Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Wacana Kenaikan Pajak Kendaraan Bermotor Bukan Solusi


Topswara.com -- Dilansir dari CNBC Indonesia. Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marves) buka suara perihal isu rencana kenaikan pajak motor konvensional atau Bahan Bakar Minyak (BBM/Bensin). Sejatinya, rencana kenaikan pajak ini tidak akan dilaksanakan dalam waktu dekat.

Deputi Bidang Koordinasi Kedaulatan Maritim dan Energi Kemenko Marves, Jodi Mahardi menyebutkan bahwa rencana tersebut bukan hal yang akan dilakukan dalam waktu dekat. Dia bilang, kenaikan pajak kendaraan motor dengan bahan bakar bensin itu sebagai upaya pemerintah untuk memperbaiki kualitas udara di Jabodetabek. (19/1/2024).

Pajak telah lama menjadi salah satu sumber pendapatan utama negeri ini. Jenis dan nominalnya pun semakin bertambah dari waktu ke waktu. Ada berbagai jenis pajak yang diberlakukan pemerintah kepada rakyat Indonesia.

Mulai dari Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPn), Pajak Kendaraan Bermotor, Pajak Pembelian Barang Mewah hingga Pajak Profesi. Banyaknya jenis pajak ini lambat laun tentu dapat memberatkan rakyat selaku wajib pajak.

Bisa dibayangkan, dengan bermacamnya jenis pajak, seorang individu tentu dapat terkena kewajiban membayar beberapa jenis pajak sekaligus. Mulai dari Pajak Bumi dan Bangunan atas tanah dan rumahnya, pajak atas kendaraan yang dipakainya, pajak atas barang yang dibelinya hingga pajak atas penghasilan yang diperolehnya.

Terdapat wacana kenaikan pajak motor bensin. Alasannya adalah untuk mengurangi polusi udara di wilayah Jakarta. Solusi ini tidaklah tepat mengingat banyak faktor yang berpengaruh terhadap terjadinya polusi udara.

Wacana tersebut justru mengundang pertanyaan terkait adanya program konversi energi menuju penggunaan listrik. Apalagi dengan industri kendaraan listrik mulai resmi beroperasi di Indonesia.

Hal ini tentu dapat memberatkan. Terlebih lagi ketika beban pengeluaran mereka untuk biaya hidup pun semakin bertambah pula. Dengan dicabutnya aneka subsidi dari pemerintah, seperti subsidi BBM, tarif daftar listrik, gas LPG, juga subsidi pupuk pada petani, maka sudah bisa dipastikan akan menaikkan beban hidup masyarakat secara umum.

Sebagaimana kita ketahui bahwa efek pencabutan subsidi ini berimbas pada kenaikan ongkos produksi juga distribusi  barang dan jasa. Yang kemudian akan berdampak pada kenaikan harga-harga barang kebutuhan pokok dan jasa yang diperlukan masyarakat.

Keinginan pemerintah untuk dapat memperoleh pendapatan sebesar-besarnya dari sektor pajak ini tentu bukan tanpa alasan. Utang Luar Negeri kita yang terus membengkak membuat pemerintah harus bekerja keras mengumpulkan dana untuk membayarnya. Sementara tidak banyak sektor pendapatan yang bisa diandalkan. Maka, pajak menjadi pilihan yang tidak terelakkan.

Pemerintah pun terus menggenjot pendapatan dari sektor pajak ini. Pemberlakuan tax amnesty, pajak profesi hingga pajak pertanian yang sedang diwacanakan, menjadi upaya-upaya pemerintah untuk meningkatkan pendapatan dari sektor pajak.

Sayangnya, alih-alih berusaha meraup pendapatan dengan mengoptimalkan pengelolaan Sumber Daya Alam yang dimiliki, pemerintah justru lebih memilih 'memeras' rakyat dengan menerapkan berbagai jenis pajak.

Hal ini tentu amat disayangkan. Ketika negara yang seharusnya menjadi penjamin keberlangsungan hidup masyarakatnya yang terjadi justru sebaliknya. Rakyatlah yang dibebankan untuk menjamin kelangsungan negara melalui pajak-pajak yang mereka bayarkan.

Sesungguhnya tidaklah begitu mengherankan ketika yang dianut negeri ini adalah sistem demokrasi kapitalis, maka sistem ekonominya pun sistem yang berbasis riba dan pajak. Sejak awal mula berdirinya negara ini, pemerintah telah menjalin kerjasama dengan lembaga riba nomor wahid di dunia yaitu World Bank (Bank Dunia) dan International Monetary Fund (IMF).

Sejak itu pulalah negeri ini terjerat sistem riba. Utang Luar Negeri senantiasa menjadi andalan pemerintah dalam menjalankan APBN. Hingga akhirnya jumlahnya pun kian membengkak. Dan rakyatlah yang akhirnya ikut menanggung beban utang ini melalui pemberlakuan aneka pajak oleh pemerintah.

Padahal kita ketahui bahwa Indonesia adalah sebuah negeri yang berpenduduk muslim terbanyak di dunia. Sayangnya bukan hukum Islam lah yang diberlakukan oleh penguasa negeri ini. Pengaruh sekulerisme yang memisahkan agama dari kehidupan telah menepikan syariat Allah dan menggantinya dengan hukum buatan manusia.

Sementara negeri ini sesungguhnya masih memiliki beraneka sumber daya yang jika dikelola dengan sebaik-baiknya akan dapat memberikan sumbangan pendapatan yang sangat besar. Potensi tambang, hutan, perkebunan, pertanian hingga lautan yang ada di negeri sangatlah luar biasa.

Namun, pemerintah lebih memilih jalan pintas dengan menerapkan kewajiban membayar pajak pada rakyatnya. Jalan mudah yang merupakan solusi pragmatis dari permasalahan sistemik yang melanda negeri ini. Ini juga merupakan kebijakan zalim yang amat memberatkan rakyat.

Situasi ini sungguh berbeda dengan sistem Islam. Di mana sumber pendapatan utama negara berasal dari zakat (zakat harta dan zakat jiwa), ghanimah dan fa'i, kharaj, jizyah dan al 'usyr. Ditambah dengan hasil dari pengelolaan SDA yang dilakukan oleh pemerintah.

Sumber-sumber tersebut sesungguhnya telah sangat memadai sebagai sumber pendapatan negara.

Maka, sudah saatnya kaum muslim menyadari buruknya sistem yang melingkupi mereka saat ini. Dan beralih pada sistem Islam yang akan menjadi solusi atas segala permasalahan yang dihadapi. Sistem dari Sang Pencipta alam semesta yang Maha Sempurna.

Wallahu alam bishawab. 


Oleh: Eva Lingga Jalal
Aktivis Muslimah
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar