Topswara.com -- Kurang dari satu bulan lagi negeri ini akan mengadakan pesta demokrasi, yaitu pemilihan presiden dan wakil presiden, juga anggota legislatif, untuk masa jabatan tahun 2024-2029.
Segala persiapan dilakukan capres, cawapres, dan para caleg beserta partai politik yang mengusungnya. Kampanye di berbagai wilayah, debat antar paslon di media televisi, dan yang tak dilupakan adalah pemasangan alat peraga kampanye, berupa spanduk, baliho, umbul-umbul, dan sebagainya.
Menjalani masa kampanye yang lumayan panjang, tentunya membutuhkan dana yang sangat besar. Sebagai sebuah organisasi, partai politik memiliki berbagai sumber keuangan yang diatur dalam Pasal 34 UU No. 2 Tahun 2011. Sumber dana tersebut berasal dari tiga hal, yaitu: (1) Iuran anggota, (2) Sumbangan yang sah menurut hukum, dan (3) Bantuan keuangan dari APBN/APBD.
Sumber dana tersebut digunakan untuk operasional partai dan biaya lainnya yang telah diatur dalam undang-undang, termasuk ongkos yang dikeluarkan dalam kontestasi politik seperti pemilu.
Di tahun ini Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menemukan adanya aliran dana dari luar negeri, yang masuk ke dalam 21rekening bendahara partai politik, sebesar 195 miliar rupiah. Kepala PPATK, Ivan Yustiavandana, menyebut jumlah transaksi yang masuk sebesar 9.164 buah. Dia juga menyebutkan angka tersebut meningkat dari 8.270 transaksi di tahun 2022, sebesar 83 miliar rupiah. Sungguh nilai yang fantastis. (CNBC Indonesia, 12 Januari 2024)
Masih dari laman yang sama, Ivan Yustiavandana juga menyebutkan bahwa aliran dana tersebut bukan hanya masuk ke rekening bendahara partai, namun PPATK menemukan kucuran keuangan yang diberikan juga kepada daftar calon tetap (DCT). Tercatat 100 orang dari DCT menerima dana sebesar Rp7,7 triliun rupiah, dengan nilai transaksi keluar sebesar Rp5,8 triliun.
Politik Demokrasi Sarat Kepentingan
Sistem demokrasi meniscayakan banyaknya bermunculan partai politik dengan visi dan misinya masing-masing. Partai-partai ini dalam mewujudkan tujuannya tersebut tentu saja membutuhkan dana yang amat besar.
Sampai-sampai negara pun turut andil memberikan bantuan keuangan kepada mereka melalui APBN/APBD. Namun sayang, tidak cukup puas dengan dana yang diberikan oleh pemerintah, partai-partai ini pun menerima kucuran dana dari negara asing.
Tidak ada makan siang gratis. Begitulah slogan yang kerap kali kita dengar. Jargon ini menunjukkan kepada kita bahwa tak ada bantuan sukarela tanpa ada maksud lain dari si pemberi sumbangan. Demikian juga dengan pemberian dana dari pihak asing ke kantong-kantong bendahara partai politik.
Politik dalam sistem demokrasi sarat dengan kepentingan. Baik dari dalam tubuh partai politik sendiri, maupun kebutuhan dari pihak asing yang ingin menguasai sumber daya alam/manusia negeri yang menjadi sasarannya atau kepentingan terselubung lainnya.
Adanya aliran dana dari pihak asing meniscayakan mereka dapat masuk dan mengintervensi urusan dalam negeri negara ini. Negara asing ini berpotensi turut campur dalam pembuatan undang-undang yang tentu saja disesuaikan dengan kepentingan mereka.
Sebagai contoh intervensi IMF dan World Bank dalam upaya privatisasi Pertamina Geotermal. Hal ini diatur dalam UU No 59 Tahun 2009 tentang privatisasi. Artinya, penguasa negeri ini tidak bebas mengatur urusan rakyatnya sendiri, alias mengancam kedaulatan. Dan ini amatlah berbahaya.
Demokrasi Manjakan Oligarki
Kedaulatan sebuah negara sangatlah penting. Sebab, bila berdaulat, penguasa sebuah negeri dapat mengatur urusan rakyatnya secara mandiri. Mengolah seluruh sumber daya alamnya sendiri untuk kepentingan masyarakat demi kemakmuran mereka. Negara yang berdaulat artinya negara yang bebas dari penjajahan ekonomi, politik, sosial budaya, pendidikan, dan lain sebagainya.
Namun apa jadinya jika aturan perundang-undangan dibuat untuk kepentingan asing? Contohnya UU Minerba dan UU Ombibuslaw (Ciptaker) yang sarat dengan intervensi para kapital serta sangat merugikan rakyat.
Sumber daya alam negeri ini dikeruk dan dirampok oleh negara asing, kemudian izin penambangannya diperpanjang bahkan hingga ratusan tahun atas permintaan pihak asing.
Sementara itu partai politik, dengan banyaknya kucuran dana dari pihak-pihak yang berkepentingan, termasuk asing, terperangkap dengan kepentingan para oligarki. Akhirnya mereka kehilangan idealismenya dalam mengatur kepentingan dan kebutuhan rakyat.
Maka, alih-alih membela kepentingan masyarakat, mereka justru lebih mengutamakan urusan sang pemilik modal yang sudah membanjiri para pengurus rakyat ini dengan uang.
Apalagi para penguasa dan wakil rakyat pada akhirnya ikut menikmati limpahan dana yang amat besar ini dengan memperkaya diri dan kelompoknya. Maka tak heran mudah sekali mereka melakukan korupsi. Kelanjutannya kemudian mudah ditebak, siapapun pemimpin negeri ini yang nanti akan terpilih maka dapat dipastikan dia sudah terjebak di pusaran kepentingan para oligarki.
Demikianlah buruknya sistem demokrasi yang telah menjerat negeri ini berpuluh tahun lamanya. Paradigma yang berasal dari hasil pemikiran manusia yang serba lemah dan terbatas, sudah tentu tidak akan pernah membawa manfaat dan keberkahan bagi kehidupan manusia dan alam semesta.
Saatnya Kembali pada Sistem Islam
Sangat berbeda dengan sistem Islam yang berasal dari Sang Pencipta, Al Khaliq, Al Mudabbir. Islam mengatur dengan sangat sempurna pemilihan seorang pemimpin Islam yang akan menaungi dan mengurus umat muslim seluruh dunia. Hal ini telah dicontohkan para sahabat Rasulullah SAW. sepeninggal beliau SAW. pada berabad-abad silam.
Begitu pentingnya memilih seseorang yang akan memimpin umat Islam, para sahabat rela menunda prosesi pemakaman jenazah Rasulullah SAW. selama tiga malam hingga terpilihlah seorang khalifah sebagai pengganti tugas Rasulullah SAW. mengurusi umat.
Adapun kriteria yang harus dipenuhi seorang calon pemimpin dalam Islam disebut syarat in'iqad, terdiri dari 7 macam, yaitu: laki-laki, muslim, baligh, berakal, merdeka, adil, dan mampu mengemban tugas kenegaraan.
Pemilu (al-intikhab) dalam Islam hanya sebagai uslub (cara), dan bukan metode yang wajib dilakukan dalam memilih pemimpin. Sementara keberadaan partai politik sendiri bukan bertujuan untuk menentukan calon pemimpin umat.
Melainkan untuk urusan dakwah kepada umat, serta melakukan muhasabah kepada penguasa. Tatacara pengangkatan pemimpin adalah dengan bai'at. Setelah terpilih calon khalifah yang memenuhi syarat in'iqad, maka umat secara umum akan melakukan bai'at taat, sehingga resmilah khalifah terpilih menjadi pemimpin umat Islam seluruh dunia.
Tatacara yang simpel dan sederhana ini tidak akan memakan banyak waktu dan biaya. Karena Khalifah dipilih bukan berdasarkan suara terbanyak seperti dalam sistem demokrasi. Pemimpin yang terpilih adalah orang yang bertakwa dan amanah serta bersedia menjalankan aturan Allah SWT. dalam menjalankan tugasnya mengurus kehidupan rakyat. Bukan penguasa boneka yang tunduk pada kepentingan asing dan oligarki.
Allah SWT. berfirman dalam Surah Al-Maidah ayat 50 yang artinya:
"Apakah hukum jahiliah yang mereka kehendaki? (Hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang meyakini (agamanya)?"
Sebab, haram hukumnya memimpin umat tanpa berpegang teguh kepada Al-Qur'an dan As-Sunnah. Allah SWT. mengancam terhadap orang-orang yang tidak berhukum kepada hukum Allah SWT. sebagai orang yang kafir, zalim, dan fasik seperti yang termaktub dalam Al-Qur'an surah Al Maidah ayat 44, 45, dan 47.
Oleh sebab itu, agar umat Islam dapat kembali kepada fitrahnya, diurus kehidupannya sehingga sejahtera lahir dan batinnya, maka wajib kembali kepada hukum Allah SWT. Kita tentu tidak menghendaki jatuh kepada kekafiran, kezaliman, dan kefasikan yang balasannya adalah azab neraka yang sungguh pedih.
Wallahualam bissawab.
Oleh: Tatiana Riardiyati Sophia
Pegiat Literasi dan Dakwah
0 Komentar