Topswara.com -- Tidak dipungkiri bahwa pembangunan infrastruktur diperoleh dari hasil utang luar negeri. Sebab jika hanya berharap pada APBN tidak akan mencukupi. Di tambah APBN seringkali mengalami defisit sedangkan hasil SDA tak bisa dinikmati.
Apalagi sistem ekonomi saat ini masih terikat dengan sistem ribawi. Namun tetap saja beberapa pejabat menganggap hal ini masih aman terkendali.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menilai, utang pemerintah yang telah mencapai Rp8.041 triliun atau dengan rasio terhadap PDB sebesar 38,11 persen pada November 2023 masih terkendali.
Dengan melihat (rasio) utang negeri tetap di bawah 40 persen, terendah dibandingkan negara maju yang bahkan di atas 100 persen juga negara berkembang yang lain. Jadi relatif ini masih hati-hati. Adapun jika mengacu pada Undang-Undang Nomor 1/2003 tentang Keuangan Negara, batas maksimal rasio utang pemerintah terhadap PDB ditetapkan sebesar 60 persen (AntaraNews.com, 22/12/23).
Statement utang negara terkendali merupakan racun yang dapat membunuh pemikiran. Sebab utang kepada negara lain membuat ketergantungan dan terancamnya kedaulatan. Utang tersebut dianggap sah-sah saja oleh beberapa pihak yang memberi penilaian jika dilihat dari segi pemanfataan.
Seperti diketahui, utang tersebut digunakan untuk pembiayaan defisit APBN. Selain itu juga untuk pembangunan proyek-proyek prioritas nasional seperti infrastruktur jalan tol, pelabuhan, MRT, institusi pendidikan tinggi, rumah sakit, pengembangan fasilitas kelistrikan, pertanian dan perdesaan.
Hal ini tidak bisa dijadikan dalih pembenaran. Apalagi sudah jelas-jelas utang tersebut mengandung riba yang bisa mencekik kapan saja. Belum lagi sudah banyak aset negara ditumbalkan. Di sisi lain utang negara merupakan wujud hegemoni negara adidaya dalam menjajah perekonomian.
Dengan adanya utang, penguasa dijadikan bidak catur yang dimainkan oleh para pemberi utang yakni oligarki. Sehingga mereka dengan mudahnya memaksakan berlangsungnya proyek-proyek yang diinginkan di tanah negeri ini.
Sungguh, utang negara adalah jebakan yang bisa mengancam kedaulatan negara. Namun dunia masih saja memberikan penilaian positif karena paradigma berpikirnya ialah kapitalisme. Padahal sudah banyak contoh negara yang kehilangan kedaulatan akibat jerat utang.
Negara-negara seperti Zimbabwe, Sri Lanka, Maladewa, Uganda, Kenya dan Pakistan adalah sejumlah negara yang kolaps akibat perangkap utang luar negeri. Beberapa negara tersebut harus menyerahkan pelabuhan dan bandara strategis mereka pada negara pemberi utang, yakni Tiongkok, yang juga menjadi salah satu pemberi utang pada Indonesia.
Sudah saatnya umat melepaskan negeri ini dari jerat utang ribawi yang sekaligus menjadi alat penjajahan. Namun hal ini mustahil terwujud selama masih menerapkan sistem ekonomi kapitalisme yang menghalalkan riba dan memberi karpet merah untuk para oligarki mengeruk SDA.
Diperlukan perubahan ke arah penerapan syariah Islam dalam segala aspek kehidupan. Artinya, cengkeraman utang ribawi itu baru bisa terlepas ketika diterapkan sistem Islam, bukan dalam sistem kapitalisme seperti saat ini.
Sejatinya, Islam memiliki aturan perihal utang negara. Berutangnya negara tidak perlu dilakukan, kecuali untuk perkara-perkara urgen dan jika ditangguhkan akan dikhawatirkan terjadi kerusakan dan kebinasaan. Untuk hal-hal yang bisa ditangguhkan, maka semua itu menunggu hingga negara memiliki harta. Upaya lain untuk mengatasi krisis ekonomi, semisal penarikan pajak, akan dibebankan hanya pada orang-orang kaya.
Sistem Islam juga akan fokus untuk menyejahterakan rakyatnya, baik yang kaya, apalagi yang miskin. Ada satu orang yang tidak bisa makan dalam sehari saja sudah menjadi alarm keras akan buruknya distribusi harta. Kondisi ini harus segera menjadi perhatian oleh penguasa dalam sistem Islam.
Oleh karenanya, tidak heran, indikator kesejahteraan ekonomi rakyat di negara Islam adalah terpenuhinya kebutuhan pokok (sandang, pangan, papan) setiap individu dalam jumlah cukup.
Islam juga memiliki sejumlah sumber APBN yang masing-masing sumber tersebut memiliki nominal yang banyak sehingga APBN aman dan bisa meminimalkan terjadinya utang luar negeri.
APBN tersebut justru sangat memungkinkan kebutuhan-kebutuhan publik, seperti kesehatan, pendidikan, perumahan, dan transportasi, bisa gratis karena itu wujud pelayanan negara kepada rakyatnya. Demikianlah format negara mandiri, yakni secara politik dan ekonomi tidak bergantung pada negara lain.
Allah Ta'ala berfirman, “Dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman” (TQS. An-Nisa’ [4]:141)
Allah Ta'ala juga mengharamkan riba secara total melalui firmanNya:
"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kalian kepada Allah, dan tinggalkanlah sisa-sisa riba jika kalian adalah kaum mukmin (TQS. Al-Baqarah [2]:278).
Wallahua'lam bish-shawab.
Oleh: Watini, S.Pd.
Pegiat Literasi
0 Komentar