Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Konflik Lahan, Paradoks Pembangunan Kapitalistik


Topswara.com -- Dilansir dari lbhpekanbaru.or.id (01/01/2024), Kasus Rempang yang sempat heboh tahun lalu karena adanya penolakan dari 16 desa atas relokasi tempat tinggal mereka, kini perkembangan kasusnya pun masih sama. Warga pulau Rempang memperkuat perjuangan menolak relokasi dengan mengadakan kegiatan di Posko Bantuan Hukum Solidaritas Nasional untuk Rempang yang berada di 8 titik. 

"Harapannya kegiatan ini semakin menguatkan kami dalam mempertahankan kampung, di tengah wacana relokasi yang selalu digaungkan oleh BP Batam," ujar Miswadi, salah satu warga. 

Pemerintah beralasan bahwa warga setempat tidak punya sertifikat kepemilikan tanah. Padahal nyatanya relokasi tempat tinggal warga Rempang itu disebabkan oleh adanya investor China yang ingin mengadakan proyek Rempang Eco City.

Benarkah Warga Rempang Tidak Memiliki Sertifikat?

Konflik lahan menjadi permasalahan yang sering ditemukan. Saking banyaknya, bisa dipastikan setiap daerah di Indonesia pasti pernah mengalami konflik lahan. Hanya saja, ada yang mendapat perhatian publik, ada yang tidak. Kasus konflik lahan di Rempang adalah salah satu yang mendapat banyak perhatian warga Indonesia. 

Pada kasus Rempang ini sebenarnya banyak perlawanan dan keberpihakan terhadap warga Rempang dari masyarakat Indonesia. Masyarakat berpendapat bahwa konflik tanah ini terlalu sering terjadi, bahkan dengan alasan yang sama yaitu adanya proyek yang dilakukan oleh pengusaha, tetapi dengan dalih bahwa warga setempat tidak punya sertifikat tanah. 

Padahal warga yang rumahnya tidak bersertifikat sudah menempati wilayah tersebut sejak Indonesia belum merdeka. Sebagian dari mereka juga tidak punya biaya untuk mengurus surat tanah. Maka wajar 80 persen wilayah perumahan di sana belum bersertifikat. 

Pada UUPA 1960 Pasal 2 dijelaskan bahwa tanah di Indonesia dikuasai oleh negara. Pada frasa kata ‘dikuasai’ itu bukan berarti dimiliki. Jadi tanah Indonesia itu milik orang Indonesia dan negara sebagai institusi politik dengan wewenang kekuasaan tertinggi di Indonesia wajib memberikan fasilitas, sehingga warga bisa mendapatkan sertifikat atas tanah yang sudah mereka miliki sejak dulu kala. 

Tindakan Pemerintah yang Tidak Bijak

Karena adanya banyak penolakan dari masyarakat disebabkan ketidaksinkronan antara UUPA dan aksi pemerintah, maka pada Jumat, 8 Desember 2023, Presiden Joko Widodo mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 78 Tahun 2023 Tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 62 Tahun 2018 Tentang Penanganan Dampak Sosial Kemasyarakatan Dalam Rangka Penyediaan Tanah Untuk Pembangunan Nasional (Perpres 78/2023) (walhi.or.id, 21/12/2023).

Inilah dampak dari doktrin sekuleris agraria, bahwa jika ada tanah yang tidak memiliki surat kepemilikan maka akan diklaim milik negara dan negara mempunyai hak untuk menggusur. Penguasa akan semaunya sendiri memanfaatkan tanah tersebut demi uang. Contohnya pada proyek Rempang Eco City yang akan menghasilkan 381 triliun pemasukan bagi negara (kompas.com, 21/09/2023).

Maka tidak heran pemerintah justru menyambut investor Cina. Bahkan sampai menggusur dan menggunakan masyarakatnya sendiri untuk menjadi buruh di tempat kerja investor asing tersebut. Pemerintah tidak akan peduli pada warga yang kehilangan tempat tinggal mereka, warga yang kehilangan mata pencaharian dan pendidikan, dan lain sebagainya. 

Mereka tidak akan memikirkan itu semua, karena dari pengusaha itulah mereka bisa mendapatkan uang. Inilah yang disebut politik oligarki atau segelintir pihak (pengusaha) yang menyetir dan menguasai negara.

Politik oligarki adalah buah dari penerapan demokrasi dan tata aturan ekonomi kapitalisme. Kapitalisme adalah aturan kehidupan yang diadopsi oleh seluruh negara di dunia, yang mana hanya pemilik modal yang bisa berkuasa. Maka tidak mengherankan, jurang antara si kaya dan si miskin makin curam, karena hanya orang-orang yang memilki uang yang akan terus bertambah kaya dan berkuasa. 

Padahal secara tidak langsung fenomena ini termasuk penguasaan tanah atau penjajahan dengan cara halus dan terselubung. Sedikit demi sedikit akan semakin banyak tanah yang dikuasai investor asing dan tinggal menunggu waktu saja masyarakat akan sangat kebingungan, apakah mereka sungguh memiliki tanah kelahiran mereka atau tidak. Sungguh miris.

Solusi Islam atas Kepemilikan dan Pemanfaatan Lahan

Islam dikenal sebagai agama yang mengatur urusan manusia secara detail, kongkrit dan tidak ada kecacatan di dalamnya. Karena yang memiliki aturan tersebut adalah pemilik alam semesta itu sendiri, yaitu Allah SWT. Jadi, tidak perlu dipertanyakan lagi aturan soal kepemilikan tanah dalam Islam.

Tata kelola pertanahan dalam Islam dikembalikan pada filosofi kepemilikan tanah yang hakiki, yaitu milik Allah. Allah yang memiliki dunia dan seisinya dan hanya Allah lah yang berhak mengaturnya. Lantas kita? Kita sebagai manusia hanya hamba-Nya yang diberi titipan untuk mengatur soal pertanahan sesuai dengan aturan Allah, dan kita akan dimintai pertanggungjawaban atasnya.

Lalu seperti apa aturan tersebut? Tanah dalam Islam dapat dimiliki dengan 6 (enam) cara, yaitu melalui : jual beli, waris, hibah, ihya'ul mawat (menghidupkan tanah mati), tahjir (membuat batas pada tanah mati), serta iqtha' (pemberian negara kepada rakyat). Simpelnya, pada kasus seperti Rempang, tanah mereka diakui kepemilikannya secara syar'i, karena tanah itu sudah menjadi mereka tempati dan manfaatkan sejak dahulu kala dan tanah itu diwariskan oleh nenek moyang mereka.

Selanjutnya, Islam mengatur tata kelola pertanahan sehingga jauh dari tangan individu atau oligarki yang ingin menguasai dunia dengan uang mereka. Syariat Islam mengharamkan bisnis atas tanah. Jadi tanah yang murni tidak berkepemilikan akan dimiliki oleh negara. 

Namun saat tanah itu hendak dimanfaatkan, masyarakat harus bisa merasakan dan menikmati hasilnya. Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah SAW, “Kaum muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air, dan api". (HR. Abu Dawud dan Ahmad)

Proyek pembangunan apapun dalam daulah Islam dilaksanakan untuk kepentingan rakyat, didukung dengan kebijakan yang melindungi rakyat dan membawa kemaslahatan bagi rakyat. 

Dari sini kita bisa simpulkan, Islam memiliki konsep jelas atas kepemilikan lahan dan menjadikan penguasa sebagai pengurus dan pelindung rakyat termasuk pelindung kepemilikan lahan. Bukan malah menjadi penjahat dan perampas hak-hak rakyatnya. 

Lalu sekarang, kita hanya butuh negara Islam untuk mengembalikan tanah yang sudah terlanjur terjajah itu. Generasi salaf ash-shalih dan para ulama menyebutnya sebagai khilafah. Untuk mengembalikan kehadiran khilafah seperti pada zaman Rasulullah dan khalifah setelahnya, maka harus ada upaya serius yang tersistem sesuai teladan Rasulullah. 

Kaun muslimin secara keseluruhan dapat mewujudkannya dengan bergabung bersama kelompok yang memperjuangkannya, turut beramar makruf nahi mungkar terutama dakwah Islam kaffah agar janji Allah dan RasulNya segera terwujud.

Wallahu a'lam.


Oleh: Dini Al Ayyubi
Aktivis Muslimah
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar