Topswara.com -- Keberhasilan pembangunan diklaim sebagai parameter kemajuan suatu negara. Namun apa jadinya, jika pembangunan ini menggadai nasib rakyat?
Antara Rakyat, Pembangunan dan Kekuasaan
Masa pemerintahan Jokowi dipenuhi dengan berbagai konflik agraria yang akhirnya menimbulkan kekisruhan antara aparat pemerintahan dan warga setempat. Semua masalah ini terus berlarut-larut dan belum juga temu masalah. Sebut saja konflik Rempang, Wadas dan konflik-konflik lainnya. Kebanyakan, rakyat menjadi korban. Lahan dirampas paksa atas nama pembangunan negara.
Demi melancarkan berbagai usaha pemerintah dalam program pembangunan infrastruktur, Presiden Jokowi mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 78 Tahun 2023 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 62 Tahun 2018 tentang Penanganan Dampak Sosial Kemasyarakatan Dalam Rangka Penyediaan Tanah Untuk Pembangunan Nasional (Perpres 78/2023) (walhi.or.id, 20/12/2023).
Ketetapan tersebut sebagai bentuk "hilang akal" nya pemerintah untuk menangani dan menuntaskan masalah agraria yang sampai kini terus mengancam. Ambisi pemerintah untuk melanjutkan pembangunan dengan tajuk strategis nasional makin nampak berang. Secara historis, peraturan tersebut dikeluarkan untuk melancarkan PSN (Proyek Strategis Nasional).
Sehingga dapat dengan mudah "merebut" lahan rakyat dengan bekal kebijakan tersebut. Namun, pembaruan kebijakan yang kini ada, justru meluaskan "perizinan perampasan" lahan rakyat yang katanya demi pembangunan infrastruktur. Tak hanya untuk PSN, namun juga demi memuluskan proyek-proyek lainnya.
Tentu saja, kebijakan tersebut akan berdampak genting di tengah masyarakat. Konflik sosial dan ekologis akan terus meledak. Dan mengganggu hak ruang hidup rakyat.
Sementara di sisi lain, pemerintah berusaha mengatasi konflik agraria dan mengklaim menjaga hak rakyat terhadap lahan. Salah satunya yakni dengan pembagian sertifikat tanah di Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur pada 27/13/2023 lalu (voaindonesia.com, 28/12/2023).
Menurut pemerintah, sertifikat tanah adalah surat penting yang harus dimiliki setiap pemilik lahan. Kepemilikan ini diklaim mampu menghindari konflik atau sengketa lahan.
Namun hal berbeda diungkap Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Bidang Advokasi dan Jaringan, Zainal Arifin. Zainal mengungkapkan penerbitan sertifikat tanah masyarakat tidak dapat menyelesaikan konflik agraria (voaindonesia.com, 28/12/2023).
Banyak kasus ketimpangan yang hingga kini belum terselesaikan. Penguasa cenderung menjadikan kebijakan sebagai alat untuk "mengalahkan" kepemilikan lahan rakyat.
Rakyat selalu dalam posisi lemah meskipun berbagai surat kepemilikan telah dimiliki. Inilah fakta sistem kapitalisme liberal yang menghalalkan segala cara. Demi keinginan penguasa, korporat oligarki berusaha melakukan segala cara untuk menguasai kepemilikan rakyat.
Berbagai kebijakan diciptakan sesuai pesanan pemilik modal. Aturan yang ada diciptakan agar perampasan lahan rakyat lebih mudah dilakukan. Dengan dalih pembangunan infrastruktur, rakyat dipaksa mengalah. Hingga akhirnya rakyat tidak memiliki hak akan tempat tinggalnya.
Tidak hanya itu, konsep kapitalisme pun membebaskan kepemilikan lahan. Pemerintah memberikan ruang bebas untuk swasta dan pihak asing dalam hal kepemilikan lahan manapun dengan syarat memiliki modal.
Sementara nasib rakyat tidak dipedulikan. Infrastruktur yang dibangun pun bukan untuk kepentingan rakyat. Melainkan untuk kepentingan para oligarki pemilik modal. Absurdnya konsep pembangunan dalam sistem kapitalisme.
Jelaslah, konflik lahan adalah masalah yang selalu ada dalam pengaturan ala kapitalisme.
Pembangunan ala Islam
Islam memiliki batasan jelas tentang kepemilikan lahan. Syariat Islam membaginya dalam tiga kategori. Pertama, lahan milik individu seperti lahan pertanian, hunian, ladang, dan sejenisnya. Kedua, lahan milik umum, seperti hutan, tambang dan semisalnya.
Ketiga, lahan milik negara, yakni lahan yang di atasnya terdapat bangunan milik negara. Batas-batas kepemilikan pun jelas. Ketika lahan telah dijadikan pemukiman oleh rakyat, negara tidak akan semena-mena melakukan penggusuran.
Karena kebijakan ini jelas merugikan rakyat. Kecuali jika ada keadaan tertentu yang mengancam kehidupan rakyat. Misalnya, lahan yang mudah terkena banjir, berpotensi gempa atau bencana lainnya.
Pembangunan infrastruktur yang dilakukan pun akan senantiasa ditetapkan berdasarkan kebutuhan rakyat.
Konsep tersebut hanya akan terwujud dalam sistem Islam dalam wadah yang amanah, yakni khilafah. Satu-satunya institusi yang mampu menjadikan pelayanan rakyat sebagai prioritas utama. Setiap hak rakyat terlindungi dengan berbagai kebijakan sesuai syariat Islam yang sempurna.
Rasulullah SAW. bersabda,
"Imam adalah ra'in (pengurus) dan ia bertanggung jawab atas urusan rakyatnya" (HR. Al Bukhari).
Pemimpin bertanggung jawab penuh atas setiap kebutuhan umatnya. Termasuk kebutuhannya akan lahan untuk tempat tinggal dan penghidupan.
Dalam khilafah, sistem sanksi yang ditetapkan tegas diterapkan. Setiap kebijakan senantiasa mengacu pada kepentingan rakyat serta melindungi setiap hak-haknya. Negara berfungsi sebagai pelindung dan pelayan rakyat yang utama.
Sempurnanya perlindungan sistem Islam. Hanya dengannya-lah konflik agraria mampu tuntas terselesaikan.
Wallahu a'lam bisshawab.
Oleh: Yuke Octavianty
Forum Literasi Muslimah Bogor
0 Komentar