Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Road to 2024 (42): Ketika Bu Khofifah Merapat ke 02, Perebutan Suara di Jawa Timur Kian Membara?


Topswara.com -- Sempat digadang dan dilamar menjadi calon wakil presiden, Khofifah Indar Parawansa memilih diam. Itu tanda tak ingin larut dalam pencawapresan. Membawa nama besar ketua Muslimat NU secara nasional, namanya diperhitungkan. Tampaknya Khofifah lebih memilih maju Jatim-1. Posisi untuk mengokohkan dominasinya menjabat di periode kedua. Berlabuhnya Khofifah dalam dukungan pencapresan ke 02, sebenarnya biasa. Toh, beberapa kepala daerah, gubernur, walikota dan bupati juga telah menunjukkan jati diri arah dukungannya.

Cukup aneh memang dalam politik demokrasi. Satu sisi kepala daerah meminta jajarannya netral dalam politik. Sisi lain, mendapatkan mandat dari partai pengusung ataupun permintaan langsung mendukung. Hal ini memang, posisi kepala daerah berbeda dengan Aparatur Sipil Negara (ASN) dalam undang-undang. Pejabat negara boleh menyatakan afiliasi politiknya. Sedangkan ASN tidak. Alhasil, kepala daerah sesuai Pasal 281 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, boleh ikut berkampanye. 

Keikutsertaan pejabat negara dalam hiruk pikuk pemilu bisa saja menjadi aji mumpung dan penyelewengan kekuasaan. Meski aturan undang-undang menjelaskan langkah teknis dalam keterlibatan politik. Tetap saja ada beberapa hal yang tak etis di hadapan publik. Ya, mau bagaimana lagi jika aturan dibuat demikian, maka pemilu pun menjadi ajang sokongan dan dukungan.

Jawa Timur Membara

Dewan Pengarah TKD Jatim Prabowo-Gibran, Emil Elestianto Dardak mengaku bahagia bisa sejalan dengan Khofifah. Hal ini otomatis memposisikan Jawa Timur sebagai basis lumbung suara 02. Pasalanya, Gubernur-Wakil Gubernur berada dalam satu perahu yang sama. Sudah semenjak lama, Jawa Timur menjadi medan tempur dan perebutan suara pemenangan. Bahkan semenjak dimulainya deklarasi, Jawa Timur kerap dipilih sebagai titik awalnya.

Pilihan Jawa Timur bukan tanpa alasan. Sebab gerbong massa dengan tokoh utama berada di sini. Kalangan ulama, kyai, santri, hingga ormas Islam menjadi lumbung tersendiri. Seperti halnya permen, Jawa Timur terasa legit dan manis. Dukungan Khofifah ke paslon 02 memiliki arti tersendiri. Jika dianalisis bisa sebagai berikut:

Pertama, Khofifah bukan perempuan biasa. Kiprahnya malang melintang dalam ragam jabatan. Mulai anggota DPR-RI, menteri presiden Gus Dur, menteri Jokowi, ketua Muslimat NU, hingga petarung sejati di Pilgub Jatim tiga kali. 

Kedua, Ketokohan di Muslimat NU bisa menjadi daya tarik suara untuk kanalisasi dukungan. Tampaknya ini juga sejalan dengan survey mayoritas warga NU Jatim dukung paslon 02. Bisa jadi, segaris dengan sebagian besar pengurus NU yang condong ke paslon 02. Selain itu, ini juga menjadi rival Jaringan Perempuan NU (entitas warga NU) yang mendukung paslon 01. Begitu pun jaringan pesantren, bu nyai, dan ning mendukung paslon 03.

Ketiga, secara pribadi meski sebagai Gubernur, tak bisa dilepaskan kecondongan dan afiliasi politiknya. Ibaratkan kepala, posisi Khofifah menjadi penentu kemenangan paslon yang didukungnya. Tak mengherankan jika nanti ada riak-riak kecil di bawah. Bisa jadi gubernur dan kepala daerah di bawahnya beda pilihan dukungan politik. Hal ini menjadikan suhu politik di Jawa Timur berangsur naik.

Keempat, modal politik Khofifah untuk maju kembali menjadi Jatim 1. PAN dan Demokrat sudah memberikan dukungannyanya. Kedua partai itu merupakan koalisi paslon 02. Ini pun akan diikuti partai lainnya untuk kembali jawara di Pilkada 2024. Tak hanya itu, jika paslon 02 jadi dan naik menjadi RI-1, maka positioning Khofifah menguat. Tidak hanya di Jawa Timur, tapi juga di nasional. Bisa jadi ini langkah strategis ke depan menjadi salah satu paslon Capres-Cawapres 2029.

Kelima, Khofifah juga akan mengonsolidasi kekuatan pesantren, warga Nahdliyin, dan akar rumput Jawa Timur. Ibaratkan sambil menyelam minum air. Sekaligus menjadi sinyal kepada penantangnya di Pilkada 2024, jika maju berarti siap-siap kalah. Konsolidasi yang dilakukan juga untuk kepentingan nasional, jika sewaktu-waktu pemilu rusuh dan butuh islah.

Alhasil, masuknya Khofifah ke paslon 02 sebenarnya menjadi hal yang biasa. Hanya sementara waktu ini ketika posisinya sebagai gubernur, maka mengindikasikan kecondongan afiliasi politik. Ketika Khofifah sudah merapat, kampanye di bawah pun akan menggunakan ikon Khofifah untuk meraup suara. Politik demokrasi memang unik dan kadang tidak asyik.

Bandul Rebutan Suara

Rakyat Jawa Timur, bisa saja sementara ini bingung menentukan pilihan calon pemimpin Indonesia. Tengok kanan dan kiri, siapa saja yang mendukung paslon 01, 02, dan 03. Gaya endorsment pejabat negara bisa menarik suara rakyat bawah. Karakter masyarakat Jawa Timur biasanya melihat yang di atasnya. Belum lagi bicara apatisme politik yang kian akut di kalangan bawah. Tak ada uang ke TPS tak akan datang. Ada uang siap-siap memilih mendukung yang menang.

Perebutan suara di kalangan bawah pun memanas. Komunikasi politik yang dibangun tak lagi bicara gagasan, tapi pada orang-orang yang dikenal. Kehadiran Khofifah diharapkan menarik gerbong panjang untuk kemenangan paslon 02 yang disokong kekuasaan. Tak ayal lagi, pemilu 2024 menjadi pembuktian benarkah perubahan pemimpin sekaligus merubah nasib rakyat miskin?

Politik demokrasi kerap menunjukan standar ganda. Hal ini wajar, karena politik demokrasi berasas dari pemisahan agama dan kehidupan. Berjalan di atas liberalisme yang tak mengenal salah dan benar. Apapun caranya ditempuh untuk sebuah kemenangan. Kondisi seperti ini hendaknya tak memalingkan agenda utama rakyat untuk menuntut kesejahteraan dalam sandang, pangan, dan papan. Pemimpin dipilih pada hakikatnya untuk mengabdi kepada Tuhan dan rakyatnya.

Sangat merugi jika mendukug salah satu paslon hanya demi kepentingan sesaat dan kekuasaan. Padahal amanat politik itu mengurusi urusan umat dalam negeri dan luar negeri berlandaskan hukum Allah Sang Pencipta manusia dan alam. Tidakkah sadar, dukung mendukung yang dilakukan pejabat negara menjadikan rakyat tak pernah untung. Justru rakyat menjadi korban dari euforia pesta pora di atas derita rakyat yang menggejala. Akankah pesta ini berakhir merana atau malah menguntungkan segelintir elit yang kerap lupa ketika berkuasa? Waktu semakin dekat. Jawaban itu pun terbuka secara lamat-lamat.[]

Oleh. Hanif Kristianto
Analis Politik dan Media 
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar