Topswara.com -- Salah satu fasilitas infrastruktur yang sedang intensif dibangun oleh pemerintah saat ini adalah jalan tol. Fakta ini terungkap ketika pemerintah menggulirkan proyek pembangunan Tol Getaci.
Hingga saat ini, tahapannya sedang melibatkan proses pendaftaran lelang yang dijadwalkan akan berlangsung hingga awal tahun 2024. Direktur Jenderal Bina Marga Kementerian PUPR, Hedy Rahadian, menjelaskan bahwa pembangunan jalan Tol Getaci akan dilaksanakan setelah investor berhasil memenangkan proses lelang kembali.
Adapun proses pelelangan dilakukan karena tidak tercapainya penandatanganan perjanjian dukungan pembiayaan perbankan atau financial close. Tol sepanjang 206,65 kilometer ini nantinya akan menjadi penghubung Jawa Barat dan Jawa Tengah.
Selain itu, tol Getaci ini melewati beberapa kota, yakni Kabupaten Bandung, Garut, Kabupaten Tasikmalaya, Kota Tasikmalaya, Ciamis, Kota Banjar, dan Kabupaten Pangandaran. Imbas dari proyek Getaci ini puluhan Desa dan beberapa Kecamatan di Kabupaten Bandung akan mengalami penggusuran. (tribunpriangan.com, 4/1/2024)
Sejatinya, pembangunan yang dilakukan bertujuan untuk kemaslahatan publik di samping dapat mendukung perekonomian penduduk setempat. Namun, tidak sedikit pembangunan ini malah menimbulkan masalah baru semisal perampasan lahan (penggusuran) yang mengakibatkan konflik antara rakyat dengan penguasa atau rakyat dengan pengusaha, bahkan melibatkan tindakan kekerasan dari aparat hingga jatuhnya korban.
Selain itu, pelaksanaan proyek pembangunan tidak sepenuhnya milik pemerintah, akan tetapi melibatkan para investor swasta (lokal maupun asing) dengan cara berutang dikarenakan negara tak memiliki cukup dana untuk itu.
Alhasil, karena utang negara kian bertambah, ada beberapa proyek akhirnya dijual kepada pihak asing demi memenuhi utang tersebut. Dari sini, lagi dan lagi pihak kapitallah yang akan memperoleh keuntungan.
Pemerintah hanya dapat fee dari pajak jalan, gedung dan infrastruktur lainnya. Sementara rakyat, bukan hanya jadi korban pajak tapi "dipaksa" merogoh kocek cukup dalam ketika akan memanfaatkan infrastruktur ini.
Pembangunan infrastruktur seharusnya dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan bukan malah menjadi beban masyarakat. Pemerintah mestinya tidak hanya berperan sebagai fasilitator dalam penyediaan berbagai sarana kebutuhan masyarakat, melainkan juga bertanggung jawab bagaimana rakyat dapat menikmati hasil pembangunan tersebut secara gratis, aman dan nyaman.
Semua kondisi ini sebenarnya dapat dikembalikan pada satu penyebab utama, yaitu penerapan sistem kapitalisme oleh negara. Karena pada hakikatnya pembangunan dalam sistem kapitalisme tidak ditujukan meningkatkan pertumbuhan ekonomi negara tetapi memberikan manfaat yang sangat luas kepada para pemodal.
Negara hanya menjadi regulator dan fasilitator untuk memuluskan beragam proyek milik pemodal atau proyek kerjasama antara negara dan pengusaha. Sehingga dapat dibayangkan bahwa keuntungan besar dan manfaat dari pembangunan Tol Getaci bukan untuk kemaslahatan publik tapi para pemodal dan oligarkinya.
Inilah kelemahan dari sistem ekonomi kapitalisme yang menekankan pertumbuhan ekonomi tanpa memberikan kesejahteraan yang merata kepada seluruh masyarakat.
Oleh sebab itu, ketika tatanan kehidupan masyarakat diatur oleh sistem kapitalisme, fenomena politik oligarki akan semakin berkembang pesat. Sebaliknya, penderitaan rakyat akan terus berlanjut. Satu-satunya solusi untuk mengakhiri derita ini adalah menghentikan penerapan sistem kapitalisme dan menggantinya dengan sistem Islam.
Dalam Islam, pembangunan infrastruktur dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan rakyat atau kemaslahatan umat, bukan dilihat dari perspektif komersial atau keuntungan investor. Karena terkait dengan kebutuhan masyarakat yang bersifat strategis, negara diwajibkan untuk melaksanakan pembangunan dan pengelolaan infrastruktur, sementara pengelolaan dan kepemilikan oleh pihak swasta, terlebih lagi investor asing, tidak diperkenankan.
Maka dari itu, proses pembangunan seharusnya didasarkan pada pengoptimalan penggunaan dana pemasukan negara dengan efisien, menjalankan peran sebagai fasilitator layanan publik karena memegang teguh fungsi pelayanan kepada masyarakat.
Abdurrahman al-Maliki mengemukakan bahwa pembangunan infrastruktur dalam sistem Islam diklasifikasikan menjadi dua jenis. Pertama, infrastruktur yang sangat esensial bagi masyarakat dan jika ditunda dapat menimbulkan risiko serius.
Kedua, infrastruktur yang diinginkan oleh masyarakat, tetapi tidak begitu mendesak, sehingga pengadaannya dapat ditunda. Infrastruktur kategori kedua tidak boleh dikerjakan jika negara tidak memiliki dana yang mencukupi.
Pembangunan jenis infrastruktur ini juga tidak boleh didanai melalui pinjaman atau pajak. Dengan kata lain, infrastruktur kategori kedua hanya dapat dibangun jika dana dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) atau baitul mal mencukupi.
Sebaliknya, untuk infrastruktur kategori pertama, pembangunannya harus tetap dilakukan tanpa memperhatikan ketersediaan dana dari APBN atau baitulmal. Jika ada dana yang cukup, wajib dibiayai seoptimal mungkin.
Namun, jika dana tersebut tidak mencukupi, negara dapat mengenakan dharîbah (pajak) sementara kepada masyarakat. Jika proses pemungutan dharibah membutuhkan waktu yang lama, sementara infrastruktur harus segera dibangun, negara diizinkan untuk meminjam dari pihak lain.
Pinjaman tersebut akan dikembalikan menggunakan dana dharibah yang dikumpulkan dari masyarakat setelahnya. Tetapi, penting untuk dicatat bahwa pinjaman tersebut harus bebas dari unsur riba dan tidak boleh membuat negara menjadi tergantung pada pemberi pinjaman.
Di sisi lain, Islam melarang negara mengambil alih tanah rakyat, bahkan jika itu dilakukan untuk kepentingan umum. Hukum Islam juga menetapkan bahwa masyarakat dapat memiliki tanah dengan cara mengelola tanah mati, yaitu tanah yang tidak termanfaatkan, tidak memiliki pemilik, dan kepemilikan tersebut diakui dan dilindungi oleh negara.
Rasulullah SAW. bersabda, “Siapa saja yang menghidupkan tanah mati, maka tanah itu menjadi miliknya dan tidak ada hak bagi perampas tanah yang zalim (yang menyerobot tanah orang lain).” (HR at-Tirmidzi, Abu Dawud dan Ahmad).
Atas dasar itu, penguasa dalam sistem Islam memiliki peran penting dalam merumuskan kebijakan dan mengurus kepentingan rakyat secara menyeluruh serta menciptakan kesejahteraan bagi mereka.
Dengan adanya Baitulmal, negara memiliki kapasitas untuk membangun infrastruktur secara mandiri dan berdaulat hingga nyata bahwa pembangunan itu memberikan manfaat kepada masyarakat tanpa adanya campur tangan dari pihak asing.
Wallahu a’lam bii ash-Shawab.
Oleh: Nurul Aini Najibah
Aktivis Dakwah
0 Komentar