Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Utang Produktif, Madu atau Racun?


Topswara.com -- Bulan November 2023, utang republik ini tercatat Rp 8.041 triliun. Jumlah yang fantastis cukup membuat tidur tidak nyenyak. Namun, tidak bagi ekonom maupun pejabat negri ini. Hingga keluar statement utang luar negeri masih aman dari ekonom Universitas Brawijaya Malang, Hendi Subandi. 

Rasio utang terhadap produk domestik bruto 38,11 persen dan termasuk utang produktif karena digunakan untuk pembiayaan infrastruktur yang memberi manfaat bagi masyarakat jangka panjang (www.viva.co.id, 30 Desember 2023). 

Jika masih dianggap aman terkendali untuk proyek pemerintah, maka tidak menutup kemungkinan utang luar negeri akan semakin bertambah besar. 
Pembangunan infrastruktur jalan tol seperti jalan tol Medan - Kualanamu, proyek untuk institusi pendidikan seperti pembangunan ITB dan UGM. 

Pembagunan Rumah Sakit Universitas Indonesia, pembangunan PLTA Asahan III, merupakan beberapa contoh pembangunan yang dibiayai pinjaman, dan dianggap bermanfaat bagi masyarakat (www.gatra.com,31 Desember 2023). 

Inilah utang produktif yang menjadi alibi bagi penguasa saat ditanya publik dan seolah menjadi pembenaran kebiasaan membahayakan kedaulatan negri ini. Kecanduan utang menjadi racun yang harus diminum oleh pejabat pemerintahan. 

Pujian dari negara donatur seakan menjadi kebanggaan tersendiri bagi pejabat negri ini dalam berutang. Indonesia selalu diberi pinjaman karena dinilai mampu membayar. Pemberian utang tentu menguntungkan bagi negara pemberi utang. Karena ada bunga yang harus dibayar, saat jatuh tempo, masih ada kekayaan negri ini yang bisa digadaikan untuk membayar nya. 

Belum lagi persyaratan yang harus dipenuhi agar dana cair. Pencabutan subsidi, BUMN go publik adalah harga yang harus dibayar sebagai konsekuensi pemberian utang. Ada campur tangan pemberi utang dalam mengatur kebijakan di negri ini. Utang menjadi legalisasi penjajahan gaya baru, melalui mekanisme undang undang pro asing.

Kemudahan mengambil pinjaman juga membuat ketergantungan. Seolah-olah hanya dengan berutang saja, proyek nasional bisa berjalan lancar. Apakah tidak ada jalan lain? Sesungguhnya negri ini kaya akan sumber daya alam. Hutan, laut, barang tambang yang tersebar merata di seluruh penjuru Nusantara lebih dari cukup untuk membiayai kebutuhan negri ini. 

Bahkan bisa menjadi modal menuju negara adidaya dan terdepan di politik internasional. Namun, apalah daya ketika pengelolaan nya diserahkan kepada swasta pemilik modal raksasa. 
Siapakah pengelola tambang di negri ini? Mayoritas dikuasai perusahaan multinasional seperti Freeport, Chevron, Petronas, Pertamina pun sahamnya tidak 100 persem dimiliki sediri. 

Belum lagi pencurian ikan dan dan pasir laut di perairan Indonesia. Penguasaan jutaan hektar perkebunan oleh segelintir swasta. Menambah ketidakberdayaan negri ini mengelola kekayaan alam. Negara tidak memiliki pemasukan dalam pembiayaan operasional maupun infrastruktur, utang menjadi jalan keluar. 

Akhirnya rakyat yang harus membayar dengan pajak dan kesulitan mengakses fasilitas umum seperti pendidikan dan kesehatan. Inilah kesempitan hidup akibat mengabaikan hukum Allah.

Sesungguhnya Islam mengharamkan utang ribawi. Baik secara individu apalagi negara. Di sisi lain, kekayaan alam adalah milik umum. Haram dikelola individu (pribumi, asing maupun aseng) apalagi sampai diserahkan cuma-cuma. 

Kekayaan alam milik umum, maka hasilnya pun dikembalikan untuk umum, berupa fasilitas umum seperti pendidikan, kesehatan, infrastruktur yang bisa diakses siapa saja dengan harga murah bahkan gratis. Semua sudah lengkap dalam Islam, tinggal pilihan terutama pada penguasa. Apakah mau menerapkan atau mengabaikan?


Oleh: Ma'muroha Vidya Angreyani
Aktivis Muslimah
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar