Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Sertifikasi Tanah Benarkah Satu-Satunya Solusi Konflik Agraria?


Topswara.com -- Saat memberikan sambutan di acara pembagian sertifikat tanah di Gelora Delta Sidoarjo, Presiden Jokowi mengatakan bahwa di rentang tahun 2015-2016 terdapat 126 juta tanah yang seharusnya bersertifikat. Namun hanya 46 juta yang bersertifikat. 

Sedangkan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) hanya mampu mengeluarkan 500.000 sertifikat per tahun. Dengan kondisi seperti itu, maka membutuhkan waktu hingga 160 tahun lagi agar seluruh lahan di Indonesia memiliki sertifikat. 

Presiden berharap sertifikasi tanah dapat menyelesaikan konflik lahan yang selama ini banyak dikeluhkan warga. (detik.com,28/12/2023)

Di sisi lain, berbagai pihak pesimis terhadap upaya sertifikasi tanah hingga dapat meredam konflik lahan. Pasalnya, Proyek Strategis Nasional (PSN) dan proyek IKN nyatanya merampas tanah warga, seperti yang terjadi di Desa Wadas, Rempang, tanah adat di Kalimantan, dan sebagainya. 

Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Bidang Advokasi dan Jaringan Zainal Arifin mengatakan penerbitan sertifikat tanah masyarakat tidak dapat menyelesaikan konflik agraria yang sampai detik ini masih membelenggu Indonesia. (voaindonesia.com,28/12/2023)

Zainal menilai, upaya presiden dengan sertifikasi tanah ini tidak menyentuh konflik yang terjadi di masyarakat. Bisa jadi tanah yang mendapat sertifikat adalah tanah milik warga yang belum bersertifikat karena terhalang biaya. 

Sedangkan tanah warga yang masuk dalam PSN dan proyek IKN, yang sudah ditempati selama puluhan tahun, bahkan ratusan tahun belum mendapat sertifikat. Bahkan, karena UU Ciptaker masyarakat adat di hutan-hutan terancam keberadaannya. 

Karena UU inilah yang membuat perusahaan-perusahaan swasta berani dan semena-mena menjadikan pemukiman warga, kebun, dan hutan yang mereka tempati diubah menjadi ladang kelapa sawit. Dan anehnya perampasan ini sah, hingga saat eksekusi lahan warga berhadapan langsung dengan aparat bersenjata. 

Dari sini kita dapat menilai bahwa dalam Sistem Kapitalisme Demokrasi bukanlah rakyat yang berdaulat, namun penguasa dan pengusaha serakah lah yang lebih diutamakan. 

Maka akan senantiasa terjadi konflik lahan antara masyarakat dengan perusahaan, juga pemerintah. Hal ini menunjukkan sistem kapitalisme demokrasi tidak dapat memelihara kepemilikan individu, tidak dapat menjaga kelestarian alam, tidak dapat menjamin keberlangsungan hidup rakyat. Rakyat banyak dirugikan, kezaliman terus dirasakan.

Bukti kepemilikan hanya dengan selembar kertas sangatlah lemah. Rakyat kecil, karena keterbatasan pengetahuan dan akses lainnya kadang susah untuk mengurus sertifikat tanah miliknya. Seharusnya pemerintah mengambil aturan Islam dalam menentukan kepemilikan lahan. Allah berfirman; ”Dan kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi dan kepada Allah-lah kembali (semua makhluk).” (QS An-Nuur [24] : 42).

Bahwa setiap individu boleh mengelola tanah sesuai dengan kesanggupannya. Rasulullah Saw bersabda; "Barang siapa yang menghidupkan tanah mati, maka tanah itu menjadi miliknya.” (HR Bukhari).

Pemerintah haruslah menghargai kerja keras rakyat dalam menghidupkan tanah mati, harus pula memikirkan ulang tentang dampak-dampak yang dirasakan oleh warga yang akan digusur, sehingga tidak mudah memberi izin konsesi kepada perusahaan untuk melakukan alih fungsi lahan. 

Kerusakan alam terjadi, rakyat menjadi korban keserakahan oligarki. Warga kehilangan pemukimannya, perkebunannya, mata pencahariannya, dan kenangan kebahagiaan di tempat tinggalnya, terancam kehidupannya.

Kapitalisme demokrasi, sistem hidup buatan manusia banyak celah keburukannya, diantaranya tidak dapat menyelesaikan secara tuntas konflik lahan yang terjadi di masyarakat. 

Sebab, kuatnya cengkeraman oligarki yang memainkan perannya demi meraup keuntungan materi dan jabatan membuat rakyat terzalimi. Akan terus ada produk Undang-undang dan kebijakan yang merugikan masyarakat, termasuk pembuktian kepemilikan lahan individu yang dinilai hanya dengan selembar kertas. 

Sedangkan dalam Islam, ada jaminan bagi setiap individu untuk memiliki tanah karena kesanggupannya mengelola.  Dalam sistem Islam, tujuan pembangunan didasarkan atas kemaslahatan rakyat, bukan untuk memelihara kepentingan oligarki. 

Tidak akan ada kebijakan yang mengatasnamakan pembangunan nasiona, justru mengancam kehidupan rakyat seperti yang terjadi hari ini. Rakyat akan menyadari bahwa sistem dari Pencipta yang dijalankan oleh pemimpin dan para pejabat yang amanah akan berbuah kebaikan. 

Jika negara mampu melindungi hak kepemilikan individu, rakyat pun akan membelanya. Terbukti ketika Sistem Islam tegak selama ribuan tahun, rakyat sejahtera negara aman sentosa. Di masa Khalifah Umar bin Khattab lahan milik seorang Yahudi terlindungi. 

Gubernur Mesir yang ingin memperluas Masjid dengan mengambil tanah milik Yahudi (dengan cara sah, yakni jual beli yang didasari kerelaan), bahkan Gubernur Mesir akan membeli lahannya dengan harga dua kali lipat. 

Namun si Yahudi menolak dan melapor kepada Khalifah Umar di Madinah saat itu. Akhir kisah, Yahudi pun mendapat keadilan, Gubernur Mesir tidak jadi memperluas Masjid. Namun, karena keadilan Islam, si Yahudi menyerahkan juga tanah miliknya. 

Kisah Khalifah Umar dan pengambilan tanah milik Yahudi demi proyek perluasan Masjid menunjukkan negara tidak lah semena-mena dalam kekuasaannya. Membangun demi rakyat saja, kepemilikan individu dijaga. 

Sedangkan hari ini, sudah pembangunan demi membela oligarki, rakyat kecil didzalimi. Kapitalisme demokrasi layak diakhiri, sistem Islam lah penggantinya. Dengan tegaknya sistem Islam kaffah, Undang-undang produk oligarki tidak akan muncul lagi. 

Wallahu a'lam bi ash-shawab.


Oleh: Aulia Rahmah
Kelompok Penulis Peduli Umat
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar