan lahan ini padamu sekedar untuk dipagari dari orang-orang, akan tetapi beliau memberikannya padamu untuk dikelola. Maka ambillah yang sanggup engkau kelola dan kembalikan sisanya.”
Maka dari itu negara atau siapapun itu tidak diperbolehkan merampas lahan milik individu maupun milik umum tanpa ketentuan yang telah di tetapkan tersebut. Walaupun dengan alasan pembangunan, apalagi faktanya diserahkan pada investor. Hal itu juga dikatakan oleh Nabi di dalam sebuah hadits yang mengancam bagi perampas hak tanah yang dimiliki orang lain dengan ancaman yang akan dibebani tanah seberat tujuh lapis bumi di hari kiamat.
Selain itu negara juga akan melakukan riset untuk menetapkan wilayah yang berdungsi untuk keseimbangan alam. Dalam islam wilayah ini disebut hima (area konservasi). Dalam sejarah peradaban Islam Rasulullah menetapkan wilayah sekitar marilah sebagai hima.
Kemudian khalifah selanjutnya memperluas wilayah hima untuk melindungi ekosistem dan hima diharamkan untuk digunakan untuk kepentingan manusia.
Demikian syariat memberikan solusi dalam masalah agraria yang tak kunjung teratasi di negara ini. Telah terbukti bahwa sistem yang dianut negara ini tidak bisa memberikan solusi atas masalah agraria yang telah berlarut-larut kecuali Islam.
Oleh: Yahya Arifuddin
Aktivis Dakwah
0 Komentar