Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Pemuda, Masihkah Berharap pada Demokrasi?


Topswara.com -- Pemilu tahun 2024 sudah makin dekat, tinggal beberapa pekan lagi pesta demokrasi akan digelar. Pemilu tahun ini pun mengundang perhatian, karena bertambahnya peserta pemilu dari kelompok usia pemilih muda, yaitu generasi Z dan milenial. 

Generasi Z dan milenial dikenal sebagai kaum muda yang tumbuh di tengah kemajuan teknologi. Dilansir dari dpr.go.id (24/11/2023), KPU RI telah menetapkan Daftar Pemilih Tetap (DPT) Nasional untuk Pemilu 2024 sebesar 204.807.222 jiwa. 

Dari jumlah kurang lebih 55 hingga 60 persen di antaranya merupakan pemilih muda yang terdiri dari gen Z dan milenial. Berdasarkan data KPU, jumlah pemilih muda mencapai 106.358.447 jiwa. Partisipasi pemuda menentukan sukses tidaknya pesta demokrasi kali ini.  

Jumlah pemilih muda yang mendekati 60 persen dari 204.807.222 DPT 2024, tentu menjadi sasaran para politisi untuk memenangkan agenda Pemilu 2024. Tiga paslon mulai berjibaku untuk menarik atensi pemuda melalui dunia digital. 

Masing-masing paslon rutin mengunggah konten di media sosial mereka, bahkan ada juga yang rutin mengundang influencer. Berbagai rayuan pemilu dan janji-janji kampanye terus dibombardir di jagat maya dan di perhelatan debat capres/cawapres. 

Lantas, bagaimana pemuda hari ini menyikapinya? Dari paparan angka di atas, sebagian kalangan menyimpulkan bahwa gen Z dan milenial memiliki potensi dan peran dalam membentuk perubahan sekaligus memberikan kontribusi positif dalam pengambilan keputusan. 

Pengambilan keputusan yang dimaksud adalah menggunakan hak pilihnya atau golput. Pada akhirnya peran politik pemuda sebatas diarahkan untuk terlibat dalam pemilu saja, seolah perubahan hanya bisa diwujudkan melalui pemilu di sistem demokrasi ini. 

Tidak heran jika sebagian besar pemuda kembali menaruh harapannya pada pemilu kali ini. Mereka berharap pemilu 2024 ini akan membawa pada kehidupan yang lebih baik, lebih sejahtera, dan lebih modern. 

Namun faktanya, menaruh harapan akan hadirnya perubahan lewat sarana pemilu, meski sekadar perubahan rezim itu sulit untuk diwujudkan. Sudah berkali-kali negeri ini berganti pemimpin, namun wujud perubahan semakin mengarah pada kerusakan, kesengsaraan dan berbagai kezaliman. Ini adalah bukti krisisnya perpolitikan di sistem demokrasi. 

Politik merupakan elemen terpenting dalam tata kenegaraan, pemegang kendali atas berbagai sistem kehidupan, baik itu sistem ekonomi, pendidikan, kesehatan, dan sebagainya. Jika asas yang mendasari politiknya sudah buruk, maka tentu akan membawa dampak buruk pada berbagai sistem kehidupan. Oleh karena itu politik demokrasi yang dianut oleh dunia hari ini adalah ladang subur bagi pemilik modal (kapital). 

Sudah menjadi rahasia umum, jika yang memenangkan pemilu pastilah yang disokong modal besar. Maka, tentu saja berbagai kebijakan yang dikeluarkan saat memimpin pun akan menguntungkan para penyokong. 

Sementara itu, harapan untuk menyejahterakan rakyat itu mustahil adanya. Sejahtera hanya akan dirasakan di kalangan para kapital dan pemegang kekuasaan, yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin.

Mengingat kembali, dari sejarah AS. Presiden Abraham Lincoln (1860-1865) menyatakan bahwa demokrasi bermakna "from the people, by the people and for the people" (dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat). 

Sebelas tahun kemudian, Presiden AS Rutherford B. Hayes menyatakan bahwa kondisi AS kala itu "from company, by company and for company" (dari perusahaan, oleh perusahaan dan untuk perusahaan). Ini menunjukkan bahwa sejak kelahirannya, kedaulatan dalam demokrasi bukanlah di tangan rakyat, melainkan hanya di segelintir rakyat. Itu pun mereka yang terhimpun menjadi pemilik modal.

Pemuda, masihkah berharap pada demokrasi? Para pemuda harus sadar bahwa berbagai kebijakan dan aturan yang dikeluarkan dari penerapan sistem perpolitikan demokrasi kapitalistik tidak akan mampu menyelesaikan problematika masyarakat yang kian pelik ini. 

Sebab politik dalam demokrasi hanya alat untuk memenangkan pemilu dan meraih kekuasaan. Meski di perhelatan pemilu, para paslon capres/cawapres saling senggol, mereka akan tetap saling merangkul untuk bagi-bagi kue kekuasaan pasca pemilu serta membuat regulasi bersama yang mengakomodasi kepentingan para pendukung dan pemilik modal. 

Walhasil, berbagai kebijakan politik demokrasi yang dilahirkan membawa dampak kerusakan yang nyata. Hal ini ditunjukkan dengan adanya berbagai aksi dan kritikan yang dilakukan oleh mahasiswa dan berbai elemen masyarakat. 

Mahasiswa kerap menentang kebijakan rezim yang tak berpihak kepada rakyat bahkan cenderung mendzalimi rakyat. Akan tetapi, kesadaran pemuda atas kegagalan sistem politik demokrasi harus dibarengi dengan kesadaran atas solusi alternatif sistem pengganti demokrasi.

Sebagai pemuda Muslim, mulailah mengambil sikap untuk memilih Islam sebagai jalan perubahan yang hakiki. Perubahan hakiki hanya bisa terjadi jika politik tidak dijauhkan dari umat. Sebab, politik akan mewujudkan keadilan, pun kesejahteraan akan mampu diraih. 

Bahkan generasi muda tidak diamputasi lagi peran politiknya, generasi muda akan mengembalikan jati dirinya sebagai agen perubahan. Setiap pemuda memiliki tanggungjawab terhadap diri, agama dan umat. 

Hal terpenting yang bisa dilakukan pemuda hari ini adalah mengupayakan tegaknya sistem Islam di bumi ini dengan terus berjuang untuk mengedukasi umat dengan politik Islam. Islam hadir sebagai sebuah solusi, tidak hanya mengatur dalam perkara ibadah saja. 

Islam juga mengatur sistem penyelenggaraan negara berbentuk khilafah Islamiah yang akan menerapkan syariat islam secara kaffah, seperti yang telah dicontohkan oleh Rasulullah dan para sahabat.[]


Retnaning Putri, S.S.
Aktivis Muslimah
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar