Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

'Efek Samping' Pesta Demokrasi

Topswara.com -- Rame-rame sejumlah Rumah Sakit Jiwa termasuk padepokan pengobatan alternatif menyatakan siap menampung pasien yang berasal dari para calon legislatif (caleg) yang gagal dalam pemilihan legislatif (pileg) 2024. 

RSJ Ratumbuysang di Minahasa Sulawesi Utara hanya menyiapkan ruangan kelas 3 untuk para pasien caleg depresi namun bisa mendapatkan perawatan bersama pasien maupun secara privat. 

RSJ Menur Surabaya yang merupakan rumah sakit tipe A yaitu yang menjadi rujukan tertinggi di Jawa Timur telah melakukan persiapan untuk mengantisipasi lonjakan pasien khususnya para caleg dan calon kepala daerah (cakada) gagal.

RSUD Oto Iskandardinata, Bandung menyiapkan sejumlah 10 ruangan VIP untuk persiapan pemilu. Bahkan RSUD dr Abdoer Rahiem saat ini sedang dalam Pembangunan ruang rawat inap untuk pasien dengan gangguan mental psikologis seperti caleg stres. 

Sementara itu, Anggota Komisi E DPRD DKI Jakarta Abdul Aziz meminta Dinas Kesehatan DKI Jakarta menyiapkan layanan konseling maupun fasilitas Kesehatan kejiwaan untuk caleg yang stres karena gagal terpilih. Hal tersebut dikarenakan belajar dari situasi dan kondisi di pemilu-pemilu sebelumnya dimana kecenderungan orang stres meningkat pasca pemilu. (news.detik.com, 26/01/2024)    

Memang benar, fenomena banyaknya orang stres pasca pemilu akan menjadi gelombang tersendiri baik itu kalangan caleg, cakada maupun timses. Kondisi ini seharusnya menjadi catatan tersendiri bagi kita semua. 

Apabila sistem dan mekanisme pesta demokrasi ini sudah berjalan sesuai dengan fitrah kemanusiaan, tidak seharusnya menjadikan manusia yang menjalaninya tersebut stres ketika gagal maupun lupa diri dan pongah ketika berhasil. 

Mengapa hal tersebut bisa terjadi? Pertama, harus dilihat dari niat individu mengapa orang berbondong-bondong mengejar jabatan baik menjadi caleg maupun kepala daerah. Apakah benar untuk membela kepentingan rakyat? Atau sebenarnya hanya mengejar karier jabatan saja yang ujungnya kemewahan fasilitas hidup pribadi. Ataukah dua-duanya? 

Alasan pertama sarat dipakai sebagai gimik para caleg dan pejabat saat kampanye, namun fakta sampai dimanakah efektivitas fungsi tersebut?. Kemanakah mereka yang mendekat saat kampanye, namun harga-harga naik, jalanan rusak, ekonomi makin sulit semuanya seolah rakyat kembali menanggung sendiri. 

Adapun untuk alasan kedua dan ketiga jelas haram. Jabatan adalah Amanah yang akan dimintai pertanggung-jawaban kelak di akhirat. Apabila jabatan dijadikan ladang penghasilan yang memang saat ini mewah dan wah, jelas tidak sesuai dengan apa yang dicontohkan Rasul dan para sahabat. 

Rasul dan para sahabat berjuang untuk menerapkan Islam, ketika Islam tegak secara otomatis memang merekalah yang memegang sebagai penguasa dan pejabat, namun apa yang mereka lakukan sungguh bertolak belakang dengan para pejabat saat ini.

Dalam sejarah, kita tidak akan pernah mendapatkan cerita para sahabat yang memperkaya diri dan keluarga dengan menjadi pejabat. Kalaupun ada sahabat yang diberi keutamaan kekayaan melimpah seperti Utsman Bin Affan dan Abdurrahman Bin Auf, itu bukan dari menjabat jabatan publik. 

Bahkan yang dilakukan justru mereka menginfakkan harta dan kekayaannya untuk kemaslahatan masyarakat yang luas. Utsman pernah membeli sumur milik Yahudi kemudian seluruh penduduk Madinah digratiskan memakai sumur tersebut. 

Hampir seluruh warga Madinah tidak ada yang tidak bermuamalah dengan Utsman. Begitu pula dengan Abdurrahman Bin Auf yang menolak dicalonkan menjadi khalifah, namun beliau sibuk membantu pelaksanaan pemilihan khalifah pengganti Abu Bakar. Beliau dengan kekayaannya banyak membangun barak-barak bagi para dhuafa’ dan janda.
   
Maka dari itu, cara pertama untuk mencegah caleg stres adalah dengan mendudukkan mindset tentang jabatan dalam Islam, yaitu amanah yang maha berat karena menyangkut pengurusan rakyat yang berarti orang yang banyak. 

Bila seorang pejabat dan pemimpin lurus, ia pasti tidak sempat untuk memperkaya diri karena saking sibuknya mengurus rakyat agar tidak satupun rakyat yang kelaparan, kedinginan karena tak punya tempat tinggal maupun pakaian, serta kecelakaan di jalan karena jalanan rusak.

Alasan kedua kedua fenomena stres pasca pemilu naik adalah kondisi sistemik. Sistem, cara, aturan, mekanisme memang rawan dan rentan bahkan mutlak membuat orang stres. Bagaimana tidak, siapa yang dicalonkan hari ini tanpa memakai uang? Tentu tidak ada yang memilih. 

Kalaupun ada juga sifatnya kasuistis. Untuk naik menjadi perangkat desa saja pake pemilihan dan butuh ratusan juta, bagaimana dengan pemilihan calon legislatif yang makin ke atas makin besar biayanya. Begitu pula pencalonan jabatan, makin ke atas makin besar biayanya. 

Sudah banyak cerita dari pesta demokrasi sebelumnya yang kita dengar bagaimana orang melakukan apapun untuk mendapatkan modal dalam pencalonan diri, apakah itu menjual usaha, menjual sawah, berutang, menggadaikan ini dan itu. 

Sehingga ketika pencalonan gagal, bukan hanya malu, stres dan depresi yang didapat, tetapi juga gila, mengamuk, meminta kembali bantuan bahkan ada yang bunuh diri.    

Mekanisme ini jelas salah, pemilihan pemimpin dan wakil umat Islam tak membutuhkan biaya untuk kampanye pencalonan. Kesalahan mekanisme terjadi juga pada fakta yang terjadi banyak caleg dan calon pemimpin yang secara biaya disponsori oleh pengusaha, sehingga terjadi simbiosis-mutualisme penguasa dan pengusaha, disinilah jawaban kenapa kepentingan rakyat menjadi yang kesekian.


Oleh: Ratna Mufidah, SE.
Aktivis Muslimah
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar