Topswara.com -- Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) RI Sandiaga Salahuddin Uno menargetkan pembentukan sebanyak 600 desa wisata selama tahun 2024 untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional. Sandiaga usai mengisi kuliah umum Blue Ocean Strategy Fellowship (BOSF) di Sentul Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Minggu, menjelaskan bahwa dari 80 ribu lebih desa di Indonesia, terdapat sekitar 7.500 desa yang memiliki potensi wisata.
"Desa yang memiliki potensi wisata itu sekitar 7.500 dan 80 persen itu sekitar 6.000 desa harus kita jangkau," ujarnya (jabar.antaranews.com, Minggu, 18 Februari 2024).
Ketika 6000 desa wisata tersebut berhasil terwujud maka ada penambahan sekitar 4,4 juta lapangan kerja di bidang ekonomi kreatif. Upaya pemerintah dalam menargetkan 6000 desa wisata demi pertumbuhan ekonomi nasional rasanya sangat lucu.
Jika prediksi tersebut benar, desa wisata ini hanya menyumbang PDB sebanyak 4,8 persen. Padahal di sisi lain negara ini memiliki sumber daya alam yang sangat melimpah yang di keruk oleh asing. Sebagai contoh Freeport, saat ini negara hanya memperoleh US$ 4,016 miliar pada 2024 sebagai bentuk penguasaan 51 persen saham di perusahaan itu.
Kita dapat menghitung sendiri, jika seluruh pendapatan tambang itu oleh negara, hasilnya tentu akan dua kali lipat.
Masalahnya tambang Indonesia tidak hanya Freeport, ada banyak sumber daya alam yang apabila di kuasai oleh negara justru akan menambah pendapatan negara yang sangat besar.
Penghasilan ini dapat di gunakan untuk mensejahterakan masyarakat. Negara bisa memberikan pelayanan yang memadai sehingga akan berakibat pula pada pertumbuhan ekonomi.
Dengan demikian, cara pemerintah mengutamakan pembentukan desa wisata, sedangkan di sisi lain, malah memberikan sumber daya alam di kelola asing, jelas sangat keliru. Apalagi dengan mengandalkan desa wisata, pengangguran di sebut akan jauh berkurang, tentu ini mengada ada. Memang tidak bisa di pungkiri, keberadaan desa wisata membantu menyerap tenaga kerja.
Tetapi sayangnya tidak membuat mereka bisa sejahtera, ini karena selama ini desa wisata hanya bersifat sementara. Pada saat tertentu dapat menarik animo pengunjung dan pada saat yang lain juga akan di tinggalkan.
Desa wisata yang mengandalkan budaya ekonomi, ataupun wisata alam, juga sangat rawan dengan ancaman sosial, misalnya budaya nenek moyang yang saat ini kembali marak di laksanakan. Banyak ritual yang sebenarnya bertentangan dengan agama yang justru menjadi tonggak desa wisata.
Kegiatan itu dilakukan tanpa sadar, akibatnya fatal, yaitu menggerus akidah umat. Mereka lebih percaya takhayul, khurafat, hingga animisme dan dinamisme. Bahaya lain adalah bidang sosial, secara tidak langsung desa wisata bisa memberikan sumbangsih yang memadai dalam hal kerusakan.
Adanya bahaya asing yang masuk di desa akan membuat perilaku masyarakat rusak. Seperti budaya pacaran, seks bebas, minum minuman keras hingga gaya berpakaian yang tidak sesuai dengan tuntunan Islam.
Selain itu masyarakatnya juga akan terpengaruh gaya hidup materialistik. Mereka boleh memasukan berbagai program untuk desa wisata asalkan mendatangkan keuntungan. Semua itu bisa terjadi karena sekularisme, matrealisme dan kapitalisme masuk dan mengubah pola pikir masyarakat.
Di samping itu, penerapannya dalam bingkai negara membuat semua jauh dari agama. Alhasil, dalam praktik desa wisata semua budaya atau aktifitas yang bertentangan dengan agama tetap boleh dilakukan. Desa wisata merupakan salah satu upaya negara dalam membentuk kemandirian desa.
Mereka di berikan kebebasan mengelola tanpa memberikan rambu tertentu. Mereka juga bebas bekerjasama dengan para investor. Dan para investor tentu akan tertarik, jika desa yang di tuju memiliki potensi besar, baik alam maupun yang lainnya. Bagi investor selama dapat menjadi prospek yang menjanjikan maka mereka akan berinvestasi demi keuntungan.
Ini bukti lepas tangannya negara dalam mengurusi rakyatnya, negara hanya membuat regulasi. Kemudian menyerahkan mekanismenya pada rakyatnya sendiri. Negara hanya mementingkan materi atau pertumbuhan ekonomi. Padahal masalah rakyat bukan hanya soal materi.
Islam sebagai sistem kehidupan yang sempurna tidak akan membiarkan desa bertindak sendiri untuk mewujudkan kemandiriannya. Islam melalui sistem pemerintahan Islam akan melaksanakan tanggungjawabnya sesuai tuntunan syariat. Khilafah memahami bahwa kesejahteraan masyarakat baik desa atau kota, adalah tanggung jawabnya.
Alhasil dengan sistem keuangan Islam yang berbasis Baitul Mal, khilafah akan membangun desa dan kota secara merata. Bagi masyarakat tidak mampu, yakni yang tergolong delapa asnaf yaitu orang yang berhak menerima zakat, maka mereka akan di jamin dari pos zakat dari Baitul Mal sampai mereka keluar dari golongan tersebut.
Sedangkan masalah pekerjaan negara akan membangun industri industri yang mendukung departemen peperangan serta industri padat karya lainnya yang mampu menyerap lapangan kerja. Negara juga akan memberikan tanah yang tak bertuan kepada siapa saja yang mau menghidupkan tanah tersebut bahkan negara juga akan memberikan modal kepada masyarakat yang butuh modal usaha tanpa riba. Dengan mekanisme seperti itu, masyarakat akan memenuhi kebutuhan nya.
Negara dengan sistem Islam, tidak hanya memperhatikan masalah kesejahteraan rakyatnya saja, tapi negara juga menjaga pemahaman masyarakat. Dengan pendidikan Islam yang berbasis akidah, negara akan menanamkan akidah Islam. Hingga terbentuk masyarakat yang berkepribadian Islam. Mereka tidak akan mudah terjebak pada khurafat, takhayul dan semacamnya.
Demikian lah masyarakat desa maupun kota tidak perlu membentuk desa wisata hanya demi meraup untung yang tak seberapa. Kalaupun ada tempat wisata itu hanya di pakai sebagai sarana mendekatkan diri kepada Allah SWT bukan malah menjauhkannya.
Wallahu a'lam bish shawwab.
Oleh: Daryati
Aktivis Muslimah
0 Komentar