Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Pemimpin Menjaga Kepemilikan Tanah Rakyatnya


Topswara.com -- Jika memang benar semua proyek pembangunan yang memicu konflik lahan adalah demi kepentingan rakyat, pertanyaannya, rakyat mana yang dimaksudkan karena faktanya rakyat yang justru sering kali menjadi korban?

Dilansir dari Pers.Walhi.com, 20 Desember 2023, Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 78 Tahun 2023 Tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 62 Tahun 2018 Tentang Penanganan Dampak Sosial Kemasyarakatan Dalam Rangka Penyediaan Tanah Untuk Pembangunan Nasional (Perpres 78/2023). 

Produk regulasi sesat pikir tersebut diduga lahir atas kegugupan dan kegagapan Jokowi terkait kelanjutan ambisi proyek nasional pada satu tahun terakhir masa kepemimpinannya.

Perpres tersebut secara historis memang dikhususkan bagi kelancaran Proyek Strategis Nasional (PSN). Regulasi terkait dampak sosial penyediaan tanah pembangunan nasional bermula dari penerbitan Perpres 56/2017 dan kemudian direvisi melalui Perpres 62/2018. 

Pada perkembangan terakhir direvisi melalui Perpres 78/2023. Peraturan baru ini memperluas ruang lingkup proyek yang termasuk dalam kategori Pembangunan Nasional. Jika Perpres 56/2017 spesifik ditujukan untuk PSN, maka kebijakan terbaru ini justru diperluas untuk kepentingan proyek-proyek selain PSN.  

Pembangunan di berbagai bidang terlebih infrastruktur di negeri ini terus digenjot, terutama di Ibu Kota dan kota-kota madya. Pembangunan ini dipandang sangat penting untuk menopang laju pertumbuhan ekonomi negeri. 

Oleh karenanya, pemerintah terus berupaya meningkatkan konektivitas antar kawasan agar mobilisasi barang, jasa, dan manusia lebih lancar sehingga perekonomian pun bisa ikut bertumbuh.

Tidak hanya itu, pembangunan juga dilakukan di berbagai daerah dengan alasan untuk menunjang perekonomian warga. Mirisnya, berbagai proyek ini justru memunculkan permasalahan baru. Tidak sedikit berujung pada kekerasan, bahkan perampasan lahan milik rakyat, baik dilakukan oleh penguasa, aparat, atau pengusaha.

Masih segar dalam ingatan kita kasus proyek pembangunan kawasan Rempang Eco-City atau proyek pembangunan Bendungan Bener di Desa Wadas yang benar-benar melukai masyarakat. Pemerintah mengeklaim bahwa tanah tersebut adalah tanah milik negara, lalu diperkuat dengan alasan demi kepentingan umum. Ini agar apa yang dilakukannya tidak tampak sebagai perampasan.

Sementara itu, perusahaan berpatok pada hak guna atau konsesi yang mereka terima dari negara agar mereka pun tidak dipersalahkan. Parahnya lagi, negara dan perusahaan dengan mudah memanfaatkan kurangnya pengetahuan masyarakat dan lemahnya bukti kepemilikan rakyat atas tanah sebagai argumentasi. 

Belum lagi kacaunya sistem administrasi pertanahan yang pada akhirnya memposisikan masyarakat sangat rentan menjadi korban kezaliman.

Jika kita cermati, sesungguhnya semua kondisi ini dikembalikan pada satu sebab mendasar, yakni penerapan sistem kapitalisme di negeri ini. Sungguh sangat nyata spirit kapitalisme mengedepankan pencapaian keuntungan sebesar-besarnya dengan modal sekecil-kecilnya, meskipun rakyat yang akhirnya menjadi korban. 

Yang terjadi adalah kongkalikong antara pengusaha dan penguasa. Bahkan, dampak yang membahayakan rakyat dan lingkungan pun mereka tidak peduli.

Realitasnya, kian hari ketimpangan penguasaan lahan ini kian lebar, kalangan berduit akan lebih banyak menguasai lahan. Industrialisasi dan pembangunan yang masif dilakukan, membuat kepemilikan lahan, termasuk yang diklaim milik negara, dengan mudah beralih kepada para pemilik modal. 

Adapun rakyat yang lemah, cenderung tidak punya pilihan. Seberapa pun keras melakukan perlawanan, mereka akan kalah telak oleh kekuatan uang dan kekuasaan.

Berbeda dengan sistem hukum lahan di negeri ini yang membiarkan pemilik modal bisa menguasai lahan seluas apa pun, syariat Islam  mengatur kepemilikan lahan dengan sangat adil dan terperinci. Setiap warga berhak untuk memiliki lahan, baik dengan membelinya maupun melalui pemberian, seperti hadiah, hibah, dan warisan. Islam juga membolehkan negara membagikan tanah kepada warganya secara cuma-cuma.

Sungguh, Islam telah memberikan aturan yang sangat terperinci dan adil bagi para pemilik lahan. Kepemilikan lahan tidak bisa dibatalkan atau diambil alih oleh siapa saja, bahkan negara sekalipun, hanya karena tidak bersertifikat. Ketika sertifikat menjadi satu-satunya bukti keabsahan kepemilikan lahan, ini justru membuka celah terjadinya perampasan lahan. 

Pasalnya, ada segelintir orang yang mempunyai akses mengurus sertifikat lahan. Sebaliknya, warga yang tidak mempunyai akses mengurus lahan, status kepemilikannya malah terancam. Bahkan, akibat tidak ada sertifikat, negara seolah bisa semena-mena mengambil-alih lahan milik warga.

Demikianlah, Islam dengan sangat detail mengatur kepemilikan lahan, larangan menelantarkannya, juga ancaman keras bagi siapa pun yang melakukan perampasan atas tanah yang bukan haknya.

Dalam sistem kapitalisme, negara bisa semena-mena merampas lahan milik rakyat sehingga kehidupan yang penuh kedamaian dan keadilan tidak mungkin mewujud. Hal ini terjadi karena kepemimpinan hanya menjadi alat melayani kepentingan segelintir orang.

Berbeda secara diametral dengan Islam. Sebagai din yang sempurna, Islam mewajibkan negara untuk melindungi kepemilikan rakyatnya, termasuk tanah. Kepemimpinan dalam Islam merupakan manifestasi keimanan sehingga realisasinya akan berujung keberkahan.

Oleh karenanya, penguasa dalam sistem Islam akan berhati-hati dan takut jika kepemimpinannya menjadi sebab penderitaan rakyat. Mereka akan memastikan setiap kebijakan yang diambilnya akan memberi kebaikan bagi rakyatnya.

Islam memiliki solusi tuntas bagi setiap permasalahan yang dialami rakyat dengan aturan-aturannya yang sempurna dan lengkap. Ketika sistem Islam diterapkan, negara akan bertindak adil, tidak ada satu pihak pun yang dirugikan.

Wallahu alam bishawab.


Oleh: Eva Lingga Jalal
Aktivis Muslimah
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar