Topswara.com -- Tanya :
Ustaz izin bertanya, bagaimana hukumnya suami yang meminum ASI (Air Susu Ibu) pada istrinya? (Hamba Allah, Kotabaru, Kalimantan Selatan).
Jawab :
Tidak apa-apa seorang suami meminum air susu dari istrinya dan tidak menimbulkan akibat hukum berupa hubungan mahram. Namun yang sebaiknya, suami tidak melakukan hal tersebut.
Mengapa suami yang minum air susu istrinya tidak menimbulkan kemahraman? Karena penyusuan ini tidak memenuhi 2 (dua) syarat penyususan (al-radhā`ah) yang menimbulkan hubungan kemahraman, yartu ;
Pertama, penyusuan diberikan kepada bayi di bawah usia dua tahun (dihitung dengan kalender qamariyah). Maka penyusuan kepada anak yang usianya di atas dua tahun, tidak mengakibatkan kemahraman.
Dalil syarat pertama ini firman Allah SWT :
وَالْوَالِدٰتُ يُرْضِعْنَ اَوْلَادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ اَرَادَ اَنْ يُّتِمَّ الرَّضَاعَةَ ۗ
”Para ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan.” (QS Al-Baqarah [2] : 233).
Imam Al-Qurthubi menafsirkan ayat tersebut dengan berkata :
وَلَا رَضَاعَةَ بَعْدَ الْحَوْلَيْنِ مُعْتَبَرَةٌ
“Tidak ada lagi penyusuan yang sah (yang mengakibatkan hubungan mahram) setelah dua tahun (hijriyah).” (Tafsīr Al-Qurthūbi, 4/109).
Dalil lain bahwa penyusuan yang menimbulkan kemahraman itu dua tahun, adalah sabda Rasulullah SAW :
لاَ رَضَاعَ إلَّا مَا كَانَ فِي الْحَوْلَيْنِ
”Tidak ada penyusuan kecuali pada masa dua tahun.” (HR. Dāraquthni, 4/174; Baihaqi). (Taqiyuddin Al-Husaini, Kifāyatul Akhyār, 2/138; Imam Asy-Syaukani, Nailul Authār, hlm. 1390, hadits no 2986).
Kedua, penyusuan terjadi 5 (lima) kali susuan pada waktu yang terpisah-pisah. Maka penyusuan yang kurang dari 5 (lima) kali susuan, tixak menimbulkan kemahraman. Inilah pendapat mazhab Syafi’i yang kami anggap paling kuat (rājih). Ini juga pendapat Imam Ibnu Qudamah dari mazhab Hambali. (Taqiyuddin Al-Husaini, Kifāyatul Akhyār, 2/137; Ibnu Qudamah, Al-Mughni, 11/310; Sa’duddin bin Muhammad Al-Kibbi, Ahkām Al-Radhā’ fī Al-Islām, hlm. 6 & 8).
Imam Ibnu Qudamah berkata :
وَالرَّضَاعُ الَّذِي لَا يَشُكُّ فِي تَحْرِيمِهِ، أَنْ يَكُونَ خَمْسَ رَضَعَاتٍ فَصَاعِدًا
“Penyususan yang tidak diragukan lagi dalam hal menimbulkan hubungan mahram, adalah penyusuan sebanyak lima kali susuan atau lebih.” (Ibnu Qudamah, Al-Mughni, 11/310).
Dalil syarat kedua adalah hadits dari ‘Aisyah RA sebagai berikut :
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ كَانَ فِيمَا أُنْزِلَ مِنَ الْقُرْآنِ عَشْرُ رَضَعَاتٍ مَعْلُومَاتٍ يُحَرِّمْنَ، ثُمَّ نُسِخْنَ، بِخَمْسٍ مَعْلُومَاتٍ، فَتُوُفِّيَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَهُنَّ فِيمَا يُقْرَأُ مِنَ الْقُرْآنِ رواه مسلم 1452
Dari 'A`isyah RA, dia berkata,”Dulu yang diturunkan dalam al-Qur'an, ialah sepuluh penyusuan yang sudah diketahui, yang menimbulkan hubungan kemahraman. Kemudian dinasakh (dihapus hukumnya) menjadi lima penyusuan tertentu yang sudah diketahui. Dan Rasulullah SAW wafat dalam keadaan ayat al-Qur'an yang dibaca masih seperti itu.” (HR. Muslim, no. 1452).
Itulah dua syarat yang dapat penyususan (al-radhā`ah) yang menimbulkan hubungan kemahraman, antara perempuan yang menyusui dengan anak yang disusui. (Sa’duddin bin Muhammad Al-Kibbi, Ahkām Al-Radhā’ fī Al-Islām, hlm. 6 & 8).
Dengan demikian, suami yang minum air susu istrinya tidak menimbulkan kemahraman, karena tidak memenuhi dua syarat tersebut.
Hanya saja, seperti yang kami katakan sebelumnya, sebaiknya suami tidak melakukan hal tersebut. Mengapa? Sebab ada pendapat lain dari kalangan ulama, yang menyatakan bahwa penyusuan yang dilakukan oleh anak yang sudah besar (al-kabīr), yaitu yang usianya di atas dua tahun, tetap menimbulkan akibat hukum kemahraman.
Jadi dalam persoalan ini, yaitu penyusuan untuk anak yang sudah besar (al-kabīr), memang ada ikhtilāf (perbedaan pendapat) di kalangan ulama. Yang kami jelaskan sebelumnya, adalah pendapat jumhur ulama, bahwa penyusuan itu tidak menimbulkan kemahraman jika yang disusui usianya sudah lebih dari dua tahun.
Namun sebagian ulama ada yang berpendapat bahwa jika yang disusui usianya sudah lebih dari dua tahun, namun ada suatu hajat (kebutuhan) yang khusus, maka tetap menimbulkan hubungan kemahraman. Pendapat ini bersumber dari ‘Aisyah dan Hafshah binti ‘Umar RA. (https://islamqa.info/ar/answers/85115/الخلاف-في-رضاع-الكبير-هل-يحرم-او-لا).
Maka dari itu, ketika terdapat ikhtilāf (perbedaan pendapat) di kalangan ulama seperti ini, disunnahkan kita untuk menghindarkan diri dari posisi yang kontroversial dan mencari posisi yang aman, yang sekiranya akan dianggap benar menurut dua pendapat yang berbeda yang ada.
Kaidah fiqih menyebutkan :
الْخُرُوجُ مِنْ الْخِلَافِ مُسْتَحَبٌّ
“Menghindarkan diri dari perbedaan pendapat di kalangan ulama, adalah hal yang disunnahkan.” (Muhammad Shidqi Al-Burnu, Mausū’ah Al-Qawā’id Al-Fiqhiyyah, Juz (Qism) III dan IV, hlm. 278).
Wallāhu a’lam.
Yogyakarta, 8 Januari 2024
K.H. Muhammad Shiddiq Al-Jawi
Pakar Fiqih Muamalah Kontemporer
0 Komentar