Topswara.com -- Konflik Agraria, Satu Keniscayaan dalam Sistem Kapitalisme
Oleh: Hamsia (pegiat opini)
Konflik agraria merupakan fenomena gunung es, konflik ini hampir selalu terjadi dalam pembangunan infrastruktur pemerintah. Kasus demi kasus bertambah, hingga menyebabkan masyarakat menjadi korban.
Data akhir tahun yang dilakukan oleh Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menyatakan pada tahun 2009-2022, terdapat 4.107 kasus konflik agraria yang melibatkan 2,25 juta kepala keluarga (Katadata, 12-1-2024).
Pada 2022, tercatat 212 konflik agraria, hanya selisih empat kasus apabila dibandingkan tahun sebelumnya. Meskipun kenaikannya tidak signifikan, tetapi luas wilayah konflik agraria justru bertambah lebar yakni tahun 2021, sekitar 500.000 hektare, sedangkan 2022 sebanyak 1,03 juta hektare dengan banyaknya keluarga terdampak 346.000 keluarga.
Sekretaris Jenderal KPA Dewi Kartika menyatakan bahwa belum ada perubahan signifikan dari pemerintah (pusat atau daerah) dalam menangani konflik agraria. Ia juga menilai jika pemerintah terkesan lemah dan lambat saat membendung konflik agar tidak meluas. Lebih parah lagi, konflik agraria justru terjadi dengan perusahaan pelat merah, bahkan jumlahnya makin meningkat. (Kompas, 9-1-2024).
Tingginya kasus agraria semakin menunjukkan bahwa pemerintah tidak mampu memberikan penyelesaian tuntas. Semua ini terjadi karena diterapkan sistem kapitalisme di negeri ini. Sebab, konsep pembangunan dalam sistem kapitalisme berasakan sekularisme yang memisahkan agama dari kehidupan.
Sebenarnya konflik agraria telah terjadi sejak lama, namun setiap dalam menyelesaikan persoalan ini tak kunjung memberikan rasa adil bagi masyarakat. Dalam hal ini rakyat dalam posisi lemah dan akhirnya berada dipihak yang kalah, meski tak bersalah. Mereka harus rela melepaskan lahan yang dimilikinya dan meninggalkan huniannya sekalipun telah berpuluh tahun menempatinya.
Betapa tidak, hampir di setiap konflik yang terjadi selalu rakyat yang menjadi korban. Rakyat paham betul penjajahan atas mereka dilakukan oleh para oligarki. Kekuasaan menjadi alat kepanjangan tangan penjajahan kapitalis dan korporasi. Negara hanya berperan sebagai regulator dan fasilator untuk kepentingan mereka tanpa mengindahkan kepentingan rakyat.
Dalam sistem kapitalisme siapapun pihak yang paling kuat, maka dialah yang akan dimenangkan. Begitupun kepentingan individu atau kelompok yang dekat dengan kekuasaan, maka dia juga yang mendapat pembelaan.
Setiap pembangunan infrastruktur pun pemerintah membutuhkan lahan yang luas. Maka tak heran jika tanah milik rakyat selalu menjadi sasaran pemerintah. Meskipun pemerintah berdalih bahwa seluruh proyek pembangunan ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat namun faktanya hanya berujung pada perampasan ruang hidup masyarakat. Sebab jika dilakukan untuk kepentingan rakyat sudah seharusnya proyek pembangunan tidak menimbulkan konflik agraria, apalagi merusak ruang hidup masyarakat.
Di sisi lain, kebebasan kepemilikan adalah salah satu hak yang diakui dalam kapitalisme. Oleh karena itu, sistem kapitalisme membolehkan siapa saja melakukan aktivitas bisnis dan pembangunan selama memiliki modal. Alhasil, rakyat menjadi korbannya.
Legalisasi pembangunan yang memihak pemilik modal ini telah tampak dari UU yang diberlakukan di antaranya UU Omnibus Law Cipta Kerja. UU ini telah menjadi payung hukum legal untuk oligarki, beberapa pasal telah disesuaikan dengan proyek-proyek yang ditangani pemerintah yang bekerja sama dengan pemilik modal. UU ini memastikan kemudahan kebebasan lahan berupa ganti rugi lahan milik rakyat untuk PSN (proyek strategi nasional) tanpa ada proses perundingan dengan masyarakat sebagaimana peraturan sebelumnya. Artinya rakyat wajib atau tak boleh menolak menyerahkan lahannya untuk pembangunan yang di labeli PSN.
Di sisi lain, konsep dan administrasi kepemilikan lahan dalam sistem ini tidak memiliki kepastian hukum sehingga dipastikan amburadul. Penegakan hukum terkait lahan sangat lemah sehingga konflik lahan selalu berujung pada kemenangan pihak yang kuat dan berkuasa yakni pemerintah dan pemilik modal. Dampak terburuk adalah masyarakat kehilangan pekerjaan dan mata pencahariannya sebab tak ada lagi tanah yang mereka manfaatkan untuk menghidupi keluarganya.
Sejatinya, konflik agraria ini hanya bisa diselesaikan dengan diterapkan Islam kaffah dalam lini kehidupan. Konflik agraria tidak akan terjadi di bawah pembangunan yang berjalan dengan sistem ekonomi dan politik Islam. Sistem tersebut hanya bisa dijalankan oleh negara berideologi Islam, khilafah Islamiyah.
Sistem ekonomi Islam memiliki konsep kepemilikan yang jelas dan menjadikan negara sebagai pelindung dan pengurus rakyatnya. Rasulullah Saw bersabda, “Imam atau kepala negara (khilafah) adalah pengurus rakyat dan ia akan dimintai pertanggung jawaban tentang rakyatnya”. (HR Bukhari).
Dalam hadis lain disampaikan “Sesungguhnya al-Imam itu perisai, di mana (orang-orang) akan berperang di belakangnya (mendukung) dan berlindung (dari musuh) dengan (kekuasaan) nya.” (HR. Al-Bukhari, Muslim, Ahmad, Abu Dawud).
Paradigma kepemimpinan inilah yang akan diterapkan bagi warga negara termasuk dalam pembangunan, kepemilikan, serta pengelolaan tanah. Pembangunan dalam Islam dilaksanakan sesuai kepentingan umat keseluruhan bukan kepentingan segelintir orang seperti pemilik modal.
Artinya, pembangunan akan selalu dikaitkan dengan terpenuhinya kebutuhan pokok berupa sandang, pangan, papan. Begitu pula kebutuhan dasar berupa pendidikan, kesehatan, dan keamanan. Termasuk kebutuhan transportasi yang aman, nyaman, dan murah/gratis bagi rakyat.
Pun pembangunan berkaitan hajat hidup ini dilakukan oleh negara dan tidak diserahkan pada investor dalam negeri apalagi asing. Sebab penyerahan pembangunan pada pihak-pihak tersebut secara otomatis akan mengubah orientasi pembangunan dari kepentingan rakyat menjadi kepentingan bisnis.
Adapun terkait pengelolaan tanah maka negara wajib menghormati dan melindungi kepemilikan individu dan melarang penguasaan tanah secara semena-mena oleh pemodal bahkan negara.
Islam memandang tanah memiliki tiga status kepemilikan. Yakni, tanah yang boleh dimiliki individu seperti lahan pertanian. Tanah milik umum yaitu yang di dalamnya terkandung harta milik umum seperti tanah hutang, tanah yang mengandung tambang dengan jumlah yang sangat besar.
Tanah milik negara, diantaranya tanah yang tidak berpemilik atau tanah mati, tanah yang ditelantarkan, tanah di sekitar fasilitas umum.
Berdasarkan konsep kepemilikan ini maka tidak diperbolehkan tanah hutan diberikan izin konsesi kepada swasta/individu baik untuk perkebunan, pertambangan, maupun kawasan pertanian. Inilah mekanisme Islam dalam mengelola lahan hingga tidak akan menimbulkan konflik lahan yang merugikan masyarakat.
Wallahu a’lam bis shawwab.
Hamsia
Pegiat Opini
0 Komentar