Topswara.com -- Konflik lahan masih sering terjadi. Pemerintah menyampaikan bahwa terdapat 126 juta bidang tanah yang harus disertifikatkan, namun baru 46 juta bidang lahan yang bersertifikat, sehingga 80 juta bidang tanah sisanya belum bersertifikat.
Sementara dalam sambutan pembagian sertifikat tanah di Sidoarjo, Jawa Timur, pemerintah menjanjikan akan menargetkan urusan sertifikasi tanah masyarakat di seluruh tanah air bisa selesai pada tahun 2024. (cnbcindonesia.com, 27/12/2023)
Terungkapnya data tersebut menunjukkan konflik lahan nyata menjadi salah satu persoalan yang dihadapi banyak rakyat. Sayangnya solusi yang diberikan oleh pemerintah justru membuat aturan yang memudahkan perampasan tanah rakyat dengan dalih pembangunan.
Buktinya di satu sisi pemerintah mengatakan akan menargetkan sertifikat tanah selesai pada tahun 2024 kemudian menyerahkan 5000 sertifikat tanah kepada warga di Sidoarjo, Jawa Timur.
Namun di sisi yang lain pada hari pada hari Jumat, 8 Desember 2023, pemerintah justru mengeluarkan peraturan presiden no 78 tahun 2023 tentang perubahan atas peraturan presiden no 62 tahun 2018 tentang penanganan dampak sosial kemasyarakatan dalam rangka penyediaan tanah untuk pembangunan nasional.
Walhi menyatakan Perpres 78/2023 semakin memperlihatkan kesesatan logika hukum pemerintahan Jokowi, Perpres 78/2023 memperluas ruang lingkup proyek yang termasuk dalam kategori pembangunan nasional.
Selain itu, dalam proses tersebut presiden membuat penyesuaian dengan UU Cipta Kerja dengan menambah hak baru pada tanah negara yaitu, tanah dalam pengelolaan pemerintah. Pasal 3 ayat (2) menunjukkan kesesatan ini dengan menganggap Pemerintah, pemerintah daerah, badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah memiliki tanah.
Hal ini jauh dari pengertian HMN (hak menguasai negara) dari beberapa keputusan mahkamah konstitusi putusan MK nomor 35/PUU-X/2012 putusan MK nomor 50 Tahun 2012 dan keputusan MK nomor 3 PUU-8/2010 yang menyatakan negara dalam posisi memiliki sumber daya alam termasuk tanah melainkan hadir untuk merumuskan kebijakan atau melakukan pengaturan, melakukan pengurusan, melakukan pengelolaan, dan melakukan pengawasan. (walhi.or.id, 21/12/2023)
Adanya Perpres 78/2023 dan Perpres 62/2018 dengan dalih pembangunan nasional, alih-alih menetapkannya sebagai tanah terlantar yang bisa kembali kepada masyarakat, justru masyarakat yang mengelolanya bisa diusir dari tanah tersebut dengan santunan.
Sebagai salah satu bukti kezaliman legalitas Perpres 78/2023 adalah konflik agraria seperti di pulau Rempang dimana badan pengusahaan kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas Batam (PB Batam) akan dengan mudah mempercepat pengusiran masyarakat Rempang dengan menggunakan beleid ini.
Rentetan terjadinya fakta di atas memperlihatkan penguasa negeri ini tidak berdaulat. Kekuasaan justru berada di tangan segelintir orang yang memiliki modal yang berada di balik penguasa yang berkuasa saat ini.
Narasi PSN memang mengatasnamakan rakyat namun rakyat justru tergusur dari tanahnya, ruang hidup mereka dirampas oleh para perusahaan swasta. Tidak hanya PSN, masih banyak modus perampasan lahan yang dilegalisasi dengan undang-undang, contohnya proyek-proyek berkedok perubahan iklim, perdagangan karbon, pengembangan food estate, kawasan strategis pariwisata nasional (KSPN), dan lain-lain. lagi-lagi pelakunya adalah penguasa elit yang berkolaborasi dengan para pemilik modal.
Begitulah politik oligarki kekuasaan yang dikendalikan oleh segelintir elit. Politik oligarki niscaya lahir ketika sebuah negara menerapkan sistem demokrasi kapitalisme.
Dengan sistem demokrasi menjadikan manusia legal membuat aturan sendiri atas nama perwakilan rakyat, sementara ideologi kapitalisme menjadikan para pemilik modal bebas berkuasa. Agar kekuasaan ini legal maka dibuatkan undang-undang.
Jadi, selama sistem demokrasi kapitalisme masih digunakan untuk mengatur urusan negeri, jangan berharap konflik agraria selesai dengan tuntas.
Sistem demokrasi kapitalisme nyata menyuburkan politik oligarki khususnya dalam konflik agraria. Hal ini jelas berbeda dengan sistem Islam yang diterapkan oleh negara yakni daulah Khilafah, keadilan yang akan dirasakan oleh umat manusia. Allah ta'ala berfirman:
Ù„َÙ‚َدۡ Ø£َرۡسَÙ„ۡÙ†َا رُسُÙ„َÙ†َا بِٱلۡبَÙŠِّÙ†َٰتِ ÙˆَØ£َنزَÙ„ۡÙ†َا Ù…َعَÙ‡ُÙ…ُ ٱلۡÙƒِتَٰبَ ÙˆَٱلۡÙ…ِيزَانَ Ù„ِÙŠَÙ‚ُومَ ٱلنَّاسُ بِٱلۡÙ‚ِسۡØ·ِۖ
"Sungguh, Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan bukti-bukti yang nyata dan Kami turunkan bersama mereka Kitab dan neraca (keadilan) agar manusia dapat berlaku adil.." (QS Al Hadid: 25)
Keadilan ini niscaya terwujud karena penguasa dalam Islam memiliki mafhum ra'awiyah yakni pemahaman mengurusi umat bukan tangan kanan dari oligarki. Rasulullah SAW bersabda:
"Imam atau khalifah adalah raa'in atau pengurus rakyat dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya." (HR. Bukhari).
Islam juga telah mengatur terkait perkara tanah dengan jelas dan rinci. Syariat Islam menetapkan bahwa tanah memiliki tiga status kepemilikan yaitu: tanah yang boleh dimiliki individu, tanah milik umum, dan tanah milik negara.
Tanah milik individu seperti lahan perkebunan, pertanian, kolam dan sejenisnya. Tanah milik individu dikelola dan dimanfaatkan oleh individu seperti dijual, diwariskan, dan dihibahkan.
Tanah milik umum adalah tanah yang di dalamnya terkandung harta milik umum seperti tanah hutan, tanah yang mengandung tambang dengan jumlah yang sangat besar, tanah yang di atasnya terdapat fasilitas umum seperti jalan ataupun rel kereta. Tanah milik umum haram dikuasai oleh swasta.
Sedangkan tanah milik negara diantaranya tanah yang tidak bepemilik atau tanah mati, tanah yang ditelantarkan, tanah di sekitar fasilitas umum, dan lain-lain. Undang-undang pertahanan negara Islam akan didasarkan pada prinsip-prinsip kepemilikan dan pengelolaan tanah sesuai syariat.
Sehingga kasus seperti perampasan lahan di Rempang dan yang lainnya tidak akan terjadi karena tanah Rempang adalah tanah milik umum, masyarakat setempat sudah lama mendiami dan menghidupkan tanah di sana.
Wallaahu A'lam bis Shawaab.
Oleh: Nur Itsnaini Maulidia
Aktivis Dakwah
0 Komentar