Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Mengapa Masalah Ekonomi Karbon Perlu Jadi Tema Debat Utama dalam Pilpres?


Topswara.com -- Dalam debat capres dan cawapres bebarapa waktu lalu, tampaknya 01 dan 03 sangat minim pengetahuannya soal perubahan iklim. Hal ini terbukti mereka gagap menjawab dua pertanyaan terkait masalah pengurangan emisi karbon, yakni soal bagaimana strategi mengatasi polusi Jakarta dan bagaimana soal regulasi CCS. 

Padahal masalah ekonomi karbon ini adalah tema besar yang akan mengubah peradaban dunia modern. Para capres berada pada level perdebatan yang sangat mewah dan mau tidak mau harus mengerti masalah ini secara komprehensif.

Sementara kalau kita simak debat capres cawapres beberapa waktu lalu, tampak calon pemimpin kita belum menunjukkan kelasnya pada level ini. Namun masih ada waktu untuk belajar dan berubah, sehingga tidak ada kata terlambat. Debat kemarin harus menjadi ukuran dalam evaluasi masing masing pihak.

Capres 01 menjawab asal-asalan terkait pernyataan Gemoy bagaimana mengatasi polusi Jakarta dengam anggaran 80 triliun? Apa strateginya. Capres 01 cuma menjawab bahwa polusi disebabkan oleh angin PLTU. 

Tetapi apa strateginya selama menjadi gubernur DKI Jakarta yang juga pengkonsumsi energi BBM dan listrik paling besar di Indonesia ini? Jawabanya tidak ada, hanya penjelasan muter-muter menyalahkan angin.

Sementara Cawapres 03 saat ditanya Gibran (Gigih dan Berani) bagaimana regulasi tentang Carbon Capture and Storage (CCS)? Jawabannya ngalor ngidul tidak jelas. Tampak sekali bahwa 03 ini lemah pengetahuan soal ini. 

Padahal indonesia adalah negara yang terlibat aktif dalam perjanjian perubahan iklim, sudah diratifikasi pula menjadi UU, dan Indonesia adalah pelopor didalam Just Energi Transulition Partnership (JETP) sebuah skema pendanaan bersama iklim senilai 100 miliar dolar setahun. Jadi bagaimana Mahfud MD menkopolhukam tidak tau masalah ini. Jelas Mahfud kurang gaul dalam isue global terkini.

Isu perubahan iklim layak dipertanyakkan oleh pasangan 02 Prabowo Gibran. Mengingat isue ini merupakan agenda dunia dalam mengatasi masalah kerusakan lingkungan. Sekarang peta jalan perubahan iklim telah disepakati melalui program pencapaian Net Zero Emission (NZE). 

Untuk mewujudkanya maka digagas Transisi Energi (TE) yakni usaha meninggalkan energi fosil. Negara maju akan mencapai NZE padan 2050 sementara negara berkembang termasuk Indonesia menetapkan target NZE pada 2060. 

Tahapan pencapaian ini akan menjadi masalah besar bagi negara yang menggantungkan energinya dari fosil, menggantungkan pendapatan negara dari fosil dan menggantungkan perdagangannya dari eksploitasi SDA.

Jadi ketika Gibran mengatakan bahwa Indonesia adalah gudangnya Energi Baru Terbaharukan (EBT), gudangnya bio energi, maka ini menunjukkan tingkat pemahaman yang cukup baik, dan kepedulian yang cukup besar terhadap masalah lingkungan hidup dan perubahan iklim global. Bagaimana tidak paham? 

Mas Gibran di kota yang dipimpinnya adalah pioner dalam pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSA), sebuah cara paling inklusive dalam menjalankan agenda ini. Sementara Jakarta mikir aja tidak dalam menangani sampah. 

Pertanyaannya didebat tanggal 7 Januari 2024 mendatang apakah 01 dan 03 akan lebih siap dengan pertanyaan tentang perubahan iklim? Wah kayaknya akan keluar wacana-wacana lagi, karena belum pernah terpikirkan dan dikerjakan oleh mereka. 

Tetapi tidak apa-apa, yang penting ada kemauan untuk belajar hal hal yang strategis terutama yang menyangkut Indonesia dalam pergaulan global. Isue perubahan iklim adalah kunci geopolitik saat ini. Belajar ke Solo boleh juga.


Oleh: Salamuddin Daeng
Ketua Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia 
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar