Topswara.com -- Tanpa Khilafah, kaum muslim Terpecah-pecah menjadi berbagai negara, kekayaannya dikuras dan dibawa ke luar negeri, kezaliman negara-negara Barat neo-imperialis tidak mampu dilawan, hukum-hukum yang diterapkan nyata-nyata buatan manusia dan menyeret anak cucu Adam makin jauh dari sifat fitri kemanusiaan. Sementara itu, hukum-hukum Islam teronggok di buku-buku dan hanya menjadi pengetahuan, jauh dari penerapan.
Dilansir dari Beritasatu.com (11/1/2024). Akademisi dari Center for Religious and Cross-Cultural Studies (CRCS) Universitas Gadjah Mada, Mohammad Iqbal Ahnaf, mengingatkan pemerintah dan masyarakat untuk tetap mewaspadai narasi-narasi kebangkitan khilafah.
Menurutnya, narasi-narasi tersebut berpotensi untuk mendapatkan momentum pada 2024, yang bertepatan dengan 100 tahun runtuhnya Kekhalifahan Utsmaniyah.
Kehidupan Islam secara nyata mulai ditegakkan Rasulullah SAW. di Madinah semenjak Rasulullah dan para sahabatnya berhijrah dari Makkah Al-Mukarramah ke kota itu. Setelah Beliau berpulang ke haribaan Allah, kehidupan Islam pun ditegakkan oleh para sahabat di bawah pimpinan Khalifah Abu Bakar Asshiddiqie, Umar bin Khaththab, Utsman bin ‘Affan, lalu Ali bin Abi Thalib.
Sejak runtuhnya payung dunia Islam itu, umat Islam di berbagai belahan dunia didera krisis yang seakan tidak ada habisnya. Wilayah Islam yang semula terbentang di seluruh jazirah Arab, Syam, Irak, Turki, sebagian Asia Tengah, Afrika bagian Utara, sebagian Eropa Barat, Asia Tenggara, dan Asia Selatan, terbelah-belah menjadi lebih dari lima puluh kepingan wilayah yang dikuasai oleh penjajah.
Jazirah Arab, wilayah Syam, Irak, dan Asia Selatan dikuasai Inggris. Afrika bagian Utara dikuasai Prancis. Demikian halnya dengan wilayah lainnya. Kendati kemudian mulai tahun 1940—1950 hingga 1960-an wilayah-wilayah itu satu per satu “merdeka” terbebas dari penjajahan, tetapi pengaruh penjajah tetap saja bercokol di wilayah-wilayah itu dalam bentuk penjajahan gaya baru (ekonomi, sosial, politik, budaya, dan biologis) melalui para penguasa yang menjadi boneka.
Kaum muslim pun akhirnya terpecah-pecah dan dibelenggu oleh batas teritorial dan nasionalisme masing-masing. Sekalipun boleh jadi kaum muslim memiliki perasaan ukhuwah islamiah, tetapi perasaan tersebut hanya berhenti sebatas perasaan.
Sikap persaudaraan yang diikat oleh iman tersebut tidak dapat terealisasikan untuk kaum muslim keseluruhan di dunia karena dihalangi oleh sikap politik dan kepentingan negara masing-masing.
Di dalam negeri, kaum muslim yang tinggal di berbagai negara mengalami berbagai problem. Untuk wilayah yang miskin, kemiskinan menjadi pemandangan sehari-hari. Penindasan oleh penguasa, kezaliman, kebodohan, kerusakan moral dan lingkungan adalah cerita yang tidak pernah sepi dalam kehidupan umat di berbagai wilayah.
Tidak hanya itu, secara internasional, wilayah-wilayah itu juga tidak henti-hentinya menjadi objek jarahan, eksploitasi, dan penindasan negara-negara besar. Emas di Indonesia diangkut ke Amerika dan Kanada melalui Freeport, minyak di negara-negara teluk disedot melalui politik perdagangan yang culas dan curang.
Ternyata, semua ini bukanlah akhir peristiwa. Di bidang kemanusiaan, terjadi pembantaian kaum muslim di Palestina, Bosnia, Kosovo, Maluku, dan Wilayah lainnya. Di bidang ekonomi, kaum muslim didikte tanpa dapat memberikan perlawanan dalam penentuan kebijakan-kebijakannya.
Utang Luar negeri, persoalan perbankan, pergantian pejabat BUMN, Rekapitalisasi, subsidi listrik dan BBM, bahkan penentuan bea cukai impor beras tidak lepas dari tekanan Barat melalui IMF.
Dalam bidang politik, kaum muslim tidak dapat menentukan nasibnya sendiri. Kaum muslim di berbagai Belahan dunia dipenjara akidahnya dalam penjara demokrasi, hak asasi manusia, dan pluralisme. Sekularisme menjadi perkara yang betul-betul ditegakkan.
Sebagai contoh, di lndonesia, Presiden Gus Dur menyatakan bahwa agama jangan dijadikan institusi dalam kehidupan negara. “Biarkan agama berkembang, negara tidak usah campur tangan,” tambahnya (Republika, 23-31-2000). Agama betul-betul hanya diperankan di pojok menyangkut perkara ibadah ritual, serta pembina spirit, etika, dan moral.
Dalam bidang pendidikan, putra-putri kaum muslim dididik dengan pola pendidikan sekuler dan serba materialistik. Bursa pemikiran dan budaya yang bertentangan dengan Islam bahkan dapat menghancurkan Islam dan kaum muslim dibiarkan meracuni isi otak kaum muslim tanpa ada pemimpin yang menjadi benteng kokoh pelindung mereka.
Semua krisis ini menunjukkan betapa rapuhnya umat Islam menghadapi makar negara-negara Barat. Umat Islam yang jumlahnya melebihi 2 miliar tidak ubahnya bagai lautan buih yang tidak memiliki kekuatan apa-apa. Realitas demikian sungguh Bertolak belakang dengan kondisi saat Daulah Khilafah Islamiah tegak selama Lebih dari 1.000 tahun.
Jelas, tanpa Daulah khilafah islamiah (biasa disingkat khilafah) kaum muslim Terpecah-pecah menjadi berbagai negara, kekayaannya dikuras dan dibawa ke luar negeri, kezaliman negara-negara Barat neo-imperialis tidak mampu dilawan, hukum-hukum yang diterapkan nyata-nyata buatan manusia dan menyeret anak cucu Adam makin jauh dari sifat fitri kemanusiaan.
Sedangkan hukum-hukum Islam teronggok di buku-buku dan hanya menjadi pengetahuan, jauh dari penerapan. Ujungnya, kaum muslim terhalang untuk taat melaksanakan aturan-aturan Islam dalam setiap aspek kehidupan. Padahal, untuk itulah sebenarnya manusia diciptakan.
Wallahu alam bishawab.
Oleh: Eva Lingga Jalal
Aktivis Muslimah
0 Komentar