TopSwara.com – Utang piutang memang hal yang wajar dalam dunia sosial. Ada yang membutuhkan kadang meminjam kepada yang berkecukupan. Tujuan berutang juga tidak boleh diabaikan karena menjadi alasan utama kepercayaan bagi pemberi utang untuk memberikan. Cara pembayaran utang juga salah satu manjadi fokus pembahasan. Bisa jadi utang dibayarkan dengan waktu yang telah disepakati tanpa ada kelebihan. Namun pembahasan lebih jauh adalah ketika suatu negara berutang ke negara lain. Tujuan yang dominan adalah untuk pembangunan infrastruktur dan cara pembayaran yang kadang kabur tentunya ada kelebihan.
Utang pemerintah saat ini telah mencapai Rp8.041 triliun per November 2023 atau sekitar 38,11% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Posisi rasio utang Indonesia tersebut relatif lebih rendah dibandingkan dengan pada 2022 dan 2021 yang masing-masing berada di kisaran 38,65% dan 41%. Bahkan rasio utang terhadap PDB per November tersebut merupakan yang terendah sejak 2019 (cncnbcindonesia.com 10/01/24). Meskipun dianggap masih dianggap rendah menurut aturan namun tidak bisa dianggap remeh untuk diabaikan.
Setiap bayi baru lahir di Indonesia sudah berutang. Meskipun pernyataan ini dilontarkan sejak 2017 oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawat, tentunya sama saja bahkan lebih parah. Ia mengingatkan bahaya realisasi penerimaan negara yang lebih kecil dibandingkan kebutuhan duit belanja pemerintah dalam postur Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Ia mencatat, penerimaan negara tahun ini yang dipatok Rp1.750 triliun, lebih kecil ketimbang pagu belanja pemerintah Rp2.020 triliun. Kondisi tersebut menyebabkan negara harus berutang Rp270 triliun untuk menutupi defisit tersebut yang secara tidak langsung dibebankan kepada setiap warga negara Indonesia dari sejak lahir (cnnindonesia.com, 17/04/2017).
Jumlah utang dari tahun 2017 ke 2023 ini terus bertambah begitupun penduduknya. Jadi tentunya jumlah yang ditanggung juga demikian meningkat. Kebijakan yang sama tetap digunakan dalam. menentukan standar utang yang terlalu tinggi. Menyamakan dengan negara lain. "Itu ada yang namanya The Convergence Criteria, di negara-negara Eropa itu rasio utang terhadap PDB nya itu 60%, rasanya itu referensi yang kita pakai," kata Wijayanto dalam program Your Money Your Vote CNBC Indonesia, dikutip Kamis (11/1/2024).
Bahkan statement utang terkendali disandingkan dengan berdampak positif, merupakan statemen berbahaya. Karena utang kepada negara lain membuat ketergantungan pada negara asing dan membahayakan kedaulatan negara. Apapun yang menjadi kehendak negara pemberi utang tentunya akan dimuluskan meskipun rakyat yang harus berkorban. Tentu hal ini tidak bisa terus dibiarkan terjadi. Butuh penyelesaian segera mungkin. Apalagi jika tujuan berutang hanya untuk pembangunan infrastruktur yang tak kunjung nampak manfaat bagi masyarakat secara menyeluruh. Justru semua masyarakat akan menanggung dengan ditekankan melalui pembayaran pajak.
Cara pembayaran utang juga tidak boleh diabaikan karena prosesnya dengan melebihkan dari utang pokok, jelas hal ini membawa rakyat melakukan rina massal. Pembayaran utang baru-baru ini meskipun dalam jumlah besar namun yang dibayarkan masih bunganya, jika memakai akal sehat memikirkan tentu utang tak akan kunjung usai, rakyat terus dibebankan hingga bayi lahir ikut menanggung utang ribawi. Semua akan diminta pertanggungjawaban ketika diam dengan kondisi utang terus menerus meningkat.
Selain itu, jika terus dibiarkan dunia akan terus memberikan penilaian positif terhadap utang suatu Negara karena paradigma yang dipakai adalah kapitalisme. Sistem rusak dan merusak melegalkan segala hal bukan untuk kepentingan masyarakat. Makin banyak utang suatu negara, makin untung negara-negara pemberi utang. Olehnya itu butuh suatu sistem yang mampu membungkam ungkapan paradigma yang salah, menghentikan penderitaan rakyat yang terus berlanjut hingga tujuh turunan. Sistem rusak dari kapitalisme yang lebih menguntungkan pihak tertentu dan para pemangku jabatan harus diperbaiki dengan mengganti dengan sistem yang lebih memihak kepentingan rakyat secara menyeluruh.
Sistem Islam mampu menyelesaikan permasalahan utang. Seharusnya negara mandiri, dan sejatinya mampu mandiri jika pengelolaan SDA sesuai aturan islam. Islam mendorong negara menjadi negara adidaya dan terdepan, melalui pengelolaan SDA dengan mandiri akan mudah membuka lapangan pekerjaan berbagai sektor. Menumbuhkan keahlian rakyat untuk berbagai bidang. Tidak ada lagi ketergantungan negara lain dalam berbagai hal, justru negara lain yang membutuhkan negara adidaya dalam sistem Islam.
Utang yang terlanjur ada yang dibayar adalah utang pokok sesuai pembicaraan akad utang. Karena kelebihan bukanlah wajib untuk dibayarkan itu termasuk riba.
“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila." (QS. Al-Baqarah: 275).
Karena sistem yang berlaku adalah sistem Islam. Pemasukan dana negara akan dimasukkan dalam baitul mal dari berbagai pos pemasukan. Pos pengeluaran juga diatur sedemikian rupa yang mana peruntukan hanya untuk kemaslahatan rakyat. sistem yang berdasar pada Al-Qur’an dan hadis yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan manusia di dunia dan akhirat.
“Dan hanya kepunyaan Allah-lah apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi supaya dia memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat jahat terhadap apa yang telah mereka kerjakan dan memberi alasan kepada orang-orang yang berbuat baik dengan pahala yang lebih baik (surga)." (QS. An-Najm: 31).
Wallahu a'lam bishshawab. []
Oleh: Sri Rahmayani, S.Kom.
(Aktivis Pemerhati Perempuan, Keluarga, dan Generasi)
0 Komentar