Topswara.com -- Perempuan kerap dipandang sebagai makhluk yang lemah, tidak berdaya, bahkan lebih mirisnya, kadangkala dipandang sebagai beban keluarga yang hanya diam di rumah mengurus rumah tangga.
Sebaliknya, perempuan dianggap berdaya jika berkiprah aktif dalam pembangunan ekonomi dan mampu membantu meningkatkan indeks pembangunan gender.
Sebagaimana dilansir Antaranews.com (6/1/2024), Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) yang menyatakan bahwa selama 2023, perempuan semakin berdaya yang ditunjukkan dengan meningkatnya Indeks Pembangunan Gender.
Hal ini dilihat dari kiprah perempuan yang mampu menyumbangkan pendapatannya kepada keluarga, menduduki posisi strategis di tempat kerja, dan terlibat dalam politik pembangunan dengan meningkatnya keterwakilan perempuan di lembaga legislatif. Pernyataan tersebut disampaikan oleh Deputi Bidang Kesetaraan Gender KemenPPPA, Lenny N. Rosalin.
Lebih lanjut Lenny juga mengatakan, perempuan berdaya akan menjadi landasan kuat dalam pembangunan bangsa. Keterwakilan perempuan dalam lini-lini penting dan sektoral juga akan ikut mendorong kesetaraan gender di Indonesia semakin setara.
Pernyataan di atas seolah benar adanya. Perempuan berperan penting baik di dalam keluarga maupun masyarakat, bahkan di bidang pemerintahan. Hal demikian seolah menghapus diskriminasi dan ketimpangan perempuan di dunia kerja.
Perempuan bahkan terlihat lebih kuat karena berfungsi sebagai ibu rumah tangga sekaligus bekerja. Namun di balik itu semua, sejatinya para perempuan kerap mendapatkan permasalahan dalam kehidupannya. Seperti tingginya angka perceraian, KDRT, kekerasan seksual, dan lain sebagainya.
Dalam bekerja, tidak sedikit mereka yang terpaksa harus lembur, meninggalkan anak-anaknya di rumah. Ada juga yang mengalami kekerasan seksual di tempat kerja, dilecehkan hingga pemerkosaan. Semua itu sebenarnya menunjukkan bahwa posisi perempuan justru lebih memprihatinkan, terbawa pada arus kesengsaraan dan penderitaan.
Sejatinya, terlibatnya perempuan di dunia kerja, adalah bentuk eksploitasi terhadap perempuan. Mereka dijadikan aset bagi pertumbuhan ekonomi. Tenaga mereka diperas, hingga peran sebagai ummu wa rabbatul bayt (ibu dan pengatur rumah tangga) pun terpangkas. Hal ini tentu berdampak pada terabaikannya tugas dan tanggung jawab sebagai pendidik generasi.
Generasi menjadi goyah, tak tahu arah tujuan. Padahal mereka adalah aset bagi sebuah peradaban yang akan melanjutkan kehidupan yang gemilang di muka bumi. Namun mereka dibuat lemah oleh sistem yang sengaja merusaknya.
Dialah sistem kapitalisme sekularisme yang menjadi biang terancamnya generasi dan para perempuan ke lembah penderitaan. Sistem yang berlandaskan materi dan kepentingan menjadikan aktivitas seseorang diukur oleh ada tidaknya manfaat di sana. Hal demikian termasuk ketika mengukur berdaya atau tidaknya perempuan dengan bergantung pada ada tidaknya manfaat atau materi yang diberikannya.
Sementara sekularisme adalah paham yang memisahkan agama dari urusan kehidupan. Di mana pengaturan segala persoalan tidak melibatkan agama, sehingga solusi yang diambil tidak mengena langsung ke akar masalah bahkan seringkali menimbulkan masalah baru.
Seperti saat ini di mana terdapat kesalahan paradigma dalam melihat perempuan dan solusinya. Yakni menjadikan perempuan sebagai penopang ekonomi yang kerap mengalami penderitaan, dan mengesampingkan urusan keluarganya.
Islam Memuliakan Perempuan
Sebagai agama sekaligus sistem hidup, syariat Islam menjadikan perempuan mulia dan kehormatan yang harus dijaga. Perempuan juga sebagai madrasatul 'ula, sekolah pertama dan utama bagi buah hatinya. Dari rahimnyalah lahir generasi emas pembawa peradaban yang baik yaitu peradaban Islam. Bukan sebagai penopang ekonomi sebagaimana dalam sistem kapitalis.
Aturan yang mengikatnya hanyalah dalam rangka menjaga dan memuliakan mereka sebagai pencetak generasi yang menentukan sebuah peradaban. Islam memiliki mekanisme tersendiri agar perempuan mulia dan terjaga fitrahnya, di antaranya:
Pertama, Islam menempatkan perempuan sebagai ummu warabatul bayt yakni sebagai ibu dan pengurus rumah tangga di bawah kepemimpinan suaminya. Peran ini membutuhkan ilmu dan upaya maksimal seorang ibu dalam mengasuh dan mendidik anak-anaknya. Karena dari tangan merekalah generasi terbentuk.
Kedua, pemberdayaan perempuan dalam Islam adalah mengoptimalkan potensi dan peran publiknya untuk kemaslahatan umat yakni berdakwah, melakukan amar makruf nahi mungkar di tengah masyarakat, serta membina umat dengan tsaqafah Islam.
Ketiga, hukum perempuan bekerja adalah mubah. Selama tidak melalaikan tugas utamanya sebagai ibu dan pendidik generasi maka Islam membolehkannya. Karena kewajiban bekerja atau mencari nafkah adalah di pihak laki-laki.
Keempat, Islam memberikan hak yang sama dengan laki-laki dalam hal pendidikan. Perempuan boleh menjadi guru, dokter, insinyur, dan sebagainya. Ilmu yang didapatkannya bisa didedikasikan untuk kemaslahatan umat, bukan sekadar untuk mencari uang apalagi kekuasaan.
Begitulah peran perempuan dalam pandangan Islam. Hanya sistem Islamlah yang mampu menempatkan perempuan pada posisi mulia dan terhormat. Tidak seperti sistem kapitalisme yang hanya membawa kesengsaraan dan penderitaan. Di bawah institusi yang menerapkan Islam secara kaffah (menyeluruh) niscaya kemuliaan perempuan yang hakiki akan dapat terwujud.
Wallahu a'lam bi ash-shawab.
Oleh: Sri Murwati
Pegiat Literasi, Komunitas Rindu Surga
0 Komentar