Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Cing Abdel, Saya, dan Mi Ayam

Topswara.com -- Anda mungkin sudah tidak asing dengan komedian yang akrab disapa Cing Abdel bukan?
Saya beberapa hari yang lalu melihat beliau makan mi ayam dengan sangat lahap. Tentu lewat video yang diunggah di kanal YouTube nya.

Lokasi warungnya di daerah Jakarta Selatan yang terkenal sebagai daerah elit.
Ini juga berpengaruh dengan harga semangkok mi ayam.
Harganya lebih tinggi dibandingkan daerah lain di Jakarta.
"Harganya, harga JakSel, ya", begitu komentar Cing Abdel menanggapi.

Gaya makan Cing Abdel memang khas. Terlihat sangat natural. Saya yang lihat jadi ngiler sampai meneguk ludah sendiri.

Beliau punya "ritual" unik yang senantiasa dilakukan kalau makan mi ayam.

Pertama, makan dulu pangsit gorengnya. Kalau enak, beliau yakin mi ayamnya juga enak.

Kedua, langsung tambahkan saus dan sambal. Beliau bahkan pantang ikut saran netizen untuk nyicip dulu sebelum ditambahkan saus dan sambal.

Ketiga, diaduk dengan sumpit sebelum disantap mi ayamnya.

Nah, "ritual" Cing Abdel ini tentu sangat dipengaruhi oleh persepsi dan pemahaman beliau terhadap standar mi ayam yang enak. Mi ayam enak itu harus pakai saus dan sambal. Kalau tidak pakai pasti tidak enak.

Ini memang terbukti dengan keringat yang mengucur di sekujur wajah beliau saat makan dengan lahapnya.

"Ini pemain ini", komentar beliau yang sering diulang sambil mengangkat jempolnya keatas.

Bahkan Cing Abdel sampai meminum semua kuah mi ayam sampai tak bersisa.

Saya percaya dengan hanya melihat video beliau saja. Bahwa mi ayam itu enak. Sampai kepikiran ingin mampir kesana jika ada rezkinya.

Saya sebagai penyuka mi ayam tentu wajar tergoda untuk mencobanya.

Anda yang bukan penyuka mi ayam bisa jadi akan merasa aneh melihat video tersebut.
"Apa enaknya mi ayam sih, sampai segitunya" . Mungkin kalimat itulah yang melintas dalam pikiran Anda.

Saya sebagai orang Minang juga tidak suka dulunya dengan mi ayam. Masakan minang terkenal dengan kaya akan rasa.

Saya yang lahir di desa tidak pernah mencoba mi ayam sampai merantau kekota kecil ketika SMA.

Awal mencoba Saya juga punya "ritual" yang sama dengan Cing Abdel. Cuma beda di alat saja, Saya pakai sendok dan garpu untuk mengaduk agar saus dan cabe merata.

Hal baru ini Saya lakukan hanya ikut-ikutan kawan saja. Dia yang saat itu mentraktir dan mengenalkan Saya dengan kuliner ini.

Belakangan Saya mencoba menyelisihi "ritual" makan. Saya mencicipinya terlebih dahulu tanpa saus dan sambal. Ini berbeda dengan tradisi kebanyakan orang.

Lama kelamaan Saya malah ketagihan untuk menikmati mi ayam tanpa saus dan sambal. Ini sudah Saya lakukan bertahun-tahun sampai sekarang.

Saya juga terapkan ketika makan bakso. Kuliner yang Saya kenal lebih dulu daripada mi ayam.

Ada rasa nikmat tersendiri yang sangat berbeda yang Saya rasakan.
Kalau Cing Abdel kebetulan melihat Saya makan lahap tanpa saus dan sambal. Pasti Dia akan keheranan.

Pengalaman Saya menambah bukti bahwa persepsi sangat mempengaruhi respon terhadap sesuatu.

Sekarang bagi Saya. Kuliner pedas tidak lagi menjadi standar enaknya suatu makanan.

Persepsi Saya telah berubah.
Saat ini Saya makan tanpa cabe juga bisa lahap. Sama lahapnya dengan ketika makan pakai sambal.

Berbeda dengan Cing Abdel yang belum mau move on (meninggalkan) dari saus dan sambal untuk menikmati semangkok mi ayam.

Kenapa persepsi Saya berubah? Karena Saya mau mencoba cara dan hal baru. Walau awalnya agak aneh. Makin lama malah Saya menemukan kenikmatan yang tidak pernah dirasakan sebelumnya.
Ini yang tidak mau dilakukan oleh Cing Abdel. Dan mungkin juga Anda salah satunya.

Tetapi Saya bisa memaklumi Cing Abdel dan siapapun Anda yang masih kukuh mempertahankan kebiasaan lama.
Karena Saya pernah berada pada posisi yang sama dengan Cing Abdel dan Anda.
Tidak mudah memang untuk meninggalkan kebiasaan yang sudah mendarah daging.

Selagi kebiasaan yang sulit ditinggalkan itu terkait dengan hal yang mubah tentu tidaklah mengapa.

Tidak demikian dengan suatu hal yang haram. Kaidahnya, campakkan yang haram segera setelah mengetahuinya.

Masih Ingatkah dengan teladan yang dicontohkan sahabat nabi ketika ayat haramnya khamar (minuman beralkohol) turun?

Mereka membuangnya kejalan-jalan. Bahkan ada yang mengerok pangkal lehernya untuk memuntahkan khamar yang sudah terlanjur diminum sebelumnya.

Bersegeralah tinggalkan sekularisme (pemisahan agama dari kehidupan publik) dan semua turunannya yang juga haram hukumnya. Mungkin akan dianggap aneh oleh kebanyakan orang. Yang masih nyaman dengan kebiasaan lama.
Tidak mengapa, lama kelamaan malah akan ketagihan.

Seperti ketagihannya Saya makan mi ayam tanpa sambal dan saus. Upss..maksudnya ketagihan karena ketenangan dan nikmatnya hidup senantiasa akan dirasakan.


Oleh. Mak Wok
Aktivis Muslim
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar