Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Rusaknya Hutan Akibat Kapitalisasi

Topswara.com -- Dalam laporan Global Forest Review dari World Resources Institute (WRI) bahwa Indonesia telah kehilangan hutan primer tropis atau hutan yang berusia tua dengan cadangan karbon besar dan kaya akan keragaman hayati. Selama periode 2002-2022 Indonesia telah kehilangan 10,2 juta hektare (Dilansir, katadata.co.id 19/1/2024)

Tentu ini bukanlah persoalan angka semata. Bayangkan saja kira-kira butuh berapa tahun untuk mendapatkan kembali jenis hutan tersebut? sekiranya butuh berabad-abad. 

Di sisi lain, hal yang memicu kehilangan hutan tersebut tentu saja bukan dilakukan oleh masyarakat kecil dengan jumlah sebesar itu. Deforestasi eksploitatif atau perubahan lahan hutan menjadi non-hutan secara permanen, yang dirubah menjadi perkebunan atau pemukiman. 

Hal ini juga tidak terlepas dari penurunan fungsi atau kerusakan ekosistem hutan, baik yang disebabkan aktivitas manusia maupun peristiwa alam. 

Adapun secara regional, Walhi Sumatera mencatat Riau kehilangan 20 ribu hektare hutan sepanjang 2023. Sebab, 57 persen daratan Riau telah dikuasai atas nama investasi. Pemerintah memberikan izin kepada 273 perusahaan kelapa sawit, 55 Hutan Tanaman Industri (HTI), 2 Hak Pengusahaan Hutan (HPH) dan 19 pertambangan.

Kapitalisme Pemicu Laju Deforestasi Eksploitatif

Kapitalisasi hutan atas nama pengembangan komoditas untuk meraup pundi-pundi pendapatan daerah bahkan negara hanya menghasilkan eksplorasi bahan bakar fosil, pertambangan, perkebunan, peternakan dan ekspansi industri yang menghilangkan keseimbangan alam. 

Kerusakan ini bukanlah terjadi sebab fenomena alam. Namun, hal ini disebabkan kesalahan dalam tata kelola hutan pemerintah kini yang telah menjalankan dua perannya sekaligus, yaitu, menjadi penguasa sekaligus pengusaha. 

Bukan lagi antara pengusaha dan penguasa dalam lingkaran oligarki namun sudah menjadi satu tubuh yang sama; oligarki. Dengan kata lain pemerintahan oligarki. Hal ini terbukti sesuai dengan kebijakan pro oligarki yaitu UU Cipta Kerja yang meniscayakan pengelolaan hutan negara untuk investor.

Salah satu potretnya yaitu, luas kebun kelapa sawit di Riau yang berada pada Kawasan hutan 1,8 juta hektar. UU CK melalui ketentuan pasal 110 A dan 110 B memberi insentif pelepasan hutan melalui pasal 110 A dan pasal 110 B. 

Bahkan dengan murah hati terjadi pemutihan 3,3 juta ha kebun sawit yang berada di dalam Kawasan hutan. Padahal masyarakat kecil amat sulit mendapatkan akses lahan untuk diolah. Inilah rusak dan merusaknya pemerintahan yang sangat kapitalistik. 

Ironisnya lagi, dalam pembangunan industri ekstraktif seringkali menumbalkan lahan masyarakat kecil yang menjadi mata pencaharian hidup mereka. Sawah dan Sungai yang tercemar akibat berdirinya perusahaan swasta yang membuang limbah di sekitar lahan pertanian dan perkebunan masyarakat. 

Peran pemerintah sudah tidak ada lagi di sistem Kapitalisme. Sebab rakyat hanya berdiri di kaki sendiri setelah sebelumnya dirayu suara mereka dalam drama pemilu lima tahun sekali. 

Apabila di insafi, pengelolaan sumber daya alam termasuk hutan dan lahan sebatas pada interaksi business to business pengusaha. Rakyat hanya dijadikan alat, sekadar simbol hierarki paling bawah yang hanya mampu jalan ditempat tanpa daya untuk mengakses sumber daya yang selayaknya untuk umat secara merata. 

Pengelolaan Hutan dalam Islam

Strereotipe Islam hanyalah sebagai agama ritual memang masih melekat pada masyarakat. Padahal, pada kenyataannya Islam adalah Ideologi yang tuntas. Islam memiliki instrumen aturan yang telah teruji jejak keberhasilah dalam peradabannya, termasuk persoalan pemanfaatan hutan. 

Dalam hal pemanfaatan hutan Islam memiliki rambu-rambu yang mampu memberikan keadilan dalam pemanfaatan hutan. Di antaranya yaitu: 
Pertama, Islam memiliki sistem pemerintahan khilafah yang dipimpin oleh seorang imamah/khalifah. 

Dengan kapabilitas yang mumpuni karakternya yaitu, memiliki mafhum ra’awiyah atau kesadaran pemimpin bahwa tugasnya untuk melayani rakyat bukan untuk melayani kepentingan usaha pribadinya sendiri. 

Rasulullah SAW bersabda:

“Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya” (HR. Bukhari)

Kedua, produk hukum yang ramah lingkungan sebab dalam Islam, Allah SWT adalah pemilik seluruh alam semesta dan berkuasa menjadikan apa-apa yang di Bumi untuk menunjang kehidupan manusia. 

Allah SWT berfirman: 
“Dialah (Allah) yang menciptakan segala apa yang ada di Bumi untukmu kemudian Dia menuju ke langit, lalu Dia menyempurnakannya menjadi tujuh langit. Dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu” (QS. Al-Baqarah: 29)

Maka setiap langkah pemerintah harus senantiasa dalam koridor syariat dalam pengelolaan sumber daya alam dan peruntukkannya. Dainataranya adalah pengelolaan lingkungan tidak berlebihan (israf), tidak berbuat aniaya (zalim) serta tidak menghasilkan kerusakan (fasad). 

Dalam peruntukkannya, hutan termasuk harta kepemilikan umat (sumber daya alam). Pemanfaatan SDA harus digunakan secara berserikat. Sehingga, tidak dapat dikuasai oleh pengusaha local, asing atau swastanisasi oleh oligarki. 

Rasulullah SAW bersabda:
“Kaum muslim berserikat dalam tiga hal, yakni air, rumput, dan api, harganya adalah haram” (HR. Ibnu Majah)

Oleh karena itu, hutan adalah bagian dari milik umum yang seharusnya mudah untuk di akses oleh umat kemudian tugas penguasa sekadar mengawasi pemanfaatn lahan tersebut agar tidak membahayakan (dharar). 

Negara membagi hutan yang boleh dimanfaatkan dan seberapa luas yang harus di konservasi sebagai hima. Sehingga rakyat dapat memanfaatkan kayu-kayu di hutan dengan seperlunya, mengusahakan perkebunan, serta membangun rumah. 

Ketiga, masyarakat disadarkan dengan pembiasan dalam menjaga kebersihan lingkungan. 

Keempat, pemberian sanksi yang tegas bagi perusak lingkungan. 

Dengan sistem Islam yang cemerlang tentu hal ini meniscayakan umat untuk mendapatkan pemimpin yang memiliki mafhum ra’awiyah, bukan untuk diri sendiri atau keluarga seperti yang terjadi saat ini. 

Wallahul Muwaffiq Illa Aqwamit Thariq.


Oleh: Kiki Zaskia, S.Pd
Pemerhati Lingkungan
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar