Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Perampasan Lahan Rakyat demi Siapa?


Topswara.com -- Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 78 Tahun 2023 Tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 62 Tahun 2018 tentang penanganan dampak sosial kemasyarakatan dalam rangka penyediaan tanah untuk pembangunan nasional (Perpres 78/2023). 

Produk regulasi sesat pikir ini diduga lahir atas kegugupan dan kegagapan Jokowi terkait kelanjutan ambisi proyek nasional pada satu tahun terakhir masa kepemimpinannya. (walhi.or.id, 21/12/2023)

Presiden menargetkan urusan sertifikasi tanah masyarakat di seluruh tanah air bisa selesai pada tahun 2024. Hal ini disampaikannya ketika membagikan sertifikat tanah di kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur. (voaindonesia.com, 28/12/2023)

Permasalahan konflik lahan ini nyata menjadi salah satu persoalan yang dihadapai oleh banyak rakyat saat ini. Sementara pemerintah menerbitkan aturan bukannya membantu konflik yang terjadi pada masyarakat, namun justru memudahkan perampasan tanah rakyat oleh para pengusaha swasta. 

Fakta yang terjadi dalam negeri ini menunjukkan negara tidak berdaulat. Kekuasaan justru terletak pada segelintir orang yang memiliki modal, yang berada di balik penguasa. Inilah politik oligarki kekuasaan yang dikendalikan oleh segelintir elit politik. Dengan sistem demokrasi manusia menjadi legal membuat aturan sendiri atas nama perwakilan rakyat.

Bagaimana Islam menyelesaikan permasalahan ini?

Kepemilikan lahan di dalam masyarakat akan diatur secara adil oleh negara yakni Daulah Islamiyah. Terkait perkara tanah, Islam telah mengatur dengan jelas dan rinci sesuai syariat. 

Syariat Islam telah menetapkan bahwa status tanah memiliki 3 status kepemilikan yaitu :
Pertama, tanah yang boleh dimiliki oleh individu. Kedua, tanah milik negara. Ketiga, tanah milik umum.

Tanah milik individu meliputi lahan pertanian, perkebunan, kolam dan sejenisnya. Tanah individu dikelola dan dimanfaatkan oleh individu, seperti bisa dijual diwariskan dan dihibahkan. 

Sedangkan tanah milik umum adalah tanah yang di dalamnya terkandung harta milik umum seperti tanah hutan, tanah yang di dalamnya mengandung tambang dengan jumlah yang sangat besar, tanah yang di atasnya terdapat fasilitas umum seperti jalan, rel kereta api dan sejenisnya. Tanah milik umum haram dikuasai oleh swasta. 

Sedangkan tanah milik negara adalah tanah yang tidak berpemilik (tanah mati), tanah yang ditelantarkan atau tanah di sekitar fasilitas umum, tanah kharaj, tanah ushriyah, tanah orang murtad, tanah yang tidak memiliki ahli waris. 

Tanah milik negara digunakan untuk berbagai keperluan yang menjadi kewajiban negara. Penguasa dalam hal ini khalifah berhak memberikan tanah milik negara kepada individu-individu rakyat, dengan memperhatikan dan berpijak pada "Penciptaan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat".

Sistem Islam memiliki konsep yang jelas atas kepemilikan lahan, dan menjadikan penguasa sebagai pengurus dan pelindung rakyat termasuk pelindung kepemilikan lahan. Khilafah akan mengatur undang-undang pertanahan yang didasarkan atas dasar kepemilikan. 

Pengelolaan lahan diatur sesuai dengan syariat Islam. Sehingga tidak akan terjadi kasus perampasan tanah milik rakyat sebagaimana yang terjadi pada masyarakat Rempang. Karena tanah Rempang adalah tanah milik individu yang masyarakat sudah lama tinggal di sana. 

Proyek pembangunan apapun di dalam negara Islam dilaksanakan untuk kepentingan rakyat dan didukung kebijakan yang melindungi rakyat dan membawa kemaslahatan umat. 

Oleh karena itu satu-satunya solusi untuk menyelesaikan berbagai kasus agraria dan mengakhiri konflik lahan rakyat di Rempang atau ditempat lainnya adalah dengan menerapkan kembali aturan Allah SWT di muka bumi ini melalui institusi khilafah sebagaimana yang telah diteladankan oleh Rasulullah dan para sahabat.

Rasulullah SAW bersabda,
“Imam (Khalifah) adalah raa'in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya”.(HR al-Bukhari).


Harini
Aktivis Muslimah
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar