Topswara.com -- Mengejutkan utang RI per 30 November 2023 telah mencapai Rp. 8.041 T. Diantaranya Surat Berharga Negara (SBN) yakni sebesar Rp. 7.048,9 T (88,6 persen dari total utang) dan total pinjaman sebesar Rp. 916,03 T. Berdasarkan kutipan dari Viva.co.id (30/12/2023), justru angka ini naik Rp487 triliun dibandingkan November 2022.
Dengan jumlah tersebut, rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB) per 30 November 2023 adalah 38,11 persen atau naik dari bulan sebelumnya pada level 37,95 persen. Dengan kata lain dalam jangka waktu 1 tahun utang Indonesia telah meningkat lebih dari 400-an trilyun.
Anehnya kondisi ini justru masih dikatakan aman oleh sebagai besar orang diantaranya Menko Bidang Perekonomian, Airlangga Hartanto yang mengambil perbandingan dengan negara lain yang katanya ada yang diatas 100 persen rasio utangnya di banding Indonesia (Antaranews.com, 22/12/2023).
Senada dengan itu juga Ekonom Universitas Brawijaya Malang, Hendi Subandi, mengatakan bahwa rasio utang luar negeri Indonesia masih tergolong aman. Ia pun memasukkan kategori utang Indonesia sebagai utang produktif, karena digunakan untuk pembangunan infrastruktur yang memberikan dampak positif jangka Panjang (Bisnis.com, 30/12/2023).
Ketergantungan Utang dengan Alasan Untuk Pembangunan Produktif
Utang Indonesia dinilai wajar dan masih dalam tahap aman karena digunakan untuk pembangunan produktif seperti pembangunan infrastrukur dan fasilitas publik. Namun kita patut berpikir bahwa tentu utang ini mengalami dampak negative terkhusus negara yang meminjam.
Kita tentu tidak lupa yang terjadi di Sri Langka negaranya failed karena terlilit utang. Tentu Indonesia tidak akan mau berakhir seperti itu. Yang perlu dikritisi adalah statement yang mengatakan utang masih aman dan berdampak positif adalah statement berbahaya tersebab menjadikan utang adalah sebagai salah satu pilar terlaksananya pembangunan dalam negeri.
Padahal utang sejatinya membuat seseorang bahkan selevel negara tidak mandiri sebab bergantung mengandalkan utang. Terlebih utang luar negeri menjadikan kita bergantung kepada asing. Seperti yang sudah-sudah utang yang membengkak akibat pembiayaan kereta cepat Jakarta-Bandung yang Indonesia harus membayar denda banyak akibat proyek yang saat itu membengkak.
Jika dilihat juga utang membuat negara kehilangan kedaulatannya tersebab menjadikan asing ikut campur dalam mengatur perekonomian negara termasuk pengelolaan sumber daya alamnya. Kita bisa melihat mayoritas pengelolaan SDA kita dikuasai oleh asing dan aseng.
Tenaga kerja pribumi justru tidak lebih banyak yang bekerja di sektor tersebut dibanding serbuan TKA yang berbondong-bondong masuk dalam negeri. Dalihnya bahwa SDM Indonesia tidak cukup mumpuni dalam mengelolanya. Padahal solusinya adalah meng-upgrade dengan memperbaiki kualitas dan keterjangkauan pendidikan bagi anak negeri.
Dunia memberikan ulasan positif bagi Indonesia, namun bukan disini poinnya. Dinilai positif sebab menguntungkan negara peminjam sebab jaminan surat-surat berharga negara akan menjadi taruhannya beserta dengan bunganya. Jelas ini bukanlah hal yang harus diapresiasi.
Dalam paradigm ekonomi sistem kapitalisme, utang yang diberikan oleh negara peminjam bukan untuk menolong tapi sebagai salah satu jalan untuk menjajah negara peminjam bisa berupa kebijakan dan juga intervensi dalam pengelolaan SDA nya.
Kita melihat kekayaan SDA di negara kita yang melimpah ruah namun belum menjadikan kita sepenuhnya sejahtera. Adapun janji banyak membuka lapangan kerja nyatanya pengangguran kian tahun kian banyak.
Mandiri dan Produkti tanpa Utang
Islam sebagai agama yang syamil (sempurna) dan kamil (menyeluruh) memiliki solusi untuk pemberdayaan sumber daya yang dimiliki. Dalam ekonomi Islam, negara memiliki berbagai sumber pemasukan diantaranya ghanimah (harta rampasan perang), kharaj (pajak bumi yang dahulu dibebaskan kaum muslim dengan jihad), sewa tanah milik negara, jizyah (pajak dari warga non muslim sebagai jaminan ketundukan meraka), fai (pemasukan dari barang temuan, waris yang tidak ada pewarisnya, harta sitaan), pajak yang hanya ditarik dalam kondisi insidental dari muslim yang kaya itupun apabila kondisi Baitul Mal benar-benar kosong.
Selain itu sumber pemasukan negara juga didapat dari pengelolaan harta kepemilikan umum, seperti barang tambang, hutan, dan sumber daya alam yang menyangkut hajat hidup orang banyak.
Dalam pandangan Islam juga pos kekayaan negara juga didapat dari zakat harta, zakat ternak, zakat pertanian, perniagaan, emas dan perak. Dengan banyaknya sumber pemasukan negara maka kegiatan ekonomi yang bertumpu pada sektor rill dan produktif, pendapatan negara akan selalu ada dari masa ke masa.
Penerapan politik ekonomi Islam akan melahirkan negara yang mandiri secara ekonomi, tidak lagi bergantung pada utang ke negara lain terlebih itu utang riba, yang sudah jelas diharamkan oleh Allah SWT. Negara juga tidak akan membebani rakyat dengan pajak sebagaimana kapitalisme saat ini memalaki rakyat dengan dalih pajak yang berbagai macam jenisnya.
Allah ta’ala menjanjikan jaminan kesejahteraan ketika Islam diambil sebagai solusi dalam mengarungi kehidupan ini, “Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (TQS. Al-A’raf:96)
Wallahu ‘alam bishawab []
Oleh: Nurhayati, S.S.T.
Aktivis Muslimah
0 Komentar