Topswara.com -- Film 'Dirty Vote' yang dirilis di akun YouTube Dirty Vote dan PSHK Indonesia menjadi perbincangan hangat netizen di media sosial. Film dokumenter yang menyoroti Pemilu 2024 tersebut tayang pada Minggu (11/2) kemarin.
Pantauan CNBC Indonesia, Senin (12/2/2024), topik 'Dirty Vote' merajai jejeran trending topic di X sejak pagi hingga berita ini dirilis. Tak kurang dari 584.000-an post telah membicarakan film berdurasi 1 jam 57 menit tersebut.
Di channel YouTube Dirty Vote, film tersebut sudah ditonton lebih dari 5,1 juta kali dan mendapat lebih dari 48.000-an komentar. Channel yang cuma memuat 1 video penuh dan 1 video trailer itu juga sudah mendapat 101.000 subscribe. Sementara itu, di channel PSHK Indonesia, lebih dari 4,3 juta yang sudah menonton 'Dirty Vote'. Sebanyak 63.000-an netizen telah membanjiri film 'Dirty Vote' dengan beragam komentar di channel tersebut.
"Dirty vote" dalam Bahasa Indonesia bisa diartikan sebagai "suara kotor" atau "pemungutan suara yang tidak sah" dalam konteks politik atau pemilihan umum. Ini bisa merujuk pada praktik-praktik seperti manipulasi suara, intimidasi pemilih, kecurangan pemilihan, atau praktik-praktik lain yang bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi dan hukum pemilihan. Dalam konteks lain, "suara kotor" bisa merujuk pada suara yang diberikan dengan cara yang tidak etis atau tidak jujur.
Dirty vote secara gamblang sebenarnya menunjukan karakter demokrasi itu sendiri, sebab dengan sistem demokrasi memang faktanya memberikan banyak ruang dan peluang untuk melakukan berbagai bentuk kejahatan dan kecurangan politik. Tipu daya akan menjadi karakter demokrasi, sebab sistem politik kufur ini memerlukan biaya yang sangat besar.
Tidak mungkin seseorang mengikuti kontestasi politik demokrasi jika tidak memiliki modal uang. Jadi jangan heran, jika pada akhirnya demokrasi hanyalah ajang perjudian para oligarki diatas legitimasi rakyat yang hanya dihargai dengan sekilo minyak goreng.
Demokrasi sebenarnya tidak lebih dari sekedar pemainan oligarki dalam menguasai dan menjajah suatu negara. Sebab demokrasi adalah anak kandung dari kapitalisme sekuler. Ideologi kapitalisme memiliki paradigma (fikrah) sekulerisme, dimana agama dan kehidupan politik dipisahkan. Sementara metode ideologi kapitalisme adalah imperialisme atau neoimperialisme.
Contoh imperialisme adalah penjajahan Israel kepada palestian, sementara neoimperialisme dengan memberikan utang atau pinjaman ke negeri-negeri muslim. Fikrah dan thariqah kapitalisme bersifat pasti. Demokrasi adalah sistem politik yang ditawarkan oleh penjajah kapitalisme di negeri-negeri kaum muslim.
Hanya saja sangat disayangkan, meskipun sudah sangat jelas bahwa demokrasi adalah sistem politik impor dari Barat penjajah, namun umat Islam tidak banyak yang memiliki kesadaran politik Islam, sehingga secara emosional tetap mendukung sistem demokrasi.
Padahal faktanya sistem demokrasi telah terbukti memecah belah umat Islam, telah merampas sumber daya alam milik umat oleh para oligarki, munculnya banyak pengkhianat agama dan tentu saja menjadikan rakyat semakin miskin ditambah dengan jeratan utang negara hingga ribuan triliun.
Saat ini, kesadaran politik di kalangan umat Islam umumnya sangat dipengaruhi oleh aspek psikologis dan emosional. Keputusan politik mereka sering kali merupakan respon spontan terhadap isu-isu, yang lebih didorong oleh sentimen emosi daripada pertimbangan rasional, apalagi pertimbangan analisis ideologis atau kesadaran politik Islam, masih jauh panggang dari api.
Dinamika ini seringkali merupakan reaksi terhadap pernyataan atau tindakan politik yang dianggap bertentangan dengan nilai-nilai atau keyakinan yang mereka pegang. Mestinya film dirty vote menjadi pemantik bagi umat untuk transformasi kesadaran politik Islam, dari psikologis ke ideologis.
Kalangan doktor, professor, dan intelektual muslim yang terhimpun dalam Forum Doktor Muslim Peduli Bangsa (FDMPB) merespon kondisi negeri. Hal itu terwujud pada FGD ke-41, Sabtu (10/2/2024). Mengangkat tema “Kritisi Demokrasi Selamatkan Negeri”. Acara Live Streaming melalui You Tube medapatkan atensi lebih dari 1.500 viewers itu memberikan peringatan kepada pemerintah sekaligus memberikan himbauan kepada umat Islam agar memiliki kesadaran politik Islam agar negeri ini tidak terus dijajah dan dizolimi oleh kapitalisme dengan para anteknya.
Diantara pernyataan sikap FDMPB adalah Ajakan kepada Masyarakat Akademik untuk terus memikirkan dan memberikan solusi atas keterpurukan negeri ini akibat penerapan ideologi kapitalisme sekuler.
Menolak segala bentuk kebijakan kapitalistik yang menyebabkan semakin terpuruknya kehidupan rakyat dan hanya memperkaya oligarki dengan menguasai sumber daya alam milik rakyat serta menyeru kepada pemerintah untuk kembali ke jalan yang benar, yakni jalan Islam.
Sistem demokrasi tidak akan memberikan peluang terhadap Islam untuk diterapkan menjadi perundang-undangan. Meskipun nilai-nilai islami diadopsi dalam proses kampanye atau suara-suara umat Islam didengar dan turut diperhatikan, terpilihnya seorang muslim untuk menjadi kepala negara tidak ada otomatis menjadikan Islam yang berkuasa.
Nilai islami menjadi satu kondisi yang memang hadir sebagai sebuah kesadaran di kalangan masyarakat. Nampaknya umat Islam masih memiliki sentimen berupa keyakinan bahwa harus orang islam yang berkuasa dan menjadi pemimpin negara. Kesadaran politik umat Islam masih sebatas perasaan atau emosional saja.
Meskipun ada juga individu yang berusaha mendekati proses politik dengan cara yang lebih rasional, melakukan riset untuk mendukung keputusan mereka, namun tarikan emosional tetap memiliki pengaruh kuat. Fenomena ini merupakan masalah yang dianggap sepele. Bahkan dianggap bukan masalah. Perubahan menuju penerapan hukum Islam tidak akan berhasil hanya dengan memperbaiki beberapa aspek dari proses politik demokrasi saja.
Islam sebagai sebuah dien yang murni berasal dari Allah sulit bahkan mustahil ditegakkan jika mencampurkan prosesnya dengan sistem kufur. Film dirty vote sebenarnya hanya titik kecil yang bersifat etik dari bopeng besar demokrasi yang bersifat ideologis.
Suara umat Islam yang berpotensi menjadi kekuatan ideologis transformasional sering kali tereduksi menjadi sekadar islam kultural, yang lebih banyak berbicara tentang identitas daripada ideologi aplikatif dalam politik dan kebijakan publik.
Dalam situasi demikian, kita merasakan kebutuhan mendesak. Kebutuhan untuk memahami dan mengarahkan kesadaran politik umat Islam dari yang bersifat emosional menjadi lebih ideologis.
Kesadaran ideologis yang kuat tidak hanya akan memperkaya diskursus politik dengan perspektif yang berprinsip pada keimanan kepada Allah, tetapi juga menjadi katalis untuk perubahan mendasar yang diperlukan oleh bangsa Indonesia dan dunia.
Diperlukan sebuah pergeseran menuju kesadaran ideologis, di mana masyarakat, dengan sadar dan penuh pertimbangan, mendukung prinsip dan nilai yang mereka yakini dapat membawa perubahan positif yang berkelanjutan. Kita perlu menjelajahi bagaimana pergeseran tersebut dapat terjadi dan mengapa hal itu penting untuk kemajuan dan pergerakan dakwah Islam kaffah.
Konsep kesadaran politik mencakup berbagai dimensi, yang masing-masing sangat penting untuk memahami keterlibatan dan pemahaman individu atau kelompok terhadap realitas politik. Pertama, Dimensi Kognitif (Fondasi kesadaran politik). Aspek ini melibatkan pengetahuan dan informasi yang dimiliki seseorang.
Misalnya pengetahuan tentang sistem politik, aktor, isu-isu terkini, dan sejarah politik, termasuk konsep-konsep fundamental seperti demokrasi, otoritarianisme, keadilan sosial, hak asasi manusia dan termasuk hukum Islam tentang pemerintahan seperti khilafah, Qadhi dan sebagainya.
Kedua, Dimensi Afektif (Emosi dan identitas). Dimensi ini berkaitan dengan perasaan, sikap, dan nilai individu terhadap sistem politik, partai politik, pemimpin, dan isu-isu politik. Dimensi ini mencakup kepercayaan terhadap institusi politik dan kepuasan terhadap kinerja pemerintah. Sekedar perasaan untuk suka atau tidak suka dengan isu politik cukup menjadikan dirinya sadar akan perpolitikan.
Ketiga, Dimensi Evaluatif: Dimensi ini melibatkan kemampuan untuk menganalisis, mengkritik, dan membuat penilaian tentang isu-isu politik, kebijakan pemerintah, dan tindakan para aktor politik. Hal ini termasuk mempertimbangkan berbagai perspektif dan membuat keputusan yang tepat.
Keempat, Dimensi Partisipatif: Aspek ini menyangkut keterlibatan aktif dalam kegiatan politik, seperti memberikan suara, berkampanye, berdemonstrasi, atau berpartisipasi dalam organisasi masyarakat sipil. Tingkat kesadaran politik dapat mempengaruhi seberapa aktif individu terlibat dalam proses politik. Termasuk para aktivis dakwah yang menyerukan penerapan Islam pun dapat dikatakan sebagai partisipasi politik.
Adalah penting sebuah transformasi kesadaran politik islam yang bersifat ideologis di kalangan umat Islam dengan melakukan gerakan dakwah pemikiran dan dakwah ideologis. Kesadaran ideologis merujuk pada kesadaran seseorang atau kelompok tentang ideologi mereka sendiri dan ideologi lain yang ada dalam konteks sosial, politik, dan ekonomi mereka. Ini melibatkan pemahaman yang mendalam tentang prinsip-prinsip dan nilai-nilai yang mendasari pandangan politik dan sosial, serta kemampuan untuk mengidentifikasi dan membedakan antara berbagai ideologi yang mempengaruhi tindakan dan kebijakan politik.
Konsep kesadaran ideologis ini sering kali lebih fokus pada aspek kritis dan reflektif dari bagaimana ideologi membentuk persepsi dan interaksi individu dengan dunia sekitar mereka.
Dakwah pemikiran dan dakwah ideologi Islam bukanlah pekerjaan yang mudah, sebab selama ini umat Islam telah punya preferensi politik sekuler yang telah mendarah daging sedemikian lama.
Lebih sulit lagi karena preferensi sekuleristik ini juga telah menjangkiti kaum intelektual muslim, para ulamanya terlebih masyarakat muslim pada umumnya. Jangan heran jika di negeri ini ada seorang bergelar profesor, namun tetap menjadi sekuler, padahal agamanya Islam.
Kemungkinan yang dapat terjadi pada saat seorang mustami’ saat dia menerima dakwah pemikiran dan dakwah ideologis adalah menerima atau menolak. Proses penerimaan dakwah terjadi dengan cepat, lambat atau sangat lambat. Beberapa keadaan yang mungkin dialami oleh seorang mustami’ sehingga dia sulit menerima seruan dakwah pemikiran dan dakwah ideologis diantaranya adalah :
Pertama, konfirmasi bias. Bias konfirmasi adalah saat kita cenderung mencari dan mempercayai informasi yang sesuai dengan apa yang sudah kita percayai, dan mengabaikan informasi yang tidak sesuai.
Misalnya, dalam politik, jika seseorang mendukung satu partai, mereka mungkin hanya mendengarkan berita yang mendukung partai tersebut dan mengabaikan yang lain, yang membuat mereka semakin yakin dengan pilihannya tanpa mempertimbangkan pandangan lain.
Kedua, identitas grup dan polaritas politik. Identitas grup adalah perasaan menjadi bagian dari sebuah kelompok, seperti kelompok berdasarkan ras, agama, atau tim politik. Polaritas politik terjadi ketika perbedaan pendapat politik menjadi sangat kuat dan tidak ada lagi ruang untuk pendapat tengah atau kompromi. Kelompok-kelompok ini seringkali hanya melihat kelompok lain dengan pandangan negatif, meningkatkan perpecahan "kami versus mereka".
Ketiga, efek ketahanan keyakinan. Ini adalah saat orang terus mempercayai sesuatu meskipun ada bukti yang menunjukkan mereka salah. Dalam politik, ini bisa terjadi ketika seseorang terus mendukung kebijakan atau politisi tertentu walaupun ada bukti bahwa kebijakan atau politisi itu tidak berhasil. Ini sering terjadi karena orang tidak ingin mengakui bahwa mereka mungkin salah.
Keempat, disonansi kognitif. Disonansi kognitif adalah perasaan tidak nyaman yang kita dapat ketika kita memiliki dua pikiran atau keyakinan yang bertentangan. Untuk mengatasi perasaan ini, kita mungkin mengubah keyakinan atau perilaku kita.
Dalam politik, ini bisa terjadi ketika kita mendapat informasi baru yang bertentangan dengan keyakinan politik kita, yang mungkin membuat kita merubah pandangan atau mencari pembenaran untuk mengurangi rasa tidak nyaman.
Kelima, kognisi motivasi. Kognisi motivasi adalah bagaimana keinginan dan kebutuhan kita mempengaruhi cara kita melihat dan memikirkan sesuatu. Ini sering berarti kita hanya memperhatikan informasi yang mendukung apa yang kita ingin percayai atau mencapai.
Dalam politik, ini berarti orang mungkin hanya mendengarkan atau mempercayai informasi yang sesuai dengan pandangan politik mereka, atau menafsirkan informasi yang tidak jelas dengan cara yang mendukung tujuan mereka.
Untuk bisa mengatasi kondisi-kondisi diatas, dapat dilakukan hal-hal berikut : Mengatasi Konfirmasi Bias denghan menggunakan sumber yang dipercaya oleh penerima dan paparkan informasi secara bertahap. Untuk mengurangi efek identitas grup dan polaritas politik yakni dengan menekankan persamaan dan tujuan bersama kemudian hindari bahasa yang memicu konflik.
Untuk mengurangi efek ketahanan keyakinan dengan menyediakan contoh nyata dan kasus, serta ajukan pertanyaan yang membuat mereka mempertimbangkan ulang keyakinan mereka tanpa merasa diserang.
Sementara untuk mengatasi disonansi kognitif adalah dengan memerikan waktu untuk berpikir dan tidak menuntut perubahan cepat karena orang lebih mungkin mengubah keyakinannya jika mereka merasa itu adalah keputusan mereka sendiri, bukan karena tekanan eksternal.
Kemudian tawarkan alternatif yang menyenangkan dan dapat diterima. Terakhir untuk mengatasi kognisi motivasi dengan cara menyajikan informasi dengan cara yang menunjukkan bagaimana penerimaan informasi tersebut dapat memenuhi kebutuhan atau keinginan mereka. Gunakan juga narasi yang menarik bagi penerima.
Dengan demikian, bagi seorang pengemban dakwah ideologis, tayangan dan fenomena film dirty vote bisa menjadi pemantik untuk dakwah ideologis sehingga terjadi proses transformasi kesadaran dari politik emosional sekuleristik menjadi kadaran politik ideologis berbasis paradigma Islam.
Oleh: Dr. Ahmad Sastra
Dosen Filsafat
KotaHujan,13/02/24 : 08.45 WIB
0 Komentar