Topswara.com -- Menarik! Satu kata yang bisa diungkapkan untuk mewakili dinamika reaksi masyarakat terkait film dokumenter Dirty Vote sejak diluncurkan. Launching 11 Februari lalu, film berdurasi 117 menit itu menuai beragam reaksi dari berbagai lapisan masyarakat, sekalipun menghadirkan tiga pakar Hukum Tata Negara yakni Bivitri Susanti, Zainal Arifin Mochtar, dan Feri Amsari yang berusaha membongkar kecurangan pemilihan presiden 2024, dengan menghadirkan fakta pengadilan, rekam peristiwa dalam rangkaian pilpres, serta analisis akademis.
Ketiga akademisi cerdas ini berhasil memaparkan secara rinci berikut data dan fakta mencengangkan yang mengarah pada indikasi kecurangan di Pemilu 2024 yang sudah direncanakan dan terstruktur sejak lama. Seperti yang dilansir bbc.com, (13/2/2024), sekelas Ketua Dewan Pers, Ninik Rahayu enggan menyatakan film tersebut merupakan produk jurnalistik melainkan eksplanatori sekalipun tidak termasuk berita bohong ataupun fiksi
Pro dan kontra terus berlanjut dari tayangan yang lebih dari 6 juta kali ditonton oleh netizen. Kubu 02 telah menuding jauh-jauh hari sebelum film ini dirilis sebagai fitnah kepada pasangan calon presiden kebanggaannya, mengingat jejak politik para pakar yang ikut melatarbelakangi pembuatan film ini.
Sementara tim sukses dan simpatisan calon presiden (capres) 01 kian semangat mengawal pemilihan presiden yang katanya demi penegakan demokrasi seutuhnya, tanpa tendensi kecurangan maupun kepentingan oligarki. Meminimalkan mudarat dari sekian pilihan buruk calon pemimpin Muslim di tanah air.
Di sisi lain, peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi, Muhammad Ihsan Maulana, berpendapat film ini tidak terindikasi sebagai kampanye terselubung menjatuhkan calon tertentu sebab berisikan informasi yang mengedukasi masyakarat dalam berpolitik.
Ironisnya, yang malas menerima fakta dan terlanjur taklid buta memilih tetap pada calon kesayangan sekalipun film tersebut menghadirkan data dan fakta-fakta yang memaksa otak untuk berpikir realistis.
Namun, tak sedikit pula masyarakat yang ‘lelah’ dengan berbagai polemik politik yang terus memanas sekalipun di masa tenang sehingga tidak segan-sengan memantapkan diri untuk tidak lagi mempercayai demokrasi.
Hanya saja, ada yang memutuskan abstain atau golput di pemilihan umum, namun sebagian lagi menawarkan solusi baru dari permasalahan tadi, yakni kembali ke sistem Islam.
Puncaknya, ketika masih hangat diperbincangkan, film dokumenter ini mendadak hilang dari mesin pencarian Youtube. Diduga terkena shadow banned tanpa bisa diketahui siapa dalangnya.
Itu politik dalam sistem demokrasi kapitalis. Dan memang politik dalam kehidupan tidak dapat dipisahkan. Begitu juga dalam Islam. Politik dalam Islam tidak pernah bisa dipisahkan, sebab Islam laksana way of life yang mengatur seluruh tatanan kehidupan manusia tanpa terkecuali.
Pasalnya, politik dalam Islam itu artinya mengurusi urusan umat atau rakyat. Seorang Muslim juga tidak bisa salih sendirian tanpa didukung sistem yang menjamin tegaknya syariat.
Masalahnya, sejak khilafah terakhir runtuh, umat Muslim seolah dipaksa menerima sistem lain selain Islam. Nasib Muslim menjadi terkotak-kotak dan dipisahkan oleh nasional state (nasionalisme).
Walhasil, nasib terlahir dalam sistem negara yang mengadopsi hukum buatan manusia, menggiring opini masyarakat awam untuk menerima kenyataan yang ada tanpa perlawanan, sekalipun pemimpin telah melakukan kezaliman dan penindasan atas hak-hak rakyat.
Begitupun dalam hal pemilihan umum, Islam memiliki seperangkat aturan yang mengatur masyarakat dalam memilih pemimpin. Semua tidak melulu lewat pemilu yang melibatkan seluruh komponen masyarakat, tapi orientasi ideologisnya tetap bermuara kepada tananan dan penjagaan masyarakat dalam bingkai hukum Allah.
Jadi, penguasa tidak bisa membuat peraturan sekehendak hatinya melainkan harus selaras dengan Kitabullah dan As-Sunnah sebagaimana yang dicontohkan nabi dan para khalifah terdahulu.
Mereka memelihara umat atas dasar syariat sebagaimana yang dibawa oleh Rasulullah SAW. Tidak ada secuil pun kepentingan dunia, atau materi sebab paham betul bahwa jabatan adalah amanah yang kelak akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat.
Belajar dari kisah pembaiatan Abu Bakar di Saqifah Bani Saidah, pasca wafatnya Rasulullah SAW adalah bukti betapa pentingnya arti kepemimpinan dalam Islam. Saat jasad Rasulullah SAW yang belum lagi dimakamkan, para sahabat lebih mendahulukan memilih khalifah pengganti Nabi daripada menyelesaikan pengurusan jenazah Rasulullah SAW yang mulia.
Para sahabat terdahulu sadar bahwa persoalan memilih pemimpin dalam Islam tidak hanya mencakup dimensi duniawi, melainkan menyangkut urusan akidah/ukhrawi. Dari mekanisme penunjukannya dipilih wakil yang benar-benar memenuhi syarat di antaranya sidiq (jujur), amanah, fathanah (cerdas), dan tabliq (menyampaikan).
Lalu bagaimana dengan kita saat ini? Dalam gonjang ganjing perpolitikan yang kian memanas, ditambah tayangan Dirty Vote yang akhirnya juga bisa mempengaruhi diri untuk bersikap?
Tidak bisa dipungkiri fenomena indikasi kecurangan bagi kaum yang mau berpikir tampak nyata terus berulang, namun tiada pernah ada solusi. Munculnya film dokumenter fenomenal ini merupakan masalah cabang dari pokok problematika politik di tanah air.
Toh, sekalipun masyarakat menilai itu semua sebagai pelanggaran hukum, namun manuver pemegang kekuasaan sebagai penentu skenario selalu bisa menghindar delik hukum melalui perubahan pasal-pasal yang bisa diatur sedemikian rupa sehingga terkesan tidak ada pasal yang dilanggar. Begitulah, jika hukum yang dipakai merupakan produk pemikiran manusia yang terbatas.
Sudah selayaknya umat Islam kembali kepada aturan Allah, sebab hanya aturan Allah yang terimplementasi dalam gerak politik Rasulullah-lah yang patut kita adopsi. Rasulullah SAW tsiqah tanpa kompromi ketika hendak menegakkan agama Allah.
Sekalipun diiming-imingi jabatan, kekayaan dan wanita, baginda nabi tidak sejengkalpun bergeser keyakinannya untuk berpaling dari penegakan syariat, atau sudi bekerja sama dan menerima aturan yang ditawarkan kaum kafir Quraisy.
Skenario para penghianat bangsa melalui kecurangan boleh saja terus berjalan secara sistematis dan terstruktur, namun sebagai Muslim kita harus percaya bahwa konstitusi terbaik yang sulit otak-atik sesuai syahwat hanyalah kembali kepada ideologi Islam.
Hanya Al-Qur’an dan Sunnah yang tidak bisa diubah-ubah sekehendak manusia. Dan percayalah, aturan yang datangnya dari Sang Khalik tidak akan pernah mengecewakan manusia. []
Oleh: Mega Marlina, S.P., VO talent, Pemerhati Sosial
0 Komentar