Topswara.com -- Jakarta, Gatra.com, Direktur Pinjaman dan Hibah, Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan, Dian Lestari menyatakan pinjaman pemerintah, baik dari dalam maupun luar negeri, masih dalam posisi aman dan wajar. (Minggu, 31/12/2023).
Ia mengatakan, bahwa posisi utang negara secara keseluruhan per 30 November 2023 adalah Rp8.041,01 triliun. Itu didominasi oleh Surat Berharga Negara (SBN) sebesar Rp7.048,9 triliun (88,61 persen dari total utang) dan Pinjaman sebesar Rp 916,03 triliun (11,39 persen dari total utang).
Anehnya kondisi ini justru masih dikatakan aman oleh sebagian besar orang diantaranya Menko Bidang Perekonomian, Airlangga Hartanto yang mengambil perbandingan dengan negara lain yang katanya ada yang diatas 100 persen rasio utangnya di banding Indonesia (Antaranews.com, 22/12/2023)
Ekonom Universitas Brawijaya Malang, Hendi Subandi, mengungkapkan bahwa rasio utang luar negeri Indonesia masih tergolong aman. Ia pun memasukkan kategori utang Indonesia sebagai utang produktif, karena digunakan untuk pembangunan infrastruktur yang memberikan dampak positif jangka panjang. (Viva.co.id, Sabtu, 30/12/2023)
Sungguh miris, utang negeri ini dari tahun ke tahun selalu mengalami peningkatan yakni Rp8,041 triliun justru dikatakan masih terbilang aman karena utang digunakan untuk pembangunan produktif seperti pembangunan infrastruktur dan fasilitas publik.
Besarnya utang menunjukkan salah kelola negara, apalagi jika dikaitkan dengan kekayaan alam yang sangat melimpah ruah di Indonesia, nyatanya utang diluar negeri tak terbendung.
Dengan demikian, statement utang terkendali dan berdampak posistif, sejatinya merupakan statement yang berbahaya. Sebab, utang dapat menjadikan negara bunuh diri secara politik karena tergadaikan kedaulatannya.
Demikian juga yang mengatakan jika utang tersebut digunakan untuk biaya produktif cenderung aman terbantahkan. Selama ini pembangunan menjadi alasan terkuat bagi pemerintah untuk berutang, namun perlu kita fahami bahwa pembangunan berbasis utang bukanlah sesuatu yang patut dibenarkan.
Bahkan selama ini banyak infrastruktur yang dibangun justru jauh lebih memberi keuntungan kepada pihak korporasi dan segelintir orang saja bukan kepada masyarakat semata.
Oleh sebab itu, jika membangun negara dengan utang maka mustahil negara akan maju justru semakin membuat para pemilik modal dengan leluasa akan menguasai negeri ini. Semua ini terjadi karena negara terjerat paradigma kapitalisme.
Paradigma ini senantiasa menjadikan penguasa bahwa utang dan pajak merupakan sektor utama untuk pemasukan negara, sedangkan sektor strategis justru di kapitalisasi para pemilik modal.
Inilah sistem kapitalisme yang menjadikan negara hanya sebagai regulator untuk memuluskan kepentingan para pemilik modal melalui UU dan sejenisnya. Sehingga negara tidak memiliki kedaulatan untuk mengurus negaranya, termasuk mengurus kekayaan alam yang telah dimiliki, berdalih demi kehidupan layak dan agar pembangunan negeri dapat terus dilanjutkan, bahkan dengan menggunakan uang dari utang ribawi tak jadi masalah.
Pun utang dalam sistem kapitalisme meniscayakan bunga utang. hal ini pula yang menjadikan utang tidak akan pernah dalam posisi aman, apalagi pembayaran utang dibebankan pada APBN yang berasal dari pajak rakyat.
Padahal rakyat sendiri tidak menikmati utang tersebut hidup mereka semakin sulit sebab pemerintah semakin mengurangi subsidi pendidikan, kesehatan, pupuk.
Tingginya utang yang dimiliki suatu negara sebenarnya merupakan bukti lemahnya perekonomian sehingga menjadikan utang sebagai satu-satunya solusi keuangan. Dengan solusi ini semakin menunjukkan bahwa pemerintah telah gagal dalam mengelola sumber perekonomian di negerinya.
Padahal Indonesia adalah negeri yang kaya raya, sampai-sampai di juluki negeri “zamrud khatulistiwa” oleh para pujangga. Keberadaan kekayaan alam yang melimpah ruah dapat dengan mudah disaksikan di berbagai pelosok tanah air. Dari sekian banyaknya SDA dan kekayaan negeri belum dikelola dengan baik bahkan digadaikan pada pihak asing.
Sungguh sangat berbeda dengan sistem Islam, Islam mengelola harta menjadi tiga bagian, yaitu kepemilikan individu, negara dan umum. Khusus kekayaan individu diserahkan rakyat masing-masing, sedangkan kekayaan negara akan dikelola oleh negara.
Islam telah menyediakan solusi bagi setiap permasalahan, kita tahu bahwa Islam tak hanya mengurusi urusan ibadah namun juga kehidupan individu, sosial, hingga negara, solusi ekonomi Islam tanpa terjerat utang apalagi riba yang sudah pasti menyejahterakan rakyat.
Hanya dalam sistem Islam Indonesia akan mampu menjadi negara besar, yang mampu mengelola SDA secara mandiri dan hasilnya digunakan untuk membangun negeri dan mensejahterakan semua rakyatnya.
Islam pun menjalankan sistem pemerintahan dan melakukan pelayanan sepenuh hati kepada rakyat tanpa mengemis ke negara lain. Khilafah wajib menjadi negara yang mandiri dan khilafah akan menutup celah bagi negara kapital untuk menekan khilafah dengan utang yang diberikannya.
Pos kekayaan Islam juga didapat dari zakat, harta, zakat ternak, zakat pertanian, perniagaan, emas dan perak. Dengan banyaknya sumber pemasukan negara otomatis kegiatan ekonomi yang bertumpu pada sektor rill dan produktif, maka pendapatan negara akan selalu ada dari masa ke masa.
Allah SWT menjanjikan jaminan kesejahteraan ketika Islam diambil sebagai solusi dalam mengarungi kehidupan ini, “Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (TQS. Al-A’raf:96).
Dengan demikian hanya dengan penerapan Islam kaffah yang mampu menyelesaikan permasalahan utang dalam negeri ini yakni khilafah.
Wallahu a’lam bis shawwab.
Hamsia
Aktivis Muslimah
0 Komentar