Topswara.com -- Julukan “negara agraris” sudah melekat di benak rakyat Indonesia sebagai salah satu identitas tanah air kita. Namun, tahukah kita bahwa meski berstatus negara agraris, Indonesia rutin mengimpor beras setiap tahunnya selama 22 tahun terakhir?
Indonesia memang diberi penghargaan oleh International Rice Research Institute (IRRI) di tahun 2022 karena telah mampu memenuhi lebih dari 90 persen kebutuhan beras nasional pada periode 2019-2021 (setkab.go.id, 14 Agustus 2022). Namun, prestasi ini tidak bertahan lama.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat di tahun 2023 Indonesia mengimpor 3,06 juta ton beras. Ini angka impor tertinggi dalam 5 tahun terakhir (cnbcindonesia.com, 15 Januari 2024). Tahun 2024 ini pun pemerintah akan mengimpor 3 juta ton beras. Sebanyak 1 juta ton beras akan diimpor dari India dan 2 juta ton lagi diimpor dari Thailand (cnnindonesia.com, 10 Januari 2024).
Pemerintah berujar bahwa sulit lepas dari ketergantungan terhadap impor beras. Alasannya, jumlah produksi beras dalam negeri yang ditargetkan sebesar 35 juta ton hanya terealisasi 30 juta ton. Kebutuhan beras pun terus meningkat setiap tahun seiring dengan peningkatan jumlah penduduk (cnbcindonesia.com, 17 Oktober 2023).
Keputusan pemerintah lagi-lagi impor beras ini nyata dikritik para pakar. Peneliti Center of Reform on Economic (CORE) Indonesia Eliza Mardian menyatakan bahwa impor seharusnya tidak jadi jalan pintas saat terjadi kekurangan produksi dalam negeri (Kompas.com, 5 Januari 2024).
Guru Besar Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB) Dwi Andreas Santosa juga menilai keputusan impor ini serampangan. Dalam wawancara virtual dengan CNBC, beliau menyatakan bahwa impor 3 juta ton lebih beras di 2023 hanya berdasarkan asumsi penurunan produksi karena el nino tanpa perhitungan yang jelas.
Walhasil, impor itu mengakibatkan cadangan beras kelebihan 2,65 juta ton. Beliau pun memprediksi bahwa produksi beras tahun 2024 akan naik 3-5 persen. Ini berarti jika di 2024 pemerintah tetap mengimpor 3 juta ton, harga beras akan hancur.
Tampaknya keinginan (iradah) penguasa mewujudkan ketahanan pangan masih setengah hati. Pasalnya, belum ada kebijakan holistik untuk membenahi pertanian dalam negeri. Memang, pemerintah gencar membangun infrastruktur di bidang pertanian, memanfaatkan varietas unggul padi serta program intensifikasi dan ekstensifikasi pertanian (setkab.go.id, 14 Agustus 2022).
Namun, di saat yang sama pemerintah membuat sejumlah kebijakan yang kontraproduktif dan menghalangi tercapainya swasembada pangan yang berkelanjutan.
Sebut saja kian masifnya kebijakan mengonversi lahan pertanian menjadi lahan untuk pembangunan infrastruktur dan proyek strategis nasional. BPS mendata bahwa di tahun 2021 antara 60.000-80.000 hektar lahan sawah dialihfungsikan setiap tahunnya.
Maka, dalam lima tahun antara 300.000-400.000 hektar lahan sawah hilang dengan kehilangan hasil padi mencapai 1,8 juta ton-2.4 juta ton Gabah Kering Giling (cnbcindonesia.com, 19 September 2023). Jika para petani semakin kehilangan sawah-sawah untuk digarap, bagaimana bisa produksi beras ditingkatkan?
Masalah penurunan jumlah petani di negeri ini juga belum disolusi. Saat ini terdata 29,34 juta petani, turun 7,45 persen dari total jumlah petani 31,70 Juta (2013). Bagaimana tidak menurun, profesi petani dengan segudang masalahnya dipandang tidak menyejahterakan.
Akibat liberalisasi pertanian yang dikuasai swasta, segala kebutuhan petani kian mahal dan membutuhkan modal besar, baik untuk pupuk, bibit, pestisida, tenaga kerja, dan sewa lahan. Namun, meski modalnya besar, hasil usahanya ‘tebak-tebakan’.
Saat panen, harga jual bisa berisiko sangat rendah, tidak cukup menutupi modal (cnbcindonesia.com, 7 Desember 2023). Guru besar IPB bahkan mewanti-wanti kebijakan imor beras yang serampangan bisa menghancurkan harga beras dan mematikan petani.
Kebijakan pemerintah yang tidak holistik dan terkesan setengah hati ini disebabkan peran pemimpin dalam sistem kapitalisme sekuler sebagai regulator semata. Negara menyerahkan pemenuhan hajat masyarakat kepada mekanisme pasar, yakni pihak swasta sebagai pelaku pasar.
Negara sebatas berperan bak satpam yang tugas utamanya membuka dan menutup pintu impor. Negara hanya memastikan stok, tetapi tidak memastikan agar distribusi stok aman dari penimbunan oleh pengusaha nakal dan harga beras terjangkau (muslimahnews.net, 17 Oktober 2023).
Agar ketahanan pangan dapat diupayakan dengan sepenuh hati, diperlukan pemimpin yang berperan sebagai pengurus umat. Pemimpin level ini tidak akan setengah-setengah atau tambal sulam dalam menangani masalah ketahanan pangan.
Tersebab ketakwaannya kepada Zat Penciptanya, Allah SWT., pemimpin menyolusi masalah dengan totalitas sebab paham bahwa Islam mewajibkan negara untuk menjamin pemenuhan kebutuhan pangan setiap individu rakyatnya.
Kebutuhan pangan ini pastinya dipenuhi sesuai aturan syarak, bukan sekehendak hukum buatan manusia yang condong menguntungkan pihak swasta atau korporasi belaka. Maka, pemimpin baru akan melakukan impor pangan dalam keadaan mendesak saja. Pemimpin pantang menjadikan impor beras sebagai rutinitas tahunan dan bergantung pada negara kafir.
Negara akan melakukan intensifikasi pertanian, misal dengan penggunaan alat pertanian berteknologi canggih hasil karya dalam negeri. Ekstensifikasi pun diupayakan dengan menghidupkan tanah mati.
Tidak akan ada tanah terlantar yang tidak berproduksi sebab syariat Islam telah menetapkan bahwa kepemilikan tanah pertanian akan hilang saat tanah ditelantarkan tiga tahun berturut-turut. Negara akan menarik tanah itu dan memberikan kepada orang lain yang mampu mengelolanya (muslimahnews.net, 20 Juni 2023).
Selain itu, edukasi petani, pemberian subsidi atau bantuan alat produksi, pupuk, benih, dan lain-lain akan dilakukan negara. Negara juga akan memberdayakan para ilmuwan dan pakar pertanian dengan mendukung dan mendanai berbagai penelitian mereka dalam rangka menghasilkan bibit unggul dan alat-alat pertanian modern.
Pemanfaatan hasil penelitian tersebut juga tentunya akan mudah diakses masyarakat sebab itu bagian dari tanggung jawab pengurusan rakyat oleh negara.
Negara juga akan memastikan tidak terjadi gangguan dalam pasar, seperti praktik monopoli, penimbunan, dan penipuan (muslimahnews.net, 20 Juni 2023). Apabila terjadi, pelakunya akan diberi sanksi tegas oleh negara sesuai syariat Islam yang pasti memberikan efek jera.
Pemimpin yang berperan sebagai pengurus umat dan mengambil kebijakan holistik tersebut di atas tentunya hanya bisa hadir saat sistem Islamlah yang diterapkan untuk mengatur masyarakat.
Pemimpin berkualitas semacam ini hanya dapat bekerja sepenuh hati mewujudkan ketahanan pangan tatkala didukung dengan sistem pemerintahan yang rahmatan lil ‘alamin, yakni khilafah berdasarkan metode kenabian.
Allahua’lam.
Oleh: Arif Susiliyawati, S.Hum.
Aktivis Muslimah
0 Komentar