Topswara.com -- Upaya pemerintah dalam pembagian sertifikat tanah melalui Badan Pertanahan Nasional (BPN) yang hanya mengeluarkan 500 ribu sertifikat per tahun menuai penilaian yang beragam. Meskipun baru 46 juta lahan yang memiliki sertifikat, beberapa pihak menilai bahwa langkah tersebut tidak akan mampu menyelesaikan konflik agraria di Indonesia.
Zainal Arifin dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Bidang Advokasi dan Jaringan menegaskan bahwa penerbitan sertifikat tanah masyarakat tidak akan cukup untuk meredakan konflik agraria yang masih menghantui tanah air.
Ia juga menyoroti ketimpangan kekuasaan yang belum terselesaikan, yang membuat penerbitan sertifikat tanah tidak mampu menyelesaikan konflik agraria yang terjadi, seperti yang terjadi dalam sejumlah proyek strategis nasional (PSN) yang kerap merampas lahan masyarakat.
Konflik agraria pun makin diperparah dengan adanya izin konsesi dan diterbitkannya UU Cipta Kerja yang memperburuk konflik lahan tersebut (voaindonesia.com, 28/12/2023).
Sejatinya konflik agraria, terkait masalah lahan, muncul karena kebijakan pemerintah yang memudahkan perampasan tanah rakyat atas nama pembangunan. Konflik ini disebabkan oleh politik oligarki dalam sistem demokrasi dan kapitalisme, di mana pemimpin cenderung menguntungkan pemilik modal yang mendukung mereka finansial.
Hubungan antara penguasa dan pengusaha menciptakan lingkaran penindasan, memperparah konflik agraria.
Pembangunan ekonomi yang diharapkan tidak sesuai dengan kenyataan, karena terdapat keterkaitan antara penguasa dan pengusaha yang menghasilkan kebijakan merugikan masyarakat.
Proyek strategis seperti PSN dan KSPN hanya menjadi modus untuk merampok tanah rakyat, dengan konsekuensi konflik agraria yang merugikan masyarakat, seperti kerusakan lingkungan, masalah ekonomi, perampasan tempat tinggal, kelaparan, trauma, dampak pada pendidikan, dan ketidaksejahteraan.
Konflik lahan muncul akibat ulah dan keserakahan manusia yang tumbuh dari sistem kapitalisme demokrasi, di mana agama hanya menjadi ritual di tempat ibadah dan tidak memengaruhi pandangan terhadap pembangunan dan pengelolaan lahan.
Sistem Islam menawarkan konsep kepemilikan lahan yang jelas dan nuansa ketaqwaan yang tercupta secara sistemik menjadikan penguasa amanah yang berperan sebagai pelindung rakyat dan pemegang tanggung jawab dalam mengatur lahan.
Pertama, dalam sistem Islam, penguasa bertindak sebagai ra'in dan junnah, pelayan yang menjamin kebutuhan hidup dan melindungi rakyat, menghindarkan politik oligarki yang melayani kepentingan korporasi.
Kedua, Islam mengatur kepemilikan lahan dengan tiga jenis: individu, umum, dan negara. Individu memiliki hak atas lahan pertanian, perkebunan, dan lainnya melalui jual beli, warisan, atau hibah. Lahan umum seperti hutan dan sumber mata air diurus oleh negara untuk kemaslahatan umum.
Terakhir, lahan yang tidak berpemilik atau terlantar akan dikuasai negara dan dimanfaatkan sesuai kepentingan.
Ketiga, sistem ini menetapkan sanksi tegas bagi pelanggar syariat Islam, termasuk penebang liar dan perusak alam.
Islam juga menekankan pembangunan negara untuk kepentingan rakyat, bukan segelintir pemilik modal, dengan kebijakan yang melindungi dan membawa kemaslahatan bagi masyarakat.
Dengan demikian, implementasi sistem Islam dalam konteks agraria dapat menjadi landasan untuk menyelesaikan konflik lahan dan membawa kesejahteraan bagi masyarakat secara menyeluruh.
Oleh: Agustin Pratiwi
Aktivis Muslimah
0 Komentar